titik hati. titik nadi. titik hidup.


image, courtesy of diaryofayoungdesigner.blogspot.com

Kemarin saya ngobrol-ngobrol dengan salah seorang sahabat saya. Sahabat yang dekat sekali dengan saya, sampai-sampai saya dikira pacaran dengan dia waktu semester dua lalu. Padahal, kenyataannya, dia juga sudah punya pacar, seorang perempuan mungil yang manis. Pertama-tama obrolan kami ringan-ringan saja, soal informasi baru, soal mobil keren yang ia kagumi di jalan. Rupanya seorang perempuan naik ferrari menantang dia balapan dan dia kalah (mobilnya kijang). Cukup memalukan buatnya untuk dikalahkan oleh seorang perempuan dalam bidang yang seharusnya dirajai laki-laki. Namun tidaklah lama kami membahasnya, obrolan berlanjut ke zona yang lebih personal.

Sebulan yang lalu dia bertemu dengan mantan pacarnya sewaktu sedang makan malam sendirian di sebuah daerah bilangan Jakarta. Mereka bertatapan untuk sekian lama. dari jarak yang tidak terlalu jauh, tapi juga tidak dekat. Perasaan teman saya langsung kacau balau. Memori masa lalu mulai bermain lagi di kepalanya, perasaan yang ia pendam, sampai-sampai ia tak kuat meneteskan air mata. Kemudian teman saya langsung ke mobilnya, melaju mobil sekencang-kencangnya. Tapi dia masih sempat mendengar mantan pacarnya berteriak memanggil namanya.

Teman saya punya kisah cinta yang mengagumkan dan menyentuh, yang membuat saya sedikit iri, yang membuat saya mengata-ngatai perempuan itu bodoh bila perempuan itu menyia-nyiakan cintanya. Teman saya mencintai perempuan itu dengan sepenuh hati sepenuh jiwa, sepenuh yang mungkin tidak bisa saya bayangkan besarnya. Dia menolak memeluk ataupun mencium mantannya (sewaktu berpacaran) agar ia bisa benar-benar merasakan perasaan yang murni, bukan fisik. Kontak fisik yang paling jauh, hanya mengecup kening ataupun rambutnya. Perempuan itu mengatakan bahwa ia butuh belaian fisik namun teman saya menjawab, "lebih dari yang kamu tahu, perasaanku lebih dalam."

Dan saya salah mengira perempuan itu bodoh. Ternyata keadaanlah yang memisahkan mereka. Agama mereka berbeda dan orangtua perempuan itu tidak bisa menerimanya. Teman saya ingin memperjuangkan cinta mereka tapi langkah teman saya terhenti, menyadari harapan orangtua perempuan itu yang sangat besar terhadap anaknya. Sahabat saya itu tidak mau menghancurkan hubungan orangtua-anak yang sudah terjalin sekian puluh tahun. Berbeda dengan orangtuanya yang mengasuh kekasihnya itu sejak kecil, sahabat saya baru beberapa tahun mengenal perempuan itu. Dan perempuan itu, menurut kabar temannya, masih mencari pengganti yang seperti teman saya. Mendengar kabar itu, teman saya hanya bisa tersenyum pahit.

Sampai sekarang, teman saya masih mengirim kado untuknya setiap ulangtahun. Perempuan itu menungguinya dengan gelisah setiap dirinya berulang tahun, menunggu hadiah dan perjumpaan dengan teman saya. Pernah suatu kali, teman saya pergi ke rumah mantan pacarnya untuk memberi kado ulang tahun dan menemukan mantan pacarnya sedang berdiri gelisah di depan pintu rumah sambil memegang foto teman saya. Melihat nya, teman saya langsung pergi. Ia meminta tukang sate yang ia temui di jalan untuk meminjaminya baju dan topi tukang sate berikut gerobaknya. Sebagai jaminannya, ia memberi uang Rp 50.000,00 dan menitipkan kunci mobil. Teman saya mendorong gerobak tukang sate melewati rumah mantan pacarnya. Perempuan itu sesaat menatapnya, namun kemudian mengalihkan pandangan. Mungkin ia mengira itu teman saya tapi ragu karena orang itu mengenakan baju dan topi tukang sate. Kemudian teman saya melemparkan bunga ke depan perempuan itu. "Neng, bunga neng." perempuan itu tersentak dan memanggil-manggil nama teman saya. Tapi teman saya sudah keburu lari mendorong gerobak itu yang, menurut pengakuannya, sangat berat.

Teman saya sampai sekarang mau bertemu dengannya. Namun ia tidak kuat menahan perasaan yang muncul setiap kali bertemu, ataupun hanya mendengar suara perempuan itu. Bahkan ketika ia menceritakan kisah ini pada saya, saya melihat ada genangan air di pelupuk matanya. Ia ingin menangis, menumpahkan perasaaannya di depan perempuan itu. Namun ia mengurungkan niatnya karena ia tidak mau membebani perempuan itu sebagaimana hatinya hancur dulu ketika melihat perempuan itu menangis di depannya. Sejak saat itu, ia tidak pernah bisa melihat perempuan manapun menangis.

Saat ini teman saya sudah menjalin hubungan yang baru. Pacarnya yang sekarang tahu kisah teman saya dan mantannya, termasuk perasaan teman saya terhadap mantannya. dan ia mengerti perasaan teman saya. Teman saya memang orang yang selalu menaruh seluruh perasaannya bila ia mencintai seorang perempuan. Ia bangga dengan perasaan yang ia alami dengan mantannya meskipun demikianlah akhirnya. Ia bangga karena ia telah mengalami titik hidup yang terindah. Titik hidup yang menjadikan seorang manusia, manusia. Perasaan kasih sayang yang tulus.


Reposted, Jakarta, 26 Juli 2006

corresponding with my effort on reviving my romantic state of mind

0 comments: