Dikira Made in Japan (2)


Dalam tulisan saya sebelumnya, saya menyinggung bahwa suatu eksperimen tidak sahih hasilnya kalau cuma dilakukan sekali tanpa manipulasi kondisi yang variatif. Eksperimen kedua ini dilakukan pada hari yang sama, pada sore hari. Hal ini sebetulnya di luar perencanaan karena sekali lagi, kebetulan saja ada kesempatannya.


EKSPERIMEN 2
Subjek: Supir Taksi
Lokasi: Jakarta Selatan


Begitu urusan saya selesai, saya ingin pulang. Saat menunggu bus, bus jurusan ke rumah saya akhirnya tiba. Namun bus tersebut sudah penuh berdesakan dengan penumpang dan saya terlalu lelah untuk berdiri sepanjang perjalanan yang belum tentu mulus. Oleh karena itu, saya melambaikan tangan di kawasan Blok M pada armada taksi biru laut. Kemudian taksi itu berhenti, saya melangkahkan kaki masuk ke dalam taksi tersebut, duduk, menutup pintu taksi itu. Lalu saya mengucap salam "Selamat sore", seperti biasa, dan saya menyebutkan arah tujuan saya.

Perjalanan cukup lancar walaupun macet di beberapa ruas jalan dan supir taksinya pun tampak tenang-tenang saja. Tidak menggerutu, juga tidak ada tanda-tanda ia akan mengadakan pembicaraan. Perfect, saya cuma kepingin menikmati momen perjalanan ini dengan tenang. Namun sekitar setengah jam kemudian, tiba-tiba ia mengajak saya mengobrol, dengan pertanyaan pembuka

"Orang Jepang atau Korea?"

Hm, lagi. Tapi ada yang berbeda di sini. Pertanyaannya spesifik, dan dari nada pertanyaannya, saya menangkap bahwa ia cukup yakin dengan tebakannya. Pikirnya, kalau saya bukan orang Jepang, pasti orang Korea. Ketika saya hendak menjawab, sontak saya dirundung rasa bersalah karena membohongi supir taksi tadi siang. Kali ini saya harus melakukan "penebusan dosa". Make an amend.

"Bukan."

Setelah mengucapkannya, beban saya sedikit terangkat. Lebih baik jujur saja daripada rasa bersalahnya bertambah. Karena sama-sama supir taksi, saya berharap "dosa" saya sedikit berkurang beratnya. Bohong sekali bukan berarti harus bohong terus-menerus. Namun ternyata tidak segampang itu saya lepas,

"Ah masak?"

Kening saya berkerut. Baru kali ini ketika saya jujur, ketulusan hati saya menjawab dipertanyakan. Saya pikir mungkin dia cuma berkelakar. Dengan tenang, saya menjawab,

"Bener kok Pak. Saya lahir di sini, jadi saya orang Jakarta."

Lalu supir taksi itu diam dan tampak di matanya ada sorot kebingungan. Ia melihat ke cermin di tengah dan tampak mengamat-ngamati saya. Kali itu, saya menahan rasa curiga saya karena siang tadi, dalam hati, saya menuduh pak supir lugu itu yang bukan-bukan. Saya biarkan saja ia melakukannya, mungkin ia ingin melihat apakah sorot mata saya jujur. Saya berusaha sesantai mungkin dan sedikit lega ketika ia diam dan tampak tidak ingin bertanya lagi. Namun, saya salah. Sekitar lima menit kemudian, ia bertanya lagi,

"Kalau orang sini, pasti tahu dong Sekolah Negeri di [daerah rumah saya] no berapa. No berapa coba?"

Saya makin mengernyitkan dahi dan melongo. Kejujuran saya diragukan bukan dengan pertanyaan, tapi dengan tantangan. Terus terang, saya sedikit tersinggung. Namun saya pikir, ada baiknya saya coba bersabar lagi karena mungkin ia cuma ingin bersikap ramah walaupun pengertiannya tentang adat kesopanan jelas berbeda dengan saya.

"Hm... Di deket daerah rumah saya, tidak ada sekolah negeri Pak."

Tapi kesopanan saya dicobai lagi,

"Ah masa?" (senyum-senyum)

Senyum meragukan dan sedikit melecehkan, sepenglihatan mata saya yang mungkin siwer karena marah. I was officially pissed off. Saya sudah kehabisan kata-kata dan stok keramahan untuk perlakuan seperti ini. Desis saya dalam hati, "Saya orang mana, bukan urusan situ sama sekali. Kalau nggak mau dengar jawaban yang sebenernya, ngapain tanya." Dengan ini, saya hapus senyum saya dan memberikan pandangan yang cukup sengit. Untunglah, supir taksi itu urung bertanya lagi. Entah karena sudah sangat dekat dengan rumah saya, atau karena ia menangkap sinyal negatif saya. Pada akhirnya, saya membayar dengan uang yang dipas-paskan, tanpa tips. "You have crossed the line, sir" gumam saya. Mungkin ia tidak dengar, mungkin ia dengar tapi tidak mengerti, atau mungkin sekali dia dengar dan paham maksud kata-kata saya. Saya segera masuk ke rumah dan malas menengok untuk membaca raut mukanya.

Kejadian ini berlangsung sekitar setahun yang lalu. Sudah cukup lama, tapi saya sekali-kali teringat karena kejadian ini unik dan terlalu banyak faktor kebetulannya. Pengalaman percaya dan diragukan terjadi pada satu hari yang sama dan hanya dalam hitungan jam. Saya merunut-runut kembali, apa sebenarnya yang terjadi. Dalam eksperimen pertama, saya tidak sengaja menobatkan supir taksi lugu itu jadi "korban" eksperimen saya. Walaupun pengalaman itu lucu, saya merasa bersalah dan rasa bersalah itu ingin saya tebus pada supir taksi kedua. Saya berharap, dengan jujur, saya bisa terbebas dari "dosa". Namun kenyataannya saya malah dipersulit.

Setelah sekian lama misuh-misuh soal kelakuan ajaib supir taksi itu, akhirnya saya berpikir-pikir lagi. Jangan-jangan saya kena tulah. Orang yang bohong akan sulit dipercaya meski cuma sekali-kali dan yang saya bohongi supir taksi yang berbeda. Seberapa besar kemungkinan supir taksi dari kedua armada yang berbeda, dalam hitungan tiga jam, sempat mendiskusikan penumpang "jadi-jadian" ini dan tahu bahwa mereka mengangkut penumpang yang sama?

Moral of the story: Tidak ada yang lebih mengaburkan daripada berbohong sebab meski prasangka itu menipu, namun terjadinya lebih sering otomatis atau mendahului kesadaran. Sebaliknya dalam berbohong, semuanya dilakukan dengan sadar sepenuh-penuhnya. I learn my lesson, in quite a hard way.

Sejak itu, ketika ada orang yang bertanya,

"Japanese?",

tanpa ragu saya akan menjawab,

"I'm not made in Japan, I'm African".

0 comments: