Life is a restless tide; as we move, we are often in fear and doubt; let's pray and cherish every breath we take; let's synchronize ourselves with others, nature, life for we are one; may we learn on our journey; shall love, empathy, and compassion be our golden compass; and may we land to the shore in peace and tranquility, where hatred and ego shall jealously stare upon us.
Guna-guna? Ramalan karier, jodoh? Sepertinya media kita dibombardir dengan iklan-iklan yang menawarkan jasa-jasa yang kita sebut 'paranormal'. Kalau mau dapat ramalan ngini nganu, tinggal kirim sms REG spasi nganu-nganu ke nomor tut tat tut. Saya cukup bertanya-tanya, "hari gini masih ada yang percaya beginian?" Ternyata pandangan naif saya salah. Kenyataan bikin saya kaget. Di sebuah page twitter milik seorang mentalis terkenal, banyak yang berkonsultasi tentang jodoh, karier, ilmu hitam, dan tetek bengeknya. Dari tweet sang pemilik account, saya mendapat kesan bahwa pertanyaan ini termasuk dalam service yang ditawarkan, alias selain mentalist, dia juga peramal/paranormal. Ternyata seorang yang pernah saya temui, seorang self-healer, cukup concern dengan pemberian jasa konsultasi semacam ini. Beresiko dikira mencari publisitas dan cari ribut, ia menyatakan ketidaksetujuannya secara terang-terangan, bahwa menanyakan soal takdir pada orang lain, entah itu paranormal atau mentalis, adalah tindakan yang bodoh. Saya setuju sekali dengan pernyataannya itu. Someone should take a stand on this maddest of the madness.
Dunia ramal meramal bukanlah dunia yang benar-benar asing bagi saya. Mantan pacar saya dulu waktu SMA adalah seorang peramal. Entah dengan kartu tarot, garis tangan, lepehan daun teh, atau apapun itulah. Saya tidak bilang dia tukang bohong, penipu, atau sebagainya. Segala sesuatu punya potensi kebenaran. Untuk membuktikannya, saya juga ikut-ikutan belajar, pakai kartu tarot. Namun setelah beberapa lama menggunakannya, saya ngeri sendiri. Siapa saya yang berhak untuk membacakan takdir orang lain. It felt as if I was overstepping God and it haunted me for most. Oleh karena itu, saya berhenti, tidak pernah mau menggunakannya lagi meski ada beberapa orang yang "memaksa" saya untuk kembali "berpraktek".
Sekali lagi, saya tidak bilang bahwa meramal itu dosa. Semua itu ada di tangan Tuhan, bukan manusia. Menyinggung soal ranah siapa, manusia itu dianugerahi dengan intuisi, suara hati yang senantiasa memandu kita dalam setiap langkah kita. Suara hati, yang saya percaya berasal dari Tuhan sendiri, akan membantu kita dalam menjalani hidup ini. Apalah arti sekolah kehidupan kalau kita tidak belajar, tidak mau mengambil resiko? Tanpa mau berpanjang-panjang lagi, saya pikir adalah sebuah kebodohan untuk menyerahkan kebebasan kita untuk mengambil keputusan, untuk jatuh dan bangkit, untuk belajar pada orang lain, yang notabene adalah manusia juga, bukan Tuhan. We are 'gifted' with our own intuition to lead us to The Path, I think it's deluding to grant power upon our life to another human being.
Saya tidak memaksa bahwa setiap orang harus setuju dengan pernyataan ini. Saya hanya ingin mengajak kita semua untuk menjadikan hal ini sebagai salah satu wacana pikiran kita. Hal ini agar nantinya ketika kita menghadapi masalah yang menghadapkan kita pada persinggungan ini, kita lebih siap, tahu, dan yakin dengan langkah yang kita ambil. To relinquish our power upon ourselves and give it to someone else, to believe or not to believe in the voice deep within ourselves.
image, courtesy of diaryofayoungdesigner.blogspot.com
Kemarin saya ngobrol-ngobrol dengan salah seorang sahabat saya. Sahabat yang dekat sekali dengan saya, sampai-sampai saya dikira pacaran dengan dia waktu semester dua lalu. Padahal, kenyataannya, dia juga sudah punya pacar, seorang perempuan mungil yang manis. Pertama-tama obrolan kami ringan-ringan saja, soal informasi baru, soal mobil keren yang ia kagumi di jalan. Rupanya seorang perempuan naik ferrari menantang dia balapan dan dia kalah (mobilnya kijang). Cukup memalukan buatnya untuk dikalahkan oleh seorang perempuan dalam bidang yang seharusnya dirajai laki-laki. Namun tidaklah lama kami membahasnya, obrolan berlanjut ke zona yang lebih personal.
Sebulan yang lalu dia bertemu dengan mantan pacarnya sewaktu sedang makan malam sendirian di sebuah daerah bilangan Jakarta. Mereka bertatapan untuk sekian lama. dari jarak yang tidak terlalu jauh, tapi juga tidak dekat. Perasaan teman saya langsung kacau balau. Memori masa lalu mulai bermain lagi di kepalanya, perasaan yang ia pendam, sampai-sampai ia tak kuat meneteskan air mata. Kemudian teman saya langsung ke mobilnya, melaju mobil sekencang-kencangnya. Tapi dia masih sempat mendengar mantan pacarnya berteriak memanggil namanya.
Teman saya punya kisah cinta yang mengagumkan dan menyentuh, yang membuat saya sedikit iri, yang membuat saya mengata-ngatai perempuan itu bodoh bila perempuan itu menyia-nyiakan cintanya. Teman saya mencintai perempuan itu dengan sepenuh hati sepenuh jiwa, sepenuh yang mungkin tidak bisa saya bayangkan besarnya. Dia menolak memeluk ataupun mencium mantannya (sewaktu berpacaran) agar ia bisa benar-benar merasakan perasaan yang murni, bukan fisik. Kontak fisik yang paling jauh, hanya mengecup kening ataupun rambutnya. Perempuan itu mengatakan bahwa ia butuh belaian fisik namun teman saya menjawab, "lebih dari yang kamu tahu, perasaanku lebih dalam."
Dan saya salah mengira perempuan itu bodoh. Ternyata keadaanlah yang memisahkan mereka. Agama mereka berbeda dan orangtua perempuan itu tidak bisa menerimanya. Teman saya ingin memperjuangkan cinta mereka tapi langkah teman saya terhenti, menyadari harapan orangtua perempuan itu yang sangat besar terhadap anaknya. Sahabat saya itu tidak mau menghancurkan hubungan orangtua-anak yang sudah terjalin sekian puluh tahun. Berbeda dengan orangtuanya yang mengasuh kekasihnya itu sejak kecil, sahabat saya baru beberapa tahun mengenal perempuan itu. Dan perempuan itu, menurut kabar temannya, masih mencari pengganti yang seperti teman saya. Mendengar kabar itu, teman saya hanya bisa tersenyum pahit.
Sampai sekarang, teman saya masih mengirim kado untuknya setiap ulangtahun. Perempuan itu menungguinya dengan gelisah setiap dirinya berulang tahun, menunggu hadiah dan perjumpaan dengan teman saya. Pernah suatu kali, teman saya pergi ke rumah mantan pacarnya untuk memberi kado ulang tahun dan menemukan mantan pacarnya sedang berdiri gelisah di depan pintu rumah sambil memegang foto teman saya. Melihat nya, teman saya langsung pergi. Ia meminta tukang sate yang ia temui di jalan untuk meminjaminya baju dan topi tukang sate berikut gerobaknya. Sebagai jaminannya, ia memberi uang Rp 50.000,00 dan menitipkan kunci mobil. Teman saya mendorong gerobak tukang sate melewati rumah mantan pacarnya. Perempuan itu sesaat menatapnya, namun kemudian mengalihkan pandangan. Mungkin ia mengira itu teman saya tapi ragu karena orang itu mengenakan baju dan topi tukang sate. Kemudian teman saya melemparkan bunga ke depan perempuan itu. "Neng, bunga neng." perempuan itu tersentak dan memanggil-manggil nama teman saya. Tapi teman saya sudah keburu lari mendorong gerobak itu yang, menurut pengakuannya, sangat berat.
Teman saya sampai sekarang mau bertemu dengannya. Namun ia tidak kuat menahan perasaan yang muncul setiap kali bertemu, ataupun hanya mendengar suara perempuan itu. Bahkan ketika ia menceritakan kisah ini pada saya, saya melihat ada genangan air di pelupuk matanya. Ia ingin menangis, menumpahkan perasaaannya di depan perempuan itu. Namun ia mengurungkan niatnya karena ia tidak mau membebani perempuan itu sebagaimana hatinya hancur dulu ketika melihat perempuan itu menangis di depannya. Sejak saat itu, ia tidak pernah bisa melihat perempuan manapun menangis.
Saat ini teman saya sudah menjalin hubungan yang baru. Pacarnya yang sekarang tahu kisah teman saya dan mantannya, termasuk perasaan teman saya terhadap mantannya. dan ia mengerti perasaan teman saya. Teman saya memang orang yang selalu menaruh seluruh perasaannya bila ia mencintai seorang perempuan. Ia bangga dengan perasaan yang ia alami dengan mantannya meskipun demikianlah akhirnya. Ia bangga karena ia telah mengalami titik hidup yang terindah. Titik hidup yang menjadikan seorang manusia, manusia. Perasaan kasih sayang yang tulus.
Reposted, Jakarta, 26 Juli 2006
corresponding with my effort on reviving my romantic state of mind
Michael Corleone: I saw a strange thing today. Some rebels were being arrested. One of them pulled the pin on a grenade. He took himself and the captain of the command with him. Now, soldiers are paid to fight; the rebels aren't.
Berjumpa dengan orang baru atau teman, tersipu-sipu, muka memerah, bagai mendengar lantunan merdu di hati saat pandangan bertemu. Apakah itu tanda kita jatuh cinta atau sebenarnya cuma kekaguman, yang lazim disebut infatuation? Sewaktu saya masih remaja, sering sekali saya merasakannya namun saya tidak mengerti dan saya malah berpikir bahwa saya ini begitu mudah jatuh cinta. Setelah saya bertemu dengan bermacam-macam orang dan jatuh cinta sebenar-benarnya, barulah saya tahu ini hanya infatuation belaka. Rasa kagum terhadap kedewasaan, cara pandang, keluasan wawasan, dan sebagainya bisa memicu debar tak juntrungan saat bertemu dengan orang ini atau kita jadikan alasan untuk memikirkan ataupun menebak-nebak kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi.
Ketika saya mengalami letupan-letupan itu, mula-mula saya pikir jangan-jangan saya jatuh cinta. Pikiran saya biasanya paranoid dan pusing sendiri. Tapi lama kelamaan, perasaan itu pudar dan berganti jadi perasaan yang tidak menggelegak, lebih mengayun seperti persahabatan. Apakah itu artinya faktor waktu jadi pembeda antara infatuation dan jatuh cinta? Mungkin. Butuh waktu untuk mengikat komitmen dengan seseorang. Namun waktu bukan inti dari teka-teki ini. Waktu hanyalah medium bagi kita untuk saling berproses. Perlu pengenalan, komunikasi, dan usaha untuk saling memahami agar kita bisa dengan yakin berkata “I love you” pada orang yang ditaksir sehingga kita tidak gombal kata. Kita sebagai manusia, seringkali tertipu dengan gejolak rasa sendiri dan mengartikannya sesuai dengan keinginan kita sendiri sehingga mengaburkan perasaan yang sesungguhnya.
Saya pernah jatuh cinta. Alangkah manisnya, saat pertama kali berSMS, telepon, dan kencan, semudah itu kata “I love you” meluncur dari kami berdua. Kemudian di antara kami ada penyesalan karena ternyata perasaan kami mungkin dipicu oleh rasa sepi kami dan dambaan kami pada seseorang yang bisa mendampingi kami dalam susah maupun senang. Walau pada akhirnya dalam proses, kami saling mencintai namun kata-kata “I love you” itu jadi momok bagi kami. Kami dulu pernah mengumbar tiga kata sakti itu pada saat kami mengalami infatuation dan akhirnya ‘mantra’ itu kehilangan keajaibannya dalam perkembangan hubungan kami selanjutnya. Dalam proses, kami saling mengenal, saling menyesuaikan diri, dan pada akhirnya kami saling mencintai namun kami tidak pernah mengucap tiga kata itu lagi. Ragu-ragu. Kami takut salah, kami takut menerjemahkan rasa, takut berbohong pada diri dan pasangan. Hal ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan komunikasi saya dan pasangan saya tidak lancar, tersendat, dan akhirnya benar-benar mandeg.
Begitu mudah kita terpesona, begitu mudah kita terlena akan bayang-bayang dongeng. Namun kita, manusia, selain dianugerahi rasa, juga diberi pikir, supaya kita bisa bermimpi menyentuh langit sekaligus menapak tanah. Karunia keseimbangan, agar kita tidak terombang ambing pada langit maupun bumi. Kata cinta adalah mantra ajaib pengikat dua insan yang terpisah hingga jadi satu hati dan satu rasa. Agar keajaiban itu terus terasa dan menyentuh kita pada titik yang tepat, kita harus menjaganya dan membuatnya sakral. Ucapkanlah kata cinta, pada saat kita benar-benar memaknai kata itu. Dalam proses, dalam perjuangan, dalam komunikasi dan usaha saling memahami, kita akan mengenal cinta yang tumbuh. Menurut saya, bukan pada saat ada benih itu kita mengucap cinta, namun ketika telah merekah, barulah saat yang tepat bagi kita untuk berkata “Aku cinta kamu“. Hal ini, sebab ketika masih benih, itu hanyalah benih yang belum tumbuh sehingga ketika kita mengucap cinta, kita bagaikan memaksakan kehendak kita. Namun ketika cinta itu telah tumbuh, merekah, dan mengakar, barulah kata cinta itu tepat, menggambarkan, mengekspresikan, dan menaut gelombang rasa dan jiwa yang tenang dalam harmoni inti hidup manusia.
Why are we being frugal to praise people and generous to mock? Does an act of uplifting people threat our self-worth, while an act to trash people around legitimates our self-concept? In other words, we have to commit one of the seven deadly sin, pride it is, to feel good about ourselves. What a trade!
An imperfect love, but that imperfection is the reason why love is love and why love is beautiful.
Title: "A Little Soul" Artist: Pulp Album: This is Hardcore
Hey man, how come you treat your woman so bad? That's not the way you do it. No, no, no.. you shouldn't do it like that. I could show you how to do it right. I used to practice every night on my wife now she's gone. Yeah, she's gone.
You see your mother and me we never got along that way you see. I'd love to help you but everybody's telling me you look like me but please don't turn out like me. You look like me but you're not like me I know. I had one, two, three, four shots of happiness. I look like a big man but I've only got a little soul. I only got a little soul.
Yeah, I wish I could be an example. Wish I could say I stood up for you and fought for what was right. But I never did. I just wore my trenchcoat and stayed out every single night. You think I'm joking? Well, try me. Yeah, try me. Yeah come on, try me tonight. I did what was wrong though I knew what was right. I've got no wisdom that I want to pass on. Just don't hang 'round here, no, I'm telling you son. You don't wanna know me. Oh, that's just what everybody's telling me.
& everybody's telling me you look like me but please don't turn into me. You look like me but you're not like me I hope. I have run away from the one thing that I ever made. Now I only wish that I could show you - wish I could show a little soul. Wish I could show a little soul. [x3]
Di kota metropolitan ini, kesibukan menyesaki setiap sudut sampai-sampai hari Minggu pun bukan hari libur melainkan hari pelampiasan untuk tidur. Namun menjelang hari raya (baca: Lebaran), hawa-hawa liburan benar-benar menjalari jantung ibu kota ini. Saya yang biasanya menghabiskan waktu seenaknya pun merasakannya. Hari-hari ini lebih terasa santai dari hari-hari sebelumnya yang tampak santai juga. Maklum beberapa bulan ini saya merdeka dengan waktu saya dan keinginan saya, tapi tidak dengan pikiran-pikiran saya yang makin banyak pertanyaan dan makin meresahkan. Namun ketika bangun pagi ini, pikiran saya terasa ringan. Untunglah badan saya tidak, sebab jika tubuh saya ikut-ikutan, saya curiga saya menyobek tiket "liburan abadi" tanpa sengaja.
Kalau dulu-dulu sewaktu masih sekolah, liburan bagi saya menyiksa karena saya merasa kehilangan jati diri. Saya tidak tahu mau melakukan, tanpa rencana, dan semua itu bagi saya cukup membingungkan dan bikin frustrasi. Saya terlalu terbiasa dengan kesibukan saya sampai-sampai saya asing dengan diri saya sendiri. Saat liburan, saya paling sering bersama dengan diri saya, tanpa embel-embel dan ketidaknyamanan itu menyerang di saat keriaan dengan teman-teman berakhir. Di saat liburan seperti ini, teman-teman saya banyak yang pulang kampung. Sedangkan saya? Kampung saya di Jakarta. Satu-satunya yang bisa saya nikmati adalah kelengangan jalan Jakarta.
Kesibukan benar-benar merenggut perhatian saya, mengalihkan saya dari teman saya yang terbaik (baca: diri sendiri). Liburan seharusnya dimaknai bukan hanya sebatas pergi melancong, tidur sepuas-puasnya, makan, nonton, dan sebagainya. Menurut saya, liburan adalah saat untuk berhenti dari semua kesibukan di luar diri. Liburan adalah saat kita menikmati kebersamaan dengan diri sendiri, selain dengan orang-orang yang kita cintai (baca: keluarga, sahabat). Kita punya waktu untuk mengenal lagi siapa kita, apa yang kita rasakan, pikirkan, inginkan, dan sebagainya. Sudah saatnya buku harian kita diisi dengan dialog diri, bukan cerita tentang aktivitas kita di luar sana, kesibukan kerja, teman-teman kantor yang lucu ataupun menyebalkan, dan sebagainya.
Sama halnya seperti kita membangun hubungan cinta dengan pasangan. Jika komunikasi dengan pasangan hanya diisi oleh keluhan tentang pekerjaan, relasi dengan teman, cerita orang lain, dan sebagainya, hubungan itu pun akan terasa hambar. Inti cinta yang ingin mengenal dan memahami tidak kita sentuh dalam komunikasi. Dulu kita bilang pada pasangan kita, "saat kita pertama kali bertemu, aku seperti sudah lama mengenal kamu". Namun setelah beberapa lama kemudian, kita bilang lagi, menyangkal omongan kita sendiri, "sudah sekian lama kita berhubungan, tapi makin lama aku merasa tidak kenal kamu." Kalau kata orang, setrumannya sudah habis. Ya gimana tidak habis, wong listriknya dimatikan? Masih untung kalau cuma pacar, soalnya seperti lagu-lagu cinta hits sepanjang masa, pacar itu bisa datang dan pergi. Bisa diganti, meski tidak semudah berganti baju. Tapi bagaimana kalau keburu tandatangan kontrak pernikahan dan punya anak? Permasalahan bibit bebet bobot waktu kita masih bujangan, berganti dengan pertimbangan bagaimana nasib siapa-siapa ke depannya. Dengan kata lain, persoalan ganti-ganti tidak semudah asal tanda tangan surat baru, lalu selesai.
Menurut saya, sebelum kita tanda tangan kontrak di atas kertas, kita sudah tanda tangan kontrak duluan sejak sperma ayah dan sel telur ibu kita bertemu. Sejak kita "ada", kita sebenarnya sudah menikah. Bukan dengan ayah, bukan dengan ibu, bukan dengan dokter, mak comblang, dan sebagainya, melainkan diri kita sendiri. Kalau kita merasa sebal setiap kali melihat suami/istri kita, kontrak 'selamat menempuh hidup baru' akan terasa seperti kontrak kematian. Merasa terasing, benci dengan dunia, dan perang sebenarnya disebabkan oleh perkawinan kita yang retak. Yang membuat kita merasa terasing dan tidak punya teman bukanlah orang lain melainkan diri kita sendiri. Demikian pula dengan benci. Orang lain cuma proyeksi. Karena kita tidak mau menengok pada suami/istri pertama kita, ia "terpaksa" memutar film kesepiannya pada orang lain. Kebencian pada diri merupakan awal dari destruksi kehidupan, mulai dari manipulasi, propaganda, kekerasan, dan perang. Saya pikir, hidup kita terlalu lama dan terlalu sebentar untuk kita lalui dengan kegetiran semacam itu. Maka, hari ini, saya menikmati liburan dengan diri saya sendiri. Saya biarkan saja diri saya menuntun ke mana saya harus melangkah, ikut-ikut, dan "pasrah" saja. Tanpa pusing. Tanpa embel-embel. Tanpa bete. Tanpa rencana.
Failure is a path that can reflect the way to get to the right track. They who hides behind 'what's right' will be lost. They who fears to fail won't find anything and even themselves. Therefore, let's all dismantle our fear and just jump! Enjoy the ride and see where life takes you.
"Life is what happens while you are busy making other plans" (John Lennon)
Two years ago, I asked some friends the rules of normality. Let’s list more rules on how society expect us to behave, so not only can we leave a legacy to the next generation (see? That’s how THEY wanted us to become!) but we also can be very attentive in not following patterns that other are always trying to impose on us.
www.paulocoelhoblog.com
There are three definitions of normality. First, it goes with what majority does. Second, as long as you don’t bother others. Third, law.
In my country, first and third definition win. This is only my opinion, you could object that and I'm opened for it.
These, in my opinion, portray what normalcy goes in my society (MADNESS), they're not something to be dissed about, just for a good day laugh (ironically) and a starting point to decide whether you want to go along the ride of what-so-called normal, or to become an agent of change.
Here they are:
1. You ought to have a religion. In Indonesia, there are five religions that our government stated in their laws: Islam, Buddha, Hindu, Catholic, Christian. We have to choose one of them and they type our religion in our ID. Once, my friend (an artist) wanted to make a citizen ID and refused to choose between the 5, simply because he didn’t belong in those religions. However, the official still put one of the 5 in the ID. My friend had to tape the religion section in his ID and wrote over it: “Artisto Liberte”.
2. Women: study hard, go to college, graduate, work (to find a guy), then get married. If you’re over 25 and you haven’t gotten married, they will push you. If at that time you don’t have a boyfriend, they will insist to find one for you. After getting married, have children. If you haven’t conceived after getting married for one year, they will push you to have children as soon as possible, offering any possible remedy and medicine to “cure” your womb.
3. It’s not polite to refuse people’s offer. Say, “maybe another time”, instead of “I’m not interested”
4. Working means white-suit working labors. Art doesn’t count, generally.
5. Having children only possible if you are married. You are considered nuts to have a child (either by conceiving or adopting) without a husband.
6. Men can have more than one wife (polygamy) and people may think that they are building a small kingdom, and it’s praised. Meanwhile, women having more than one men, are called sluts.
7. You can only have a romantic relationship with other sexes. LBGT is considered a disease here.
8. Be busy. No matter what. Spending time with yourself with no books, TV, internet, etc., they may think you as a lazy person and warn you that by doing that, you’re allowing devil to possess you.
9. Follow fashion. Buy what your friends are crazy about, even though it only ends up in your closet and you never have guts to wear it.
10. Having blackberry. Use blackberry any time, in any occasion including social gathering, family time, watching movies together with your friend. Anytime. Don’t mind people talking to you, BB is more important than them.
11. Following dreams. They may think you as a dreamer with no real plan, lack of consideration, “short-sighted”, and are walking the path to be slaughtered with disappointment. Life is only when you follow the normalcy rules.
12. There are certain religions considered “appropriate” for every race. Example: Chinese must be Christian, Catholic, or Buddha, and ill-portrayed if Chinese choose Islam, even though history told us that Chinese race participated actively in spreading Islam in Indonesia.
13. You don’t argue with religious leader. Once in a seminar, I argued about politics with a priest and people booed at me, thinking that I was rude (while in fact, the priest and me were enjoying the argument).
14. Women talk only about gossips, men debate on politics and sports.
15. Being angry for anything that people say it is a threat, though the “threat” has no logical based and may be a hoax.
16. Possessive about the cultural heritage though you actually don't love it. Indonesia and Malaysia are having arguments on who has who. When they read a news stated that Malaysia put Pendet Dance from Bali (Indonesia) in their visit year advertisement, people expected us to be angry and dissed Malaysia as rude as possible, though only a few of them that know, love, and learn about Pendet Dance.
17. Sex conversation is exclusive only for men. Women having discussion like sex and the city, wow, they may think that you’re slut that want to sleep around with anyone anytime.
18. Getting married only with people from the same religion. If you don’t, well, you have to get married abroad and be prepared that your child may not have an Indonesian citizenship, because Indonesia doesn’t accommodate people from different religion to get married.
19. Being assertive is rude.
20. Being obsessed to have white skin though naturally our skin is brown. White skin = pretty = guaranteed to be loved (in other words, you have to be have a fair skin to get people to love you, ironic).
21. Be “morality police” anytime anywhere. Our parliament is in the process of writing a pornography / "pornoaction" law. They are holding a hearing to determine which CULTURE IS CONSIDERED AS PORN. By culture, I mean tribal dance, tribal clothe, etc. Soon, maybe, you may not see people wearing bikini in a pool. We may have to wear clothing four size too big. They have just issued a bill for cinematography. The bill is designed so outlandish and restrictive that we are only allowed to produce films only to teach in vagueness, and are not allowed to portrayed harsh reality such as racial prejudice, etc.
22. Wanna stay in trend? Use angry words (swearing) anytime, anywhere, to anyone despite of the absence of strong logical basis or reason. Find something or even someone to be pissed on. The harsher you get, the higher you'll go. Trash in on social networking site, they will crown you as a go-to person to stay updated.
Pemaparan yang indah untuk Centhini. Tadinya saya pikir ini dari naskah asli tapi setelah saya baca keterangan dari penulis, ternyata lebih tepat disebut sebagai interpretasi penulis dari Serat Centhini. Serat Centhini yang asli rupanya terpotong-potong naskahnya karena masyarakat pada jaman dulu hafal dengan cerita yang dimaksud. Namun makin lama, generasi mudanya sudah tidak terlalu akrab lagi dengan hikayat-hikayat ini.
Interpretasi yang menarik dengan pertimbangan yang cukup matang dari penulis. Saya menangkap kesan penulis belajar banyak soal kebudayaan Jawa. Beberapa cerita peperangan mirip Babad Tanah Jawi dan ternyata memang diambil sebagian dari situ.
Terus terang saya tergerak oleh "empat puluh malam dan satu hujan". Amongraga dan Tembangraras saling menembang dan membuka rahasia tentang hidup, prahara, dan jalan Allah demi ilmu Kasampurnaan atau Kebahagiaan. Kata Amongraga pada Tembang Raras, "Cinta adalah Karya agung yang mengubah nafsu menjadi nafas. Itulah jalan kematian besar, kenikmatan di luar kenikmatan tubuh."
Di samping kesukaan hati saya pada Centhini, saya kurang setuju dengan "penggantian" sebagian cerita dari Serat Centhini. Dalam Serat Centhini yang asli, diceritakan Nyi Rara Kidul menyanyikan tembang rindu untuk Sultan Agung. Sedangkan dalam interpretasi penulis, posisi Nyi Rara Kidul diganti Sultan Agung. Jadi Sultan Agung lah yang diceritakan sakit rindu pada Ratu Pantai Selatan itu. Saya senang untuk mengetahui sudut pandang penulis. Interpretasi menjadikannya lebih kaya. Namun saya masih sedikit berharap kesesuaian dengan naskah asli lebih dijaga dan interpretasi digunakan untuk melengkapi "jembatan" yang hilang.
"Dinda, orang bodoh yang ingin mendaki gunung meletakkan cermin raksasa di gunung itu, mengira dengan demikian dapat lebih baik melihatnya. Tetapi yang dilihat hanyalah dirinya sendiri, sangat besar, di cermin seukuran gunung itu. Orang berilmu, untuk mendaki guning, akan meletakkan cermin di hatinya dan di sana ia akan melihat pantulan kebesaran gunung itu serta sungai-sungainya yang paling rahasia.
Dengan Ilmulah orang belajar mengilapkan cermin agar memberikan pantulan yang paling sesuai dengan gunungnya. Bila cermin berdebu atau retak, gunung pun akan berdebu dan retak. Cerminlah yang membedakan. Tetapi Allah, Pencipta gunung dan segalanya, tidak akan tercemar oleh cacat cermin."
(Centhini: Kekasih yang Tersembunyi, 2004-2006)
If we let ourselves be possessed with hatred, it means that we hate nothing but ourselves. Be possessed with love, true love, then we can see things clearly as God unwrap Her veil on you.
Sleeping is an "exercise" on death and waking up is a "small" rebirth. Renew your hope every time you open your eyes. Reflect and contemplate whenever you're about to get some rest and close the day.
Pernahkah kamu mengalami satu kejadian yang ternyata mengubah hidupmu yang tadinya abu-abu kebiruan tiba-tiba jadi warna kuning? Saya pernah dan kalau dipikir-pikir lagi, buat saya itu keajaiban yang sangat besar. Tidak seheboh bisa berjalan di atas air atau mendatangkan dan menghentikan hujan sejati tentunya, tapi kejadian ini membuat saya merasa benar-benar hidup alias berjalan menapak tanah dinaungi oleh langit. Tentu saja saya manusia, sebagaimana makhluk hidup di bumi, jalannya pasti di atas tanah, tapi dulu pikiran saya mengawang-ngawang. Tidak jelas mau ngapain. Sekolah yang 'benar', nilai bagus kalau bisa masuk ranking 10 besar, makan, tidur, nonton sinetron (yak saya waktu kecil mengertinya kalau menonton, ya nonton sinetron atau telenovela, karena itu budaya mbak-mbak dan mamak saya di rumah). Setelah sekolah, hm, mungkin kerja, tidak pakai nikah, yang penting punya banyak uang tanpa tahu uangnya mau diapakan. Soalnya ya itu, hidup saya sepertinya cuma numpang lewat. Iman saya saja setengah-setengah, ke Gereja, cuma supaya saya bisa pakai baju bagus dan ditraktir makan oleh tante saya sepulang Gereja. Ya, itulah sepotong hidup saya dari saya SD sampai SMP. Kalau waktu orok, saya lupa-lupa ingat jadi kalau coba reka-reka, kok rasanya seperti bohong-bohongi diri. Hari ini saya berniat untuk mencoba jujur, terutama pada diri sendiri. Jadi, niat ngarang-ngarang fiktif, segera saya lupakan.
Kembali soal hidup saya yang tidak jelas itu, setelah menamatkan SMP, saya meneruskan ke SMA yang ketat peraturannya sampai-sampai kaos kaki harus sebetis, setinggi lutut, dan rok panjangnya minimal 10 cm di bawah lutut. SMA ini budayanya belajar sekeras-kerasnya dan 'memaksa' murid-muridnya untuk jadi kutu buku. Karena isinya perempuan semua, jadinya mudah-mudah saja karena tidak ada godaan laki-laki yang mengalihkan perhatian pada saat lagi belajar di kelas. Sejak saya menjejakkan kaki saya di kelas 1D di SMA itu, saya sudah tahu. Pertama, karena sekolah ini terkenal atas kedisiplinan kesusterannya. Kedua, SMP saya tepat berada di bawah SMA itu, secara literal, satu gedung, menyandang nama yang sama. Yang beda hanya tingkatannya saja.
Berbeda dengan SMP, SMA itu menawarkan beragam jenis ekstrakurikuler dan kami diwajibkan untuk memilih satu dan tidak boleh dua. Mungkin sekolah ini menyadari besarnya kemungkinan murid-murid sekolah itu ambisius dan memperkecil kemungkinan murid itu sendiri stress karena tidak bisa membagi waktu untuk belajar dan waktu untuk kegiatan ekstra. Ekstrakurikuler yang ditawarkan antara lain gamelan Jawa, marching brass, olahraga (basket, voli), vocal group, teater, dan sebagainya (saya lupa). Di antara kegiatan itu, tanpa pertimbangan apapun, saya mendaftar untuk masuk teater.
Teater di SMA saya itu terkenal disiplin dan punya kriteria yang ketat buat anggota-anggotanya. Kami diharuskan untuk mengikuti seleksi terlebih dahulu. Cukup bikin kaget dan was-was karena konon, seleksinya cukup menyeramkan. Tapi karena sudah terlanjur mendaftar, saya ikuti jugalah seleksi itu. Sebelum seleksi, kami dikumpulkan oleh senior kami anggota teater soal apa yang harus kami siapkan dan apa yang harus kami lakukan.
Pada saat seleksi, kami harus: 1. Memakai baju yang tidak matching, makin nabrak makin bagus 2. Menggantungkan papan nama sebesar mungkin di leher kami. yang harus ditulisi dengan informasi-informasi yang biasa kami tuliskan di diary teman waktu SD: nama, tempat tanggal lahir, hobi, dan sebagainya. 3. Karena temanya 'binatang', kami harus menentukan kami akan menjadi binatang apa, mempelajari soal perilaku binatang itu, mengenakan kostum sesuai dengan binatang tersebut. Masing-masing calon anggota, tidak boleh jadi binatang yang sama. Oleh karena itu, sebelum seleksi, kami harus saling berkomunikasi mau jadi binatang apa. 4. Memilih pasangan teman. Jadi mau tak mau, kami memang harus berkenalan dan saling berdiskusi. Berhubung jangka waktu antara pengumuman ini dengan seleksi yang sesungguhnya hanya sebentar, insting kami andalkan untuk memilih pasangan.
Saya, tidak tahu kenapa, agak bersemangat untuk mempersiapkan semuanya. Saya memilih jadi kambing, dan saya lupa teman saya jadi apa (dasar pelupa!). Lalu karena saya tidak punya stok baju banyak saat itu dan saya tidak enak hati meminta orangtua saya membelikan baju baru, saya akali baju-baju saya yang warnanya super netral itu (abu-abu, hitam, dan khaki) dengan menempelkan potongan kain perca sisa yang bisa saya temukan di rumah. Semuanya itu saya tempel dengan selotip. Rencana yang buruk dan saya yang tidak perhitungan itu, menerima konsekuensinya pada saat seleksi. Kain-kain itu lepas satu per satu, baju saya kembali matching, akhirnya saya seperti sukarela menyediakan diri jadi korban semprotan senior-senior.
Seleksi diadakan di aula sekolah dengan lampu yang sengaja dimatika. Kondisinya suram dan depresif, dengan senior-senior berpakaian serba hitam memandang dengan mata yang hampir mencelat keluar dan kata-kata yang bikin tambah ciut. Mereka berteriak-teriak dan menyuruh kami untuk memperagakan sesuatu. Namun mereka melakukannya dengan gaya tersendiri, yang belakangan saya tahu tujuannya adalah untuk menguji mental. Menggunakan kata-kata yang menghujam-hujam ulu hati sehingga siapapun yang berada di posisi saya dan teman-teman saya lainnya, akan merasa dirinya cuma seuprit debu. Saya, orang yang cukup percaya diri dengan berbagai prestasi akademis di tangan saya yang lumayan walaupun tidak jenius, merasa diterpa badai. Saya sampai-sampai mempertanyakan diri bahwa mungkin sebenarnya saya tidak bisa apa-apa dan semua yang telah saya pelajari atau lakukan tidak ada gunanya. Dihantui oleh self-esteem yang di ambang keruntuhan itu, saya tercekat dan apapun yang saya lakukan, saya lakukan atas dasar takut dan bukan kepercayaan diri.
Hasilnya, saya tidak bisa mendemonstrasikan apapun potensi saya dan pada saat itu, saya yakin sekali seleksi ini sudah berakhir bagi saya. Tidak mungkin saya diterima. Saya ingat, saya waktu itu cuma berpikir untuk bisa keluar dari ruangan itu dan mengakhiri siksaan batin di ruang gelap itu yang berlangsung selama dua jam. Saya benar-benar berharap dua jam itu berakhir dan saya akhirnya mengiyakan apapun yang mereka 'tuduhkan' pada saya, termasuk 'mengaku' kalau saya mau masuk teater karena ikut-ikutan. Walaupun kejadiannya tidak begitu, saya mengamini saja karena saya sudah hampir tidak peduli dan berharap jawaban saya membuat mereka diam serta membiarkan saya pergi. Tidak begitu kenyataannya. Orang "hitam" dari berbagai penjuru mengepung saya dari berbagai penjuru serta mencerca saya. Akhirnya saya tidak bisa menahan diri dan menangis.
Namun di antara wajah-wajah sangar itu, saya dihampiri oleh wajah malaikat. Saya tidak mencoba sok-sok dramatisir. Persis seperti itulah perasaan saya ketika itu. Dengan lembut, dia menuntun saya ke sebuah sudut, setelah saya menitikkan air mata dan nafas putus-putus. Persis orang asma kehabisan napas, walaupun sebenarnya saya tidak mengidap asma. Dia menenangkan saya, mengusap-ngusap punggung saya, dan menunggu saya berhenti menangis. Setelah melihat saya cukup tenang, dia bertanya dengan lembut, "apa kamu sungguh mau masuk teater?" Saya mengangguk. Sesudah badai yang menghempaskan saya, saya cukup kaget dengan reaksi saya. Saya sadar, jauh dalam lubuk hati saya, saya ingin masuk dalam komunitas ini, meskipun saya saat itu belum akrab dengan dunia perkesenian. Keluarga saya, semua sarjana ekonomi, tidak ada yang menaruh minat dalam seni. Tiba-tiba saya, entah dari mana, punya keinginan untuk masuk teater tanpa memahami alasannya sendiri. Pokoknya mau saja. Titik.
Dua hari kemudian, pengumuman hasil seleksi ditempel. Rasa ingin tahu, harap, dan takut bercampur jadi satu. Akhirnya saya beranikan diri untuk melangkah ke papan pengumuman bersama teman-teman yang lain. Di luar dugaan, nama saya masuk di situ. Saya satu di antara delapan siswa kelas 1 yang diterima jadi anggota baru teater. Dipenuhi kegembiraan, saya berloncatan dan lari ke kelas untuk memberi tahu teman-teman sekelas saya. Namun sebelum sampai kelas, di persimpangan lorong, saya dicolek oleh seorang kawan yang juga ikut seleksi namun tidak diterima. Dia bilang, kakak malaikat itu berpesan pada saya agar saya baik-baik membuktikan diri saya di sana dan tidak mengecewakannya. Rupanya ia mati-matian memperjuangkan saya di hadapan teman-temannya untuk menerima saya. Mungkin karena ia alumni, rekan-rekan anggota teater segan padanya. Mungkin juga karena ia begitu yakin pada saya, ia berhasil membujuk rekan-rekannya. Saya lebih memilih kemungkinan kedua untuk saya amini. Ada seseorang yang menaruh kepercayaan pada saya yang tampak tidak menjanjikan potensi apa-apa.
Uluran tangan alumni itu, yang sampai sekarang namanya masih jadi misteri bagi saya, merupakan titik balik dalam hidup saya. Saya yang pesimis, tidak percaya pada persahabatan, kesepian mengenal arti persahabatan, kerja keras, dan ikatan yang kuat. Tidak seperti topeng yang mereka tunjukkan di seleksi, mereka sebenarnya sangat ramah dan sangat menerima. Saya yang sepi mencari dukungan keluarga saat itu merasa telah menemukan tempatnya. Saya mengenal rasa senang, tangis, tawa, duka bersama, hal-hal yang belum pernah saya alami sebelumnya. Pengalaman saya bersama mereka mengarahkan saya pada pilihan kemungkinan yang tidak pernah saya jelajahi sebelumnya.
Teater merupakan wadah yang cukup lengkap dalam berkesenian. Seni akting, olah tubuh, sastra, seni rupa, musik, dan sebagainya berkumpul dalam teater. Saya mulai membaca sastra dan menulis puisi sejak saya bergabung dengan teater itu. Penemuan jati diri, kecintaan pada seni diawali dari uluran tangan malaikat tersebut. Walaupun saya belum sampai pada kesuksesan, dalam arti sukses diakui masyarakat, setidaknya saya sekarang tahu anak tangga pertama yang harus saya naiki. Kalau saya tidak diterima di teater itu, mungkin saya tidak akan seperti saya yang sekarang. Saya mungkin kuliah di jurusan yang diinginkan oleh orangtua saya, tidak tahu apa yang saya inginkan, menganggap persahabatan cuma bumbu cerita picisan, tidak punya impian apapun, tidak punya hidup yang sesungguhnya. Mungkin juga saya mungkin tidak akan mulai menulis kalau keajaiban itu tidak terjadi. Apa yang terjadi pada saat saya SMA mengubah jalan hidup saya, hingga sekarang.
Ternyata meski iman saya mencla-mencle, Tuhan masih mau mengirim malaikat di aula sekolah untuk saya. Saya sungguh bersyukur karena Tuhan, melalui malaikat itu telah menaruh kepercayaan yang besar pada saya. Di manapun kamu berada, saya harap kamu membaca ini. Untuk yang dulu tak sempat terucap, dari hati yang terdalam: Terima Kasih.
My rating: 5 of 5 stars Man jadda wajada dan ikhlas, mantra kehidupan yang akan membalik seluruh kekecewaan, putus asa, benci, dan angkara murka. Dalam penggalan-penggalan yang singkat pada masing-masing bab, kita disuguhkan suatu kisah perjuangan, persahabatan, tantangan dalam proses-proses yang tidak hanya terasa manis dan hangat tetapi juga memberikan kekuatan pada kita untuk bermimpi, ikhlas, dan bersungguh-sungguh dalam mewujudkannya. Tidak ada mimpi yang mustahil, kecuali jika kita putus mimpi itu dengan pesimisme. Hidup tanpa mimpi, bukanlah hidup. Hidup tanpa perjuangan, bukanlah hidup. Hidup dengan mimpi dan perjuangan adalah hidup yang sesungguhnya. Dengan ikhlas, kita akan mengikuti jalan kita dengan tenang dan penuh penerimaan. Tidak ada yang tahu rencana Tuhan untuk kita. Apa yang kita anggap sebagai suatu bencana atau kesia-siaan ternyata adalah jalan bagi kita dalam mencapai mimpi kita, keinginan terdalam kita. Surga tidak jauh-jauh di atas atau di luar angkasa. Cecap madu Surga akan diberikan pada mereka yang tidak takut bermimpi dan berjuang.
Gaya penulisan yang jujur, dengan hati, membuat saya sebagai pembaca, ikut masuk dalam dunia mereka dan ikut meresapi ajaran-ajaran yang mereka terima. Selain itu suasana, tempat, kegiatan, dan sebagainya dideskripsikan secara mendetail. Namun pembaca tidak dibombardir dengan fakta-fakta saja, tapi fakta tersebut dikawinkan dengan perspektif pengalamannya, atau dengan kata lain, dari ingatan hati. Kesemua hal-hal ini membuat saya sampai pada kesimpulan yang mungkin juga anjuran, bahwa buku ini layak dibaca oleh semua orang yang mau dan siap untuk disentuh oleh karya Tuhan: hidup.
Selama dua hari ini, terutama kemarin, saya sangat aktif menulis. Salah seorang bilang saya produktif sekali. Tapi anehnya, saya tidak merasa begitu. Saya merasa begitu kerasukan kata-kata hingga kalau saya tidak menuliskannya, kepala saya tidak membiarkan saya istirahat dan terus mengetuk-ngetuk kesadarannya. Pikiran yang satu akan mengalah jika sudah diterjemahkan dalam kata-kata, entah dalam bentuk ketikan atau tulisan tangan dengan pen biru di atas selembar kertas. Namun kemarin, pikiran yang satu menumpuk pikiran yang lain, sampai-sampai begitu yang satu kelar dan saya siap-siap untuk istirahat, pikiran yang lain iri dan muncul begitu saja, minta ditulis lagi. Jadilah kemarin saya berkutat dengan malam sampai lewat hari, tepatnya pukul jam 3 pagi.
Tidak seperti tulisan yang mengandalkan saya untuk aktif berimajinasi, berhipotesis, ataupun menganalisis, tulisan ini begitu liar dan tidak membiarkan saya sendiri untuk mengalterasinya. Begitu saya berusaha untuk melogikannya, pikiran tersebut semakin mendesak saya untuk dikeluarkan. Perasaan yang aneh. Ini bukan kali pertama saya mengalaminya namun ini adalah pengalaman yang paling intens dan 'memaksa'. Tulisan saya yang terakhir 'kemarin', benar-benar di luar kontrol saya, sampai-sampai setelah membaca tulisan saya, saya ngeri sendiri. Saya takut pada kemungkinan-kemungkinan yang disiratkan atau direfleksikan dalam tulisan tersebut.
Apakah bagian dari diri saya mencoba mengadakan komunikasi dengan saya? Saya yakin begitu. Sepertinya ada suatu 'sel' dalam hati saya yang mencoba mengatakan sesuatu pada saya dan saya mungkin menghiraukannya karena saya sibuk dengan kegiatan saya sendiri, membaca. Ketika membaca, saya cenderung untuk mengabaikan apapun dan terus mendorong diri saya untuk masuk dalam dunia bacaan tersebut sehingga suara apapun tidak dapat saya dengar, termasuk suara hati saya sendiri. Suara yang terdengar dari saya cuma ketika saya menggumamkan kalimat dalam bacaan itu, mencoba membayangkan, dan menganalisis maksud dari kalimat itu, sebab tidak dalam semua bacaan, pengarang bersedia untuk memberitahukan maksudnya terang-terangan dan banyak yang sering menaruh simbol-simbol untuk pembacanya artikan atau interpretasikan sendiri.
Akan saya taruh lagi tulisan yang terakhir, yang cukup bikin saya tersentak sendiri.
yang kudengar dari bisikan angin waktu malam
lingga-lingga tak bertepi membangun sebuah jaman membeli waktu seakan waktu adalah perjanjian pemekaran cinta dan asa kau jadikan dasar bagi pengucapan bakti setia di mana lidah-lidah api menggelayut di tepi sungai siap mengantarkan maksud pada laut Agni
jiwa-jiwa berseru waktu sudah tak lama lagi sebuah bentuk cinta menunggu di selasaran angin
di peraduan Bunda Sri kau mencabik-cabik nyawa seorang petani kebebasan dan kau ambil bulir-bulir mereka untuk nafasmu
dunia dan akhirat menunggu agar jiwa-jiwamu kembali mencari akar setiamu di pangkuan seorang gadis yang tak bisa kau jamah
dan apakah kau tahu kalau setengah wajahku adalah perempuan?
kita boleh mengadu jaman pada tinta-tinta keemasan di balik lembayung senja akan kau temukan sebuah pelangi pembalikan pada kebenaran dan kata-kata yang kau dengar bukan dari ego namun dalam nafsu yang kau kekang bagi Sang Surya
lingga-linggamu hanya akan jadi tempat peristirahatan jiwa-jiwa yang kelelahan yang merusak jaman dengan gelak tawa musiman
gada punggawa alam akan kutiupkan pada Sang Kesuburan dan akan kucabut jirah-jirahmu seperti pula akan kutanggalkan gusi-gusi ompongmu untuk kuberikan pada sebuah penciptaan baru pralambang suci dan mudarat seperti mata koin yang akan abadi selamanya
Saya pertama-tama mengira jangan-jangan ini gambaran akhir jaman. Tapi segera saya menghapus pikiran itu, karena saya bukan nabi sebagaimana saya menganggap diri saya bukan filsuf juga. Selain itu, mengartikan tulisan-tulisan semacam ini secara harafiah akan membahayakan semua pihak termasuk diri sendiri. Pada intinya, setelah saya menganalisis dan melakukan flashback terhadap apa yang saya lakukan atau saya lihat akhir-akhir ini, saya sampai pada kesimpulan bahwa saya harus waspada karena banyak pikiran yang lewat, melalui bacaan, obrolan, dan sebagainya. Walaupun hal itu memuaskan kebutuhan saya untuk berimajinasi dan menganalisis, yang lewat-lewat itu bisa membelokkan saya pada jalan yang mungkin saya sesali, yaitu dengan asal percaya saja. Saya tidak menganggap bahwa hal ini berarti saya harus menutup mata ataupun menutup telinga terhadap apa yang terjadi di luar sana, namun saya harus mencernanya lebih dalam lagi, tidak dengan pikiran, tapi dengan hati saya yang sebenarnya, suara hati yang senantiasa memandu saya dalam mengenali mana yang baik dan mana yang buruk untuk saya, mana yang harus saya percayai atau yang saya harus jadikan bahan diskusi lebih lanjut. Yang saya maksud dengan diskusi lebih lanjut adalah menganalisis lagi akar atau sesuatu di balik hal yang pihak lain ingin saya percayai.
Saya tidak jadi merasa kesal dengan pikiran yang mendesak-desak kepala saya tadi, malah saya cukup bersyukur. Bagian diri saya tahu kalau saya cukup senang menulis kata-kata asal-asalan dan tiba-tiba merangkainya jadi cerita atau menambah kata-kata yang bukan-bukan. Setelah itu, baru saya baca lagi tulisan saya dan mereka-reka sebenarnya saya itu maunya apa. Sebagai orang yang jarang berencana dalam menulis dan orang yang suka teka teki, saya memiliki kesenangan tersendiri mencoba mengartikan diri saya. Jadi, hari ini, saya diingatkan lagi bahwa menulis bukan saja menuangkan imajinasi dan pikiran sadar saya tapi juga sarana berdialog dengan diri sendiri, bagian diri yang kurang kita dengar kala kita menyibukkan diri sendiri dengan berbagai kesibukan di sekitar kita. To listen, to write, to pause, to reflect, to contemplate.