Tentang Menulis
Selama dua hari ini, terutama kemarin, saya sangat aktif menulis. Salah seorang bilang saya produktif sekali. Tapi anehnya, saya tidak merasa begitu. Saya merasa begitu kerasukan kata-kata hingga kalau saya tidak menuliskannya, kepala saya tidak membiarkan saya istirahat dan terus mengetuk-ngetuk kesadarannya. Pikiran yang satu akan mengalah jika sudah diterjemahkan dalam kata-kata, entah dalam bentuk ketikan atau tulisan tangan dengan pen biru di atas selembar kertas. Namun kemarin, pikiran yang satu menumpuk pikiran yang lain, sampai-sampai begitu yang satu kelar dan saya siap-siap untuk istirahat, pikiran yang lain iri dan muncul begitu saja, minta ditulis lagi. Jadilah kemarin saya berkutat dengan malam sampai lewat hari, tepatnya pukul jam 3 pagi.
Tidak seperti tulisan yang mengandalkan saya untuk aktif berimajinasi, berhipotesis, ataupun menganalisis, tulisan ini begitu liar dan tidak membiarkan saya sendiri untuk mengalterasinya. Begitu saya berusaha untuk melogikannya, pikiran tersebut semakin mendesak saya untuk dikeluarkan. Perasaan yang aneh. Ini bukan kali pertama saya mengalaminya namun ini adalah pengalaman yang paling intens dan 'memaksa'. Tulisan saya yang terakhir 'kemarin', benar-benar di luar kontrol saya, sampai-sampai setelah membaca tulisan saya, saya ngeri sendiri. Saya takut pada kemungkinan-kemungkinan yang disiratkan atau direfleksikan dalam tulisan tersebut.
Apakah bagian dari diri saya mencoba mengadakan komunikasi dengan saya? Saya yakin begitu. Sepertinya ada suatu 'sel' dalam hati saya yang mencoba mengatakan sesuatu pada saya dan saya mungkin menghiraukannya karena saya sibuk dengan kegiatan saya sendiri, membaca. Ketika membaca, saya cenderung untuk mengabaikan apapun dan terus mendorong diri saya untuk masuk dalam dunia bacaan tersebut sehingga suara apapun tidak dapat saya dengar, termasuk suara hati saya sendiri. Suara yang terdengar dari saya cuma ketika saya menggumamkan kalimat dalam bacaan itu, mencoba membayangkan, dan menganalisis maksud dari kalimat itu, sebab tidak dalam semua bacaan, pengarang bersedia untuk memberitahukan maksudnya terang-terangan dan banyak yang sering menaruh simbol-simbol untuk pembacanya artikan atau interpretasikan sendiri.
Akan saya taruh lagi tulisan yang terakhir, yang cukup bikin saya tersentak sendiri.
yang kudengar dari bisikan angin waktu malam
lingga-lingga tak bertepi
membangun sebuah jaman
membeli waktu seakan waktu adalah perjanjian
pemekaran cinta dan asa kau jadikan dasar
bagi pengucapan bakti setia
di mana lidah-lidah api menggelayut di tepi sungai
siap mengantarkan maksud pada laut Agni
jiwa-jiwa berseru
waktu sudah tak lama lagi
sebuah bentuk cinta menunggu di selasaran angin
di peraduan Bunda Sri
kau mencabik-cabik nyawa seorang petani kebebasan
dan kau ambil bulir-bulir mereka untuk nafasmu
dunia dan akhirat menunggu
agar jiwa-jiwamu kembali
mencari akar setiamu
di pangkuan seorang gadis yang tak bisa kau jamah
dan apakah kau tahu kalau setengah wajahku adalah perempuan?
kita boleh mengadu jaman pada tinta-tinta keemasan
di balik lembayung senja
akan kau temukan sebuah pelangi pembalikan
pada kebenaran dan kata-kata yang kau dengar
bukan dari ego
namun dalam nafsu yang kau kekang bagi Sang Surya
lingga-linggamu hanya akan jadi tempat peristirahatan
jiwa-jiwa yang kelelahan
yang merusak jaman dengan gelak tawa musiman
gada punggawa alam
akan kutiupkan pada Sang Kesuburan
dan akan kucabut jirah-jirahmu
seperti pula akan kutanggalkan gusi-gusi ompongmu
untuk kuberikan pada sebuah penciptaan baru
pralambang suci dan mudarat
seperti mata koin yang akan abadi selamanya
Canting Candrakirana
Saya pertama-tama mengira jangan-jangan ini gambaran akhir jaman. Tapi segera saya menghapus pikiran itu, karena saya bukan nabi sebagaimana saya menganggap diri saya bukan filsuf juga. Selain itu, mengartikan tulisan-tulisan semacam ini secara harafiah akan membahayakan semua pihak termasuk diri sendiri. Pada intinya, setelah saya menganalisis dan melakukan flashback terhadap apa yang saya lakukan atau saya lihat akhir-akhir ini, saya sampai pada kesimpulan bahwa saya harus waspada karena banyak pikiran yang lewat, melalui bacaan, obrolan, dan sebagainya. Walaupun hal itu memuaskan kebutuhan saya untuk berimajinasi dan menganalisis, yang lewat-lewat itu bisa membelokkan saya pada jalan yang mungkin saya sesali, yaitu dengan asal percaya saja. Saya tidak menganggap bahwa hal ini berarti saya harus menutup mata ataupun menutup telinga terhadap apa yang terjadi di luar sana, namun saya harus mencernanya lebih dalam lagi, tidak dengan pikiran, tapi dengan hati saya yang sebenarnya, suara hati yang senantiasa memandu saya dalam mengenali mana yang baik dan mana yang buruk untuk saya, mana yang harus saya percayai atau yang saya harus jadikan bahan diskusi lebih lanjut. Yang saya maksud dengan diskusi lebih lanjut adalah menganalisis lagi akar atau sesuatu di balik hal yang pihak lain ingin saya percayai.
Saya tidak jadi merasa kesal dengan pikiran yang mendesak-desak kepala saya tadi, malah saya cukup bersyukur. Bagian diri saya tahu kalau saya cukup senang menulis kata-kata asal-asalan dan tiba-tiba merangkainya jadi cerita atau menambah kata-kata yang bukan-bukan. Setelah itu, baru saya baca lagi tulisan saya dan mereka-reka sebenarnya saya itu maunya apa. Sebagai orang yang jarang berencana dalam menulis dan orang yang suka teka teki, saya memiliki kesenangan tersendiri mencoba mengartikan diri saya. Jadi, hari ini, saya diingatkan lagi bahwa menulis bukan saja menuangkan imajinasi dan pikiran sadar saya tapi juga sarana berdialog dengan diri sendiri, bagian diri yang kurang kita dengar kala kita menyibukkan diri sendiri dengan berbagai kesibukan di sekitar kita.
To listen, to write, to pause, to reflect, to contemplate.
Posted in: contemplation, sharing on Saturday, September 12, 2009 at at 12:31 PM