THiS Is FaBuLouS! Posted by Hello

Shoes Stuff

Seberapa penting sih arti benda penyangga atau alas kaki yang notabene 'terinjak' dan kotor (minimal bagian dasarnya). Buat saya, sepatu sangatlah berharga, penting! Sepatu memberikan kontribusi yang sama seperti apparel dalam hal fashion. Buktinya saya patah hati ketika melihat sepatu putih saya lecet di bagian haknya... Hiks...

Jia you!

UAS sudah berlalu berminggu-minggu yang lalu dan menjelang berakhirnya masa KB (tanpa T, karena tidak bisa tambah mata kuliah) semester padat, nilai-nilai akhir yang akhirnya akan digenerasikan ke dalam IPS dan IPK ditempel di papan pengumuman gedung C lt. 4 dan 5. Berbagai macam reaksi muncul, ada yang senang, ada yang sedih dan menyesali segala sesuatunya walau mungkin tidak ada yang perlu disesali, ada yang biasa-biasa saja, dan ada yang marah-marah yang kadang tak jelas tertuju pada siapa. Sayangnya, ternyata di antara teman-teman saya, banyak yang turun nilainya. Bahkan ada satu seksi yang mayoritas tidak lulus, hanya 16 dari 45 mahasiswa yang lulus, dalam suatu mata kuliah. Sensasional, menurut saya dan menimbulkan tanda tanya, yang mana yang salah? dosen atau mahasiswanya? Entahlah. Saya tidak berani menyimpulkan walau penasaran karena saya tidak mengalaminya sendiri (bukan seksi saya) dan kalaupun saya bertanya, saya ragu karena jawaban yang mungkin saya dapat sudah terkontaminasi oleh subjektivitas.

Di antara mahasiswa-mahasiswa yang sedih dan menyesal karena turun nilainya, banyak yang sebenarnya mendapat nilai yang cukup baik. Katakanlah minimal B. Wah, di mata orang lain, nilai B sudah cukup memuaskan. B = Baik. Akan tetapi untuk orang-orang yang need achievementnya tinggi, nilai B seperti nilai C atau yang lebih ekstrim seperti nilai D atau E. Kalau begitu, mungkin pelabelan seperti di buku rapor SD - SMA (bahwa A adalah amat baik, B baik, C cukup, dst) memang tidak tepat karena terkandung, sekali lagi, unsur subjektivitas. Ternyata banyak kepentingan individu dalam rentang lima huruf tersebut.

Tendensi obsessive compulsive? Rasanya belum. Perfeksionis? Ya. Perfeksionis mutlak dalam arti memang perfeksionis tulen? Mungkin. Perfeksionis karena kondisi yang memaksa? Bisa juga.

Namun kejadian ini sedikit menjadi permenungan untuk saya. Seberapa jauh kita harus menetapkan kriteria untuk menggolongkan yang baik dan yang buruk? Bila melihat teman-teman saya, rasanya ada beragam sekali hal-hal demikian. Mungkin kita harus mempertimbangkan kepentingan-kepentingan apa yang harus diperjuangkan di dalamnya hingga kriteria itu benar-benar menjadi benar-benar milik diri dimana ketika tercapai ada rasa puas yang besar. Rasanya mustahil untuk menyeragamkan seluruh kriteria orang-orang.

Namun banyak orang yang tidak memahami hal ini. Mereka cenderung menilai orang lain berdasarkan kriteria dirinya sendiri. Bukannya tidak boleh, bahkan bisa dimaklumi karena merupakan reaksi otomatis setiap manusia. Hanya janganlah terlalu eksesif sehingga mengganggu orang lain tersebut. Saya percaya setiap orang punya kebebasan untuk menentukan dirinya. Begitu pula dalam nilai, setiap orang memiliki kemampuan dan potensi yang beragam dan oleh karenanya parameter baik dan buruknya pun berbeda.

Oleh karena itu, saya sebisa mungkin menghindari rasa kasihan pada orang lain. Meskipun tetap terbersit dalam diri saya, saya berusaha untuk tidak terlalu menunjukkannya. Kata-kata belasungkawa "wah... sayang ya..." cukup saya hindari. Saya lebih suka diam dalam saat seperti ini. Kalaupun saya harus berkata sesuatu, saya lebih memilih untuk langsung memberikan solusi. Entahlah mungkin orang lain menganggap saya dingin dan tidak peduli tetapi saya sendiri ketika mengalami hal itu dan dikasihani, saya merasa tidak nyaman karena menurut saya, rasa kasihan memberikan label inferioritas pada seseorang. Parahnya, mereka mencari kenyamanan dengan terlalu bergantung pada orang lain, dalam arti secara berlebihan. Bisa mengeluh terus-menerus sampai meminta orang lain untuk mengerjakan urusannya. Sebagai hasilnya, orang itu tidak akan berkembang.

Dua semester berlalu dengan cepat, dan sebentar lagi semester ketiga. Saya berharap kesuksesan selalu mengiringi langkah kita semua. Ciao! (mesti ngerjain tugas Stat II nih!) :)

Traumarama (Trauma Drama?)

Tak bisa dipungkiri bahwa setiap orang punya masa lalu, entah baik entah buruk. Kebanyakan orang ingin menutupi masa lalunya yang gelap karena pada dasarnya manusia makhluk sosial dan tentunya untuk dapat diterima secara sosial dengan baik, manusia cenderung berusaha untuk mempresentasikan dirinya dengan baik, flawless (tanpa cacad). Cara untuk menutupinya bermacam-macam, dengan diam saja dalam arti tidak berbagi dengan orang lain atau dengan membuat cerita baru, termasuk skenario yang benar-benar rekaan atau dengan penambahan, pengurangan, atau penggantian detail sana-sini agar tampak lebih baik. Namun sebagaimanapun orang ingin melupakan masa lalunya, masa lalu tidak akan pernah hilang. Masa lalu membentuk diri manusia, termasuk trauma-trauma yang dialaminya. Freud, pendiri aliran psikoanalis, menekankan pentingnya masa kecil (childhood) dalam menentukan pembentukan pribadi seseorang. Saya sedikit banyak setuju dengan hal ini, walaupun tidak 100%. Saya masih percaya bahwa dalam diri manusia, ada kekuatan tersembunyi yang membuatnya benar-benar dapat berubah, yaitu ketika manusia berani berhadapan dengan dirinya sendiri, termasuk bagian yang kelam.

Jumat kemarin, saya dan sahabat saya berbagi mengenai bagian masa lalu yang kami rasa paling menyakitkan dan ingin kami lupakan. Setiap orang memang punya ketraumaan masing-masing dan saya termasuk orang yang selalu ingin lari dari ketraumaan itu. Saya tidak pernah mau membicarakannya dengan siapapun. Walaupun ya, saya hanya memberikan sedikit detail. Orang pertama yang saya beri tahu dengan sedikit lebih mendetail adalah orang yang baru saya kenal selama kira-kira setahun tetapi saya sudah begitu mempercayainya dan saya merasa aman di dekatnya. Pendek kata, saya menganggapnya sebagai kakak saya, dan saya percaya bahwa ia mampu melindungi saya atau setidaknya memberikan rasa aman ketika sewaktu-waktu saya harus berhadapan dengan ketraumaan itu. Orang kedua, sahabat saya, karena saya memang ingin berbagi dengannya. Jauh dalam lubuk hati saya, saya ingin orang yang saya sayangi mengenal saya apa adanya. Saya menyadari sebesar apapun keinginan saya untuk mengubur masa lalu saya itu dalam-dalam, tetap saja ada di situ dan dengan caranya sendiri, mempengaruhi diri saya, terutama dalam hubungan interpersonal. Saya merasa mungkin dengan berbagi, saya dapat meringankan sedikit beban saya. Dan ya, ternyata itu belum cukup, berbagi berbeda dengan menerima dan berhadapan langsung. Saya belum bisa menghadapi ketraumaan saya.

Tentunya saya pernah mencoba untuk menerimanya dengan hati lapang dan berusaha untuk berubah. Namun saya selalu gagal. Ketika bayang masa lalu menghantui, saya lari darinya dan saya mencari alasan-alasan lain untuk menutupi ketakutan saya. Akan tetapi sampai kapan saya harus berlari? Toh, ketika saya berlari, trauma saya masih melekat pada diri saya. Hanya karena saya kencang berlari, trauma itu tidak terlalu terasa (padahal sebenarnya memeluk saya dengan sangat erat). Entahlah, semua orang perlu waktu dan waktu memang diciptakan untuk memberi orang suatu kesempatan, untuk memilih, untuk menentukan dirinya sendiri. Namun waktu selalu ada batasnya dan ada saat dimana manusia harus segera memutuskan. Buat saya, rasanya saya masih perlu waktu walau entah kapan expired.
Referensi Film: Pelangi Di Atas Prahara

Big Yellow Taxi

Counting Crows feat. Vanessa Carlton

They paved paradise and put up a parking lot
With a pink hotel, a boutique, and a swingin' hot spot
Don't it always seem to go
That you don't know what you got 'til it's gone
They paved paradise and put up a parking lot

Ooooh, bop bop bop
Ooooh, bop bop bop

They took all the trees, and put em in a tree museum
And they charged the people a dollar and a half to see them
No, no, no
Don't it always seem to go
That you don't know what you got 'til it's gone
They paved paradise, and put up a parking lot

Ooooh, bop bop bop
Ooooh, bop bop bop

Hey farmer, farmer, put away your DDT
I don't care about spots on my apples,
Leave me the birds and the bees
Please
Don't it always seem to go
That you don't know what you got 'til it's gone
They paved paradise and put up a parking lot
Hey now, they paved paradise to put up a parking lot
Why not?

Ooooh, bop bop bop
Ooooh, bop bop bop

Listen, late last night, I heard the screen door slam
And a big yellow taxi took my girl away
Don't it always seem to go
That you don't know what you got 'til it's gone
They paved paradise and put up a parking lot
Well, don't it always seem to go
That you don't know what you got 'til it's gone
They paved paradise to put up a parking lot Why not?
They paved paradise and put up a parking lot
Hey hey hey
Paved paradise and put up a parking lot

Ooooh, bop bop bop
Ooooh, bop bop bop

I don't wanna give it
Why you wanna give it
Why you wanna giving it all away
Hey, hey, hey
Now you wanna give it
I should wanna give it
Now you wanna giving it all away

Hey, paved paradise to put up a parking lot