Bermimpi saja... bermimpi trus...

Bobce marah-marah. Katanya telepon-telepon saya hanya bikin dia emosi A.K.A ngambek. Supaya tidak terus-terusan cembetat-cembetut, saya mengajak dia berandai-andai. Soal kambing. Maklum hari Idul Adha, kambing lebih banyak nongol daripada biasanya. Saya tidak maksud apa-apa. Cuma berandai-andai.


Saya
: Ya maaf. Cuma pengen tau aja. Ya uda. Sekarang kita ngomongin yang asik-asik aja. Tadi di jalan gue ngeliat ada orang naik motor sambil bawa kambing. Upside down. Kepalanya di bawah, kakinya dipegang tangan orangnya. Misalnya lo jadi kambing, lo mikir apa?

Bobce: Mati gw!

Saya: Kalo gw: Hoek! (muntah gara-gara mabok). Trus hue hue! Nangis-nangis biar orangnya kesel trus dilepasin. Kabur deh. Btw kasian ya kambing ada hari jagalnya. Torpedonya dimakan juga.

Bobce: Kl gt ga usah dijagal tapi dipotongin kakinya satu persatu buat sop kaki.

Saya: Hah. Mati segan hidup tak mau. Kasian kan jadi gak gaul. Frustrasi. Matinya juga kurang terhormat. Sebagai kambing udah dipermalukan. Gimana dia bisa ngelanjutin garis keturunan?

Bobce: Makanya dimatiin sekalian.

Saya: Tapi kan ada hari khusus ngejagal itu bikin ngeri. Kenapa gak jadi hari main tak umpet sama kambing?

Bobce: Kenapa bukan manusianya aja yang dijagal?

Saya: Mungkin karena yang sekarang jadi raja di bumi itu manusia. Kalo udah diinvasi alien, mungkin manusia yang dijagal.Kayak di pelem-pelem gitu. Gw pernah baca manga (baca: komik). Di situ dibilangin dewa-dewa sebenernya alien.


Dari dinasti perkambingan, jadi ke alien-alienan...

Saya: Btw apa yang bakal lo lakukan kalo lo diculik alien?

Bobce: Apa lagi? Belum nyampe karena belum ngalamin.

Saya: Kan ngebayangin bob. Berandai-andai. Kalo gw: scream 4. Trus bilang ama mereka: yang penting jangan siksa atau bunuh. Gw mau aja dibikin tambah pinter n jadi mata-mata. Kalo lo?

Bobce: Belum tentu mereka tau bahasa kita, paling-paling kita jadi bahan percobaan. Pasrah aja kali. Ato gue dirubah jadi cewek, mau.

Saya: Wah kalo lo jadi cewek gimana ya. Jadi cowok aja udah banyak di-flirting ama cowok2. Huehehehe. Mau booby size berapa? :p

Sebagai catatan saja, kalau saya jalan ke salon sama dia, banci-banci salon banyak yang kedip-kedip (kelilipan atau...?)

Tapi setelah itu tidak ada reply lagi. Kemungkinannya ada tiga. Pertama, tambah ngambeg. Kedua, sibuk. Ketiga, pulsa habis. Yang lainnya tidak apa-apa. Kalau ngambeg, wah repot. Dulu saya sampai harus menyantroni dia berhari-hari supaya tidak ngambeg. Kalau marah, kadang-kadang memang suka kelewat batas. Saya jadi merasa bersalah terus-terusan. :Þ

Hm... Malah bagus bukan. Saya jadi bisa bikin berbagai versi reply.

Pertama,
Sialan lu! Ukurannya ya yang paling gede dong. F.

Kedua,
Bagus kan. Gue bisa bebas eksplorasi badan cowok-cowok lain. Ukurannya F dong. Jadi bisa pijet tetek.

Ketiga,
Habis cewek enak sih. Orgasme bisa berkali-kali. Di klitoris sama vagina. Ukurannya F dong. Biar puas mijet-mijetnya. Abisnya kebanyakan cewek yang gue kenal rata-rata sih
(saya: rese lu!).


Bagus khan? Huh siapa suruh gak bales!

pet theory of free love

saya baru selesai baca Beauty in Disarray. awalnya saya pikir bagus. kata pembukanya bilang bahwa kecantikan ada di ketidaksempurnaan, kalau ada yang cantik sempurna maka sesuatu itu adalah palsu. novel itu bercerita tentang kehidupan Noe Ito, seorang perempuan yang berhasrat tinggi untuk mengangkat derajat kaumnya. kesukaannya membaca. lain daripada perempuan Jepang pada zaman Taisho (saat itu), ia tidak suka berurusan dengan kerjaan rumah. menurutnya, perempuan tidak bisa maju kalau terus-menerus dikekang urusan domestik semacam itu.

di buku itu juga diceritakan tentang majalah feminis pertama di Jepang, judulnya Seito (Blue Stocking). pendiri majalah ini, seorang feminis juga, namanya Raicho Hiratsuka. dulu perempuan ini terkenal karena insiden bunuh diri. dia mau bunuh diri dengan kekasihnya yang sudah beristri. tapi dia tidak punya perasaan dengan kekasihnya. dia hanya bilang, dia mau bunuh diri karena dia yang mau. tidak ada hubungannya dengan laki-laki.

majalah itu sukses dan sangat berpengaruh di Jepang. tapi sejak dia jatuh cinta dengan laki-laki lebih muda 5 tahun, Hiroshi, artikel majalahnya mulai tidak bermutu dan penerbitannya sering kacau. akhirnya majalah ini diambil alih oleh Noe Ito. di tangan Noe, majalah ini berakhir karena Noe bukan perempuan yang benar-benar intelek dan dia sering mengambil keputusan yang salah.

Noe menikah tiga kali. Yang pertama, dijodohkan tapi dia kabur setelah menikah. Yang kedua, guru bahasa Inggrisnya, Tsuji. Yang ketiga, Sakae Osugi, sosialis anarkis yang sering diburu-buru polisi. Dengan suami ketiganya ini, Noe mati disiksa oleh polisi.

Osugi sendiri sudah punya istri, namanya Yasuko. Simpanan satu orang, namanya Ichiko Kamichika. Ichiko ini perempuan yang sukses, reporter perempuan pertama di Jepang. Intelektualitasnya jauh di atas Noe. Masing-masing dari perempuan itu tahu Osugi punya perempuan lain.

Hubungan segiempat ini, bagi Osugi, eksperimen pet theory of free love. Menurut dia, kesetaraan gender hanya bisa dicapai dengan free love. Ada tiga syarat. Pertama, masing-masing pihak harus independen secara ekonomi. Kedua, masing-masing pihak tinggal terpisah. Ketiga, masing-masing pihak mesti menghormati hak pasangannya untuk punya pasangan lagi.

Tapi ketiga syarat ini tidak terpenuhi. Yang pertama, Osugi sering minta uang pada Ichiko yang lebih mapan. Yasuko dan Noe bergantung pada Osugi sepenuhnya secara ekonomi. Kedua, Osugi dan Noe tinggal serumah. Ketiga, Ichiko marah besar ketika tahu Noe jadi simpanan Osugi juga. Dari awal, Ichiko menganggap teori Osugi cuma bentuk egoisme lelaki. Singkat kata, eksperimen ini gagal. Ichiko cemburu buta dan berusaha membunuh Osugi. tapi untungnya Osugi selamat.

Menurut saya, kalau dilihat tujuannya, teori ini konyol. apa hubungannya free love dengan kesetaraan gender? Kalau salah satu pihak sebenarnya tidak bisa menerima dan terpaksa mengiyakan, bukannya jadi ada posisi yang agresif dan submisif? Memang apa salahnya dengan kesetiaan? Bukankah untuk mencapai kesetaraan gender (setidaknya dalam hubungan), yang paling penting itu kesepakatan masing-masing pihak? Terserah, mau open relationship (free love) atau closed relationship.

Kalau mau dilihat dari pendapat saya pribadi, kalau mau menerapkan teori ini, sekalian saja tidak usah punya pasangan. Seperti one night stand saja. Kalau punya pasangan yang relatif tetap, salah satu pasangan bisa punya demand yang lebih. Misalnya kalau kangen, inginnya ketemu dan pasangannya seperti ada kewajiban juga untuk menyediakan waktu ketemu, kalau mau hubungannya bertahan. Nah kalah saat itu, dia lagi janjian ketemu cem-ceman yang lain? Gaswat kan bagi-bagi waktunya. Saya teh... mau hidup yang tenang aja... Damai.... Dunia ini udah banyak perang, kok mau ditambah lagi.. 

Panci Gosong

Seperti hari yang sudah-sudah, satu hari bisa jadi paradoks buat saya. Saya bingung mesti memaknai hari itu jadi hari keberuntungan atau kesialan. Kalau mau ditimbang-timbang, saya juga sulit hati. Dua-duanya sama beratnya. Bingung juga.

Dari dulu, saya selalu bilang sama diri saya dan teman-teman, kalau ada yang tanya. Cita-cita saya gak neko-neko, cuma ingin hidup bahagia. Konsep bahagia untuk saya... Senang selalu, tidak perlu susah hati, atau pusing memikirkan masalah. Apa yang saya inginkan tercapai, saya bahagia sudah.

Kadang-kadang keinginan saya melibatkan orang lain. Orang lain harus berbuat sesuatu supaya saya puas, supaya saya senang. Saking saya ingin 'bahagia', kalau orang itu menolak, saya punya seribu cara supaya dia mengiyakan saya. Tapi kalau orang itu memang benar-benar tidak bisa, saya urung niat. Saya simpan saja uneg-uneg di hati. Walaupun begitu, lama-lama orang itu lelah juga. Dan akhirnya ia jatuh terjerembab. Saya jadi susah hati sendiri. Merasa bersalah, pasti. Merasa sedih kalau orang itu saya sayang.

Pernah saya menonton episode-episode awal Judge Bao. Ceritanya tiga orang laki-laki yang memperebutkan seorang perempuan dengan caranya masing-masing. Yang satu, mencintai tapi membius istri supaya bercinta dengan laki-laki lain gara-gara dia impoten dan dia didesak oleh ibunya untuk segera punya anak. Kalau tidak, ia diancam harus bercerai dari istrinya. Ibunya sendiri sudah bersiap-siap cari calon istri baru. Yang kedua, memaksa walaupun si perempuan menolak. Perempuan membela diri tapi malah dituduh berniat membunuh. Yang ketiga, mencintai perempuan itu sepenuh hati, rela berkorban meski harus membunuh banyak orang demi melindungi perempuan itu. Akhirnya ia dihukum mati oleh Judge Bao. Menghadapi semua itu, perempuan itu hampir gila. Bengong seharian, bergumam-gumam sendiri. Di akhir kisah, Judge Bao berkata, tiga orang laki-laki mencintai satu orang perempuan. Namun cinta mereka egois. Tak satupun yang mau tahu apa yang sebenarnya keinginan hati perempuan itu.

Saya pikir-pikir, jangan-jangan keinginan saya untuk bahagia membuat orang yang saya sayangi menderita. Jangan-jangan kasih sayang saya egois. Saya ingin bahagia cuma untuk diri sendiri. Untuk hidup saya sendiri.

Tapi kembali lagi, haruskah hidup kita selalu bahagia? Waduh. Pengennya sih begitu. Tapi kalau dipaksakan, bisa jadi stress sendiri. Lama-lama seperti panci, yang gara-gara ditinggal di atas kompor, jadi gosong. Masih mending kalau itu punya sendiri, kalau punya orang lain?

Siap-siap ditimpuk orang sekampunglah.

cold is contagious

hatzyi. hatzYi..! HATZYIIII....!!! Kliyeng kliyeng. Saya kayaknya mulai ketularan flu. Cuma duduk di antara dua orang yang flu, kok? eH... dATENG lagi 1... "Liv, lo punya tissue gak?" "Ada, nih." SROOOOTTTT.. Yeah yeah. Konsekuensi gaul. Susah senang ditanggung bersama. Termasuk flu. Akibatnya rencana mau jalan-jalan nomaden gagal total. Saya terjebak di rumah saya. Saya cuma bisa mengandalkan buku dan DVD. Oh ya, saya baru beli novel di Periplus lho, judulnya "Beauty in Disarray". Ceritanya tentang cewek feminis di Jepang, namanya Noe Ito. Yah nanti saya mungkin akan ceritakan kalau saya sudah selesai baca. Hum... Dasarnya saya, lagi pusing, baca deretan huruf-huruf, tambah tewaslah saya. Akhirnya saya beralih ke DVD. Heiha. Saya buka-buka film koleksi ayah saya. "JUDGE BAO". Lumayanlah menghibur. Cukup memberi mimpi di tengah dunia yang tidak adil.

Mata saya lumayan bengkak. Kebetulan adegannya memang mengharu biru. Pengorbanan perasaan demi keadilan. Dingin ya. Memang. Sama seperti saya yang mulai mengigil. Kepala saya mulai berputar seperti gasing. Blugh. Saya ke alam mimpi.

Di suatu tempat, serba biru, serba tak pasti. Saya melata di lantai, merangkak, memanjat-manjat dinding, menempel di langit-langit. Lalu saya pindah ke tempat lain lagi. Hitam putih. Dua patung berjongkok saling berhadapan, tangan menelungkup menutupi seluruh wajah. Saya sentuh-sentuh. Aits. Dingin. Hatzyiiii!!!

Pindah lagi. Kamar saya. Tidak istimewa. Buku berserakan di lantai. Alat make-up tersebar di atas meja. Gunting. Vitamin. Razor. Pen. Prozac. Panadol. Decolgen. Ada saya. Telanjang. Meringkuk di atas tempat tidur. Handphone di telinga kanan saya. Saya meraung-raung, meratap-ratap "Gak, gak bisa. Pergi. Pergi. Lupakan saja. Pergi." Tissue di mana-mana. Ingus membuat jembatan antara hidung dan bantal.

Pindah lagi. Lantai berdebu. Puntung rokok di mana-mana. Telepon di lantai, dekat dinding. Seorang pria. Telanjang. Di belakangnya ada sofa biru. Memukul-mukul dinding dengan tangan terkepal. Lama-lama dengan kepalanya sendiri. "Kalau saja kau mau lebih mengerti," ucapannya lirih. "Menyerah. Aku menyerah. Terserah kamu." Nyamuk-nyamuk bersliweran. Darah kering di sekujur tubuh laki-laki itu. Isak tangis sayup-sayup di telepon.

Badai salju. Suara membeku. Angin. Pecah berdenting-denting.

SLAP! Saya bangun. Meringkuk di atas tempat tidur. Saya meraih tissue. Mulai menghela napas, SROOOTTT. Ibu saya masuk ke kamar saya, seperti biasa. Tanpa permisi. Mengambil baju saya di lantai. Keluar. Sekali lagi saya dengar, HATZYI!