Yesterday in TIM: It's just A Crush


image, taken from here


Karena dua teman saya sudah posting duluan, saya, tidak mau kemakan omongan sendiri, akhirnya memberanikan diri menulis ini. Kemarin saya pergi bareng si Gadis Kuning dan sang Introvert jalan-jalan sekitar Menteng. Ketemunya di PS, tapi sok-sok nostalgianya di sekitaran Menteng. Kalau si Gadis Kuning di Djaktet, saya di TIM. Niatnya mau cari buku di Bengkel Deklamasi, tapi saya juga jadi ingat masa A Be Geh.

Waktu masih putih abu-abu, saya berdua dengan tandeman saya waktu itu hobi ke TIM. Awalnya tandeman saya yang memaksa saya pergi ke sana karena harga tiket bioskopnya murah, tapi lama-lama saya yang nagih dan gantian memaksa tandeman saya itu. Bukan, bukan masalah alasan pengin jadi seniman atau sok kreatif. Saya masih A Be Geh, untunglah saya masih mengalami masa-masa bau kencur. Sedikit masa-masa indah remaja di tengah sekolah yang isinya perempuan melulu, kecuali guru-gurunya, yang, believe me, it's unattractive to stare on except you're into teacher-students complex. Sampai mana saya tadi? Oh alasan. Melanjut memori-memori ABG, saya ke sana selain karena murah dan tempatnya adem, I had a crush on a tall sleek 'gondrong' dude there. Dia sering main game di dalam bioskop bareng teman-temannya. Waktu saya pertama kali melihat dia, dia pakai kaus kuning dipadu dengan jeans, rambut gondrongnya diikat satu ke belakang. Untunglah, kalau rambutnya diikat dua atau kuncir samping dan saya masih naksir, saya sudah mendaftarkan diri jadi pasien, bukan lagi masuk ke fakultas Psikologi. Major disorder is not for a rookie.

Saya sama sahabat saya itu cuma duduk-duduk aja, pura-pura ngobrol sambil ngelirik-ngelirik. Dari jaman A Be Geh sampai sekarang, saya sepertinya sudah mengembangkan bakat-bakat demen sama laki yang bikin orangtua saya deg-degan dan was-was. Saya ingat, waktu pertama kali saya mengenalkan pacar saya yang sekarang jadi mantan, ibu saya diam saja, ayah saya pura-pura ramah menyembunyikan ketidaksetujuannya. Maklum saja, pacar saya itu rambutnya gondrong, begeng berat, kantong matanya besar. No wonder parents suspected him as junkie. On the other hand, I deluded myself a little to think of him as a rockstar tho' he's a photographer slashed graphic designer. In fact, my friends thought that he looked like Steven Tyler who, I assumed, is a rockstar himself.

Back to my singing 180cm'ish heaven guy in yellow tee, kebiasaan itu berlangsung seminggu dua kali, dan berhenti pada saat yang punya hajatan untuk dilihat, tidak nampak-nampak lagi. Entah ke mana dan saat itu sekolah saya itu memaksa saya untuk belajar terus. Di tengah lautan itu, setiap hari masa ujian. Thus the fact that I was willing to sacrifice my time to go there, implied that it's a great deal for me. Could you imagine swimming in the sea of girls and had no boys to sweep off your feet, while Sinetron injected us with unreasonable expectation of love stories? Scoot scoot, bloody hell. It didn't break my heart as I had no idea what his name was, let alone who he was. He could be anything. Dare me not to imagine the most impossible ideas, but hey he might be Al Pacino's love child. Who knows, anyway?

Beberapa minggu terakhir ini, saya lumayan sering ke TIM dan sampai sekarang, belum pernah ketemu orang itu lagi. Kalau dipikir-pikir, bagus begini. Saya jadi masih punya space di masa remaja untuk berimajinasi. Siapa tahu kalau ketemu lagi, imajinasi saya pas dengan kenyataannya. Hehehe.Yesterday in TIM, I was having a crush on dozens of Mario Puzo's and Rendra's. Great authors, great works. I hope that someday I'll be able to write like them. Let it be not only a dream, as I believe that "when you really want something to happen, the whole universe conspires so that your wish comes true".(*


(* a quote from "The Alchemist" by Paulo Coelho

0 comments: