And it's called infatuation



Berjumpa dengan orang baru atau teman, tersipu-sipu, muka memerah, bagai mendengar lantunan merdu di hati saat pandangan bertemu. Apakah itu tanda kita jatuh cinta atau sebenarnya cuma kekaguman, yang lazim disebut infatuation? Sewaktu saya masih remaja, sering sekali saya merasakannya namun saya tidak mengerti dan saya malah berpikir bahwa saya ini begitu mudah jatuh cinta. Setelah saya bertemu dengan bermacam-macam orang dan jatuh cinta sebenar-benarnya, barulah saya tahu ini hanya infatuation belaka. Rasa kagum terhadap kedewasaan, cara pandang, keluasan wawasan, dan sebagainya bisa memicu debar tak juntrungan saat bertemu dengan orang ini atau kita jadikan alasan untuk memikirkan ataupun menebak-nebak kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi.

Ketika saya mengalami letupan-letupan itu, mula-mula saya pikir jangan-jangan saya jatuh cinta. Pikiran saya biasanya paranoid dan pusing sendiri. Tapi lama kelamaan, perasaan itu pudar dan berganti jadi perasaan yang tidak menggelegak, lebih mengayun seperti persahabatan. Apakah itu artinya faktor waktu jadi pembeda antara infatuation dan jatuh cinta? Mungkin. Butuh waktu untuk mengikat komitmen dengan seseorang. Namun waktu bukan inti dari teka-teki ini. Waktu hanyalah medium bagi kita untuk saling berproses. Perlu pengenalan, komunikasi, dan usaha untuk saling memahami agar kita bisa dengan yakin berkata “I love you” pada orang yang ditaksir sehingga kita tidak gombal kata. Kita sebagai manusia, seringkali tertipu dengan gejolak rasa sendiri dan mengartikannya sesuai dengan keinginan kita sendiri sehingga mengaburkan perasaan yang sesungguhnya.

Saya pernah jatuh cinta. Alangkah manisnya, saat pertama kali berSMS, telepon, dan kencan, semudah itu kata “I love you” meluncur dari kami berdua. Kemudian di antara kami ada penyesalan karena ternyata perasaan kami mungkin dipicu oleh rasa sepi kami dan dambaan kami pada seseorang yang bisa mendampingi kami dalam susah maupun senang. Walau pada akhirnya dalam proses, kami saling mencintai namun kata-kata “I love you” itu jadi momok bagi kami. Kami dulu pernah mengumbar tiga kata sakti itu pada saat kami mengalami infatuation dan akhirnya ‘mantra’ itu kehilangan keajaibannya dalam perkembangan hubungan kami selanjutnya. Dalam proses, kami saling mengenal, saling menyesuaikan diri, dan pada akhirnya kami saling mencintai namun kami tidak pernah mengucap tiga kata itu lagi. Ragu-ragu. Kami takut salah, kami takut menerjemahkan rasa, takut berbohong pada diri dan pasangan. Hal ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan komunikasi saya dan pasangan saya tidak lancar, tersendat, dan akhirnya benar-benar mandeg.

Begitu mudah kita terpesona, begitu mudah kita terlena akan bayang-bayang dongeng. Namun kita, manusia, selain dianugerahi rasa, juga diberi pikir, supaya kita bisa bermimpi menyentuh langit sekaligus menapak tanah. Karunia keseimbangan, agar kita tidak terombang ambing pada langit maupun bumi. Kata cinta adalah mantra ajaib pengikat dua insan yang terpisah hingga jadi satu hati dan satu rasa. Agar keajaiban itu terus terasa dan menyentuh kita pada titik yang tepat, kita harus menjaganya dan membuatnya sakral. Ucapkanlah kata cinta, pada saat kita benar-benar memaknai kata itu. Dalam proses, dalam perjuangan, dalam komunikasi dan usaha saling memahami, kita akan mengenal cinta yang tumbuh. Menurut saya, bukan pada saat ada benih itu kita mengucap cinta, namun ketika telah merekah, barulah saat yang tepat bagi kita untuk berkata “Aku cinta kamu“. Hal ini, sebab ketika masih benih, itu hanyalah benih yang belum tumbuh sehingga ketika kita mengucap cinta, kita bagaikan memaksakan kehendak kita. Namun ketika cinta itu telah tumbuh, merekah, dan mengakar, barulah kata cinta itu tepat, menggambarkan, mengekspresikan, dan menaut gelombang rasa dan jiwa yang tenang dalam harmoni inti hidup manusia.


image, courtesy of www.buzzle.com

0 comments: