Suede - Obsessions - My Insatiable One



One of my 90's heart-throbbing band!

Thought for the day: golden compass

Life is a restless tide; as we move, we are often in fear and doubt;
let's pray and cherish every breath we take;
let's synchronize ourselves with others, nature, life for we are one;
may we learn on our journey;
shall love, empathy, and compassion be our golden compass;
and may we land to the shore in peace and tranquility,
where hatred and ego shall jealously stare upon us.

Whom to Trust: Ourselves or Psychic?


image, courtesy of www.beinart.org

Guna-guna? Ramalan karier, jodoh? Sepertinya media kita dibombardir dengan iklan-iklan yang menawarkan jasa-jasa yang kita sebut 'paranormal'. Kalau mau dapat ramalan ngini nganu, tinggal kirim sms REG spasi nganu-nganu ke nomor tut tat tut. Saya cukup bertanya-tanya, "hari gini masih ada yang percaya beginian?" Ternyata pandangan naif saya salah. Kenyataan bikin saya kaget. Di sebuah page twitter milik seorang mentalis terkenal, banyak yang berkonsultasi tentang jodoh, karier, ilmu hitam, dan tetek bengeknya. Dari tweet sang pemilik account, saya mendapat kesan bahwa pertanyaan ini termasuk dalam service yang ditawarkan, alias selain mentalist, dia juga peramal/paranormal. Ternyata seorang yang pernah saya temui, seorang self-healer, cukup concern dengan pemberian jasa konsultasi semacam ini. Beresiko dikira mencari publisitas dan cari ribut, ia menyatakan ketidaksetujuannya secara terang-terangan, bahwa menanyakan soal takdir pada orang lain, entah itu paranormal atau mentalis, adalah tindakan yang bodoh. Saya setuju sekali dengan pernyataannya itu. Someone should take a stand on this maddest of the madness.

Dunia ramal meramal bukanlah dunia yang benar-benar asing bagi saya. Mantan pacar saya dulu waktu SMA adalah seorang peramal. Entah dengan kartu tarot, garis tangan, lepehan daun teh, atau apapun itulah. Saya tidak bilang dia tukang bohong, penipu, atau sebagainya. Segala sesuatu punya potensi kebenaran. Untuk membuktikannya, saya juga ikut-ikutan belajar, pakai kartu tarot. Namun setelah beberapa lama menggunakannya, saya ngeri sendiri. Siapa saya yang berhak untuk membacakan takdir orang lain. It felt as if I was overstepping God and it haunted me for most. Oleh karena itu, saya berhenti, tidak pernah mau menggunakannya lagi meski ada beberapa orang yang "memaksa" saya untuk kembali "berpraktek".

Sekali lagi, saya tidak bilang bahwa meramal itu dosa. Semua itu ada di tangan Tuhan, bukan manusia. Menyinggung soal ranah siapa, manusia itu dianugerahi dengan intuisi, suara hati yang senantiasa memandu kita dalam setiap langkah kita. Suara hati, yang saya percaya berasal dari Tuhan sendiri, akan membantu kita dalam menjalani hidup ini. Apalah arti sekolah kehidupan kalau kita tidak belajar, tidak mau mengambil resiko? Tanpa mau berpanjang-panjang lagi, saya pikir adalah sebuah kebodohan untuk menyerahkan kebebasan kita untuk mengambil keputusan, untuk jatuh dan bangkit, untuk belajar pada orang lain, yang notabene adalah manusia juga, bukan Tuhan. We are 'gifted' with our own intuition to lead us to The Path, I think it's deluding to grant power upon our life to another human being.

Saya tidak memaksa bahwa setiap orang harus setuju dengan pernyataan ini. Saya hanya ingin mengajak kita semua untuk menjadikan hal ini sebagai salah satu wacana pikiran kita. Hal ini agar nantinya ketika kita menghadapi masalah yang menghadapkan kita pada persinggungan ini, kita lebih siap, tahu, dan yakin dengan langkah yang kita ambil. To relinquish our power upon ourselves and give it to someone else, to believe or not to believe in the voice deep within ourselves.

Perawan ke Ginekolog: Disuruh Kawin


image, courtesy of www.feministing.com

Sebagai perempuan yang matang secara biologis namun berat badannya di bawah ambang normal, saya sering mengalami masalah dalam siklus menstruasi saya. Dulu, pacar saya pernah menyuruh saya untuk ke ginekolog. Akhirnya setelah berpikir-pikir panjang, saya mau pergi konsultasi. Namun orangtua saya, terutama ibu saya, sedikit menentang dan malah menyuruh saya ke dokter umum. Saya berargumen, dokter umum tidak punya peralatan dan metode pemeriksaan yang teliti untuk masalah rahim. Makanya, ada ginekolog, di samping dokter yang berurusan dengan kesehatan secara umum. Saya ingat, waktu itu ibu saya sempat mengadu pada ayah saya, “… dia kan masih gadis.” Ayah saya diam saja. Entah karena malas berargumen dengan ibu saya, atau ia menganggap seharusnya saya yang memutuskan. Sebagai orang yang dianggap dewasa, ayah saya memang sering menyerahkan keputusan di tangan saya. Karenanya, saya sangat senang untuk mengeksploitasi kesempatan itu untuk melakukan kesalahan serta belajar darinya. Sementara, ibu saya, sulit diyakinkan. Oleh karena itu, saya perlu mengadakan riset kecil-kecilan untuk bahan argumen saya, sebab bagaimanapun juga saat itu saya masih kuliah dan belum berpenghasilan sendiri. Dengan kata lain, saya masih butuh dukungan finansial dari orangtua saya.

Berbekal dengan niat itu, saya menelepon teman pacar saya dan dosen saya. Pertimbangan saya, teman pacar saya itu sudah dewasa dan pasti punya informasi soal ginekolog yang kredibel dan dosen saya itu orangnya cukup terbuka untuk ditanya-tanyai. Saya mengirim SMS ke mereka menanyakan referensi ginekolog. Reaksinya cukup mengejutkan, dan dari sisi yang lain, lucu juga. Yang merespon duluan adalah dosen saya. Tak saya duga, ia langsung menelepon saya dan menanyakan ada masalah apa. Dari nada suaranya, saya menangkap adanya kepanikan dan kekhawatiran. Ketika saya menjawab bahwa saya ingin memeriksakan siklus menstruasi saya yang tidak teratur, ia nampaknya lega dan ia minta waktu untuk bertanya pada istrinya. Sedangkan teman saya, seingat saya, ia tidak menjawab apa-apa. Tak lama kemudian, pacar saya menelepon dan ia cerita bahwa temannya mengirim SMS padanya, dan menanyakan, “Mau dibuang atau apa?” Saya cuma bisa geleng-geleng kepala dan maklum saja, mungkin karena dalam masyarakat kita, yang pergi ke ginekolog hanya yang bermasalah dengan tetek bengek kehamilan, entah mau bikin anak ataupun “buang”. Sekarang saya bisa tertawa namun saat itu, saya cukup dongkol sehingga saya membatalkan niat itu.

Setahun kemudian, setelah saya lulus dari fakultas saya yang tercinta (thanks God!), masalah siklus menstruasi itu bertambah parah. Tanpa perlu mendeskripsikan lebih jelas, siklus menstruasi yang tidak teratur itu sepertinya bertambah dengan masalah kewanitaan lainnya. Saya harus pergi ke ginekolog! Masalah jerawat saja pusing, masakan masalah yang krusial untuk masa depan “perburuan”, saya acuhkan. Karena SMS dari dosen saya hilang bersama HP saya yang wafat tenggelam di bak, saya harus mengumpulkan informasi lagi. Saya, cukup trauma dengan respon-respon yang saya terima setahun yang lalu, memutuskan untuk menggunakan fasilitas lain yang memungkinkan saya tidak perlu bertanya langsung: Google search! Untunglah ada internet dan Jerry Yang yang dengan jenius menciptakan search engine. Walaupun Google sekarang “raja” search engine, tak dipungkiri kerajaan itu pertama-tama dibangun oleh Yahoo.

Menghabiskan waktu berjam-jam di depan komputer, memelototi layar sampai mata saya sakit, menginvestigasi beberapa klinik ginekologi dan review-review, akhirnya saya menulis di notes saya, alamat sebuah klinik ginekologi yang berada di Jakarta Selatan. Review nya cukup memuaskan dan konon terkenal dengan “keajaiban” medikalnya yang berhasil membuat istri seseorang tek dung dan dokternya yang ramah serta teliti dalam memeriksa. Walaupun saya tidak punya niatan untuk bikin anak, dari informasi ini, saya bisa membuat hipotesis, sepertinya dokter di sana cukup kredibel, dan kecil kemungkinan untuk salah diagnosa yang lagi-lagi mempengaruhi masa depan saya. Saat ini saya pikir untuk ke depannya saya tidak ingin punya anak namun saya membuka kemungkinan, siapa tahu saya berubah pikiran.

Langkah berikutnya, saya harus men-tackle keengganan ibu saya untuk merelakan labia mayora dan labia minora anak perempuan semata wayangnya beserta isinya dilihat-dilihat atau bahkan “dikobok” oleh ginekolog, entah perempuan entah laki-laki. Mudah saja sebenarnya. Saya menjelaskan resiko yang bisa dialami kalau menangani masalah ini dengan enteng. Seorang ibu, setelah melahirkan dan membesarkan anaknya, cukup normal untuk menginginkan seorang cucu. Saya bilang, sekali lagi menegaskan supaya tidak mengesankan harapan yang dibuat-buat, “Ma, kalau seandainya aku mau punya anak suatu hari nanti, terus gak bisa gara-gara takut ini itu, dan malah diperiksa dokter umum yang gak ahli soal rahim-rahiman, gimana?” Induce the emotion then the possibility of ‘yes’ will raise up to 95%. 5% berikutnya, informasi yang sifatnya rasional. Saya tinggal memberitahu ibu dan ayah saya tentang klinik “pilihan” saya beserta alasannya. Persis cara jualan obat. Bikin takut, baru memasukkan informasi mengenai obat yang ingin dijual.

Keesokan harinya, Sabtu, pk. 11.00, saya dan orangtua saya sampai ke klinik yang dimaksud. Saya mendaftar dan mendapat nomor urutan kesekian. Di sana, saya ditimbang berat badannya terlebih dahulu dan seperti biasa, yang sudah saya duga, saya ditanya mengenai informasi pasangan saya. Saya bilang, saya belum punya suami. Kemudian perawat di sana menginstruksikan pada saya untuk mengisi formulir dan nanti di bagian suami, dikosongkan saja. Informasi soal orangtua saya sudah cukup, katanya. Mungkin ia sudah cukup terbiasa sehingga ia tidak terbengong-bengong mengetahui saya belum bersuami. Indikasi yang bagus, pikir saya, mungkin remaja jaman sekarang terbiasa untuk memeriksakan dirinya ke dokter kandungan. Ginekolog bukan “monopoli” tetek bengek kehamilan segala.

Karena giliran saya masih jauh, saya menunggu sambil memperhatikan sekeliling klinik tersebut. Klinik itu cukup ramai, kursi di ruang tunggu terisi penuh, didominasi oleh ibu-ibu muda yang tek dung. Banyak orang yang mengantri, salah satu indikasi bahwa klinik ini cukup kredibel sehingga orang-orang merelakan waktunya untuk melakukan pekerjaan yang paling membosankan dan melelahkan: menunggu.

Mencegah social anxiety attack, saya menyibukkan diri dengan majalah-majalah yang disediakan di sana. Hm, majalah kehamilan, parenting, hamil, gizi ibu dan anak, parenting. Tak antusias saya membaca majalah-majalah itu. Saya hanya membiarkan otak saya berkonsentrasi pada judul-judul artikel dan foto-foto di dalamnya. Isi artikelnya? Wallahualam, saya lewati begitu saja, soalnya judul artikelnya tidak berbicara pada saya. Bukannya saya tidak peduli soal parenting, saya saat itu sedang cemas dan pusing tentang kesehatan saya, tidak punya niat berlebih untuk menjajaki developmental psychology lagi yang ingin saya lupakan jauh-jauh. Setelah 4 ½ tahun berkutat dengan soal-soal psikologi anak, orangtua, dan sebagainya, hello, I’m human after all, give me a break! Menyadari bahwa majalah-majalah itu tidak berkontribusi apapun dan malah mendorong saya untuk makin uring-uringan, saya beranjak dari tempat saya duduk dan sibuk mencari-cari majalah tipe lain di rak majalah klinik tersebut. Hasilnya, saya kembali ke kursi saya dengan tangan hampa. Tidak ada majalah khusus wanita single ataupun remaja. Mungkin mayoritas pengunjung klinik ini bukan target segment majalah yang ingin saya baca, pikir saya. Tak ada jalan lain, nikmati saja detik-detik penantian. Time was immortal at that moment.

Akhirnya setelah dua jam bertarung dengan kebosanan, nama saya dipanggil. Saya masuk didampingi oleh ibu saya yang penasaran dengan konsultasi yang akan diberikan oleh sang ginekolog. Kami bertemu dengan seorang bapak-bapak tua yang cukup ramah. Ia bertanya, apa keluhan saya. Setelah saya menceritakan gangguan-gangguan yang saya alami, saya diminta untuk pergi ke sebuah ruangan di balik tirai untuk diperiksa. Menurutnya, dari hasil pemeriksaan di monitor dan uji laboratorium, tidak ada masalah alias normal-normal saja. Mungkin gangguan saya dipicu oleh stress dan ia mengatakan pada saya bahwa saya tidak perlu terlalu khawatir soal gangguan-gangguan semacam ini. “Tenang-tenang saja.” Ibu saya mengiyakan dan mengompor-ngompori sikap saya yang dianggap terlalu paranoid. Batin saya, “iya, kalau sudah diperiksa, baru bisa tenang, mana mungkin saya bisa tahu sebenarnya itu gara-gara stress atau bukan, kalau tidak diperiksa, memangnya saya dokter.”

Lalu dokter itu bertanya lagi, “sudah punya pacar?” Saya jawab saja sudah, karena saya lelah dan ingin cepat-cepat pulang. Bad move. Saya malah dinasehati panjang lebar untuk cepat-cepat menikah. “Udah lulus, pacar ada, langsung saja nikah. Apa pacarnya tidak mau? Kalau pacarnya plin plan begitu, cari yang lain saja. Cepat kawin, tunggu apa lagi. Anak-anak jaman sekarang sibuk karier, lupa punya anak. Begitu udah ketuaan, baru pusing.” Buset, orangtua saya saja tidak meributkan tetek bengek perkawinan. Sementara saya kesal dalam diam, ibu saya tertawa-tawa saja. “Sial”, kata saya dalam hati.

Dalam perjalanan pulang, saya masih bertanya-tanya soal nasehat ajaib dokter itu. Mungkin ia benar-benar khawatir masa panen saya expired, atau mungkin juga ini masalah kapitalis saja. Kalau saya hamil atau mau punya anak, kemungkinan besar saya akan kembali konsultasi ke dokter itu bukan? Entah apapun maksud dokter itu, yang penting saya sudah berhasil mengatasi “ketakutan” saya: pergi ke ginekolog dan benar-benar tahu dengan pasti, bahwa saya baik-baik saja.

The Police - Don't Stand So Close to Me



The Police!!!!!

Tonight I'm an A Be Geh.

titik hati. titik nadi. titik hidup.


image, courtesy of diaryofayoungdesigner.blogspot.com

Kemarin saya ngobrol-ngobrol dengan salah seorang sahabat saya. Sahabat yang dekat sekali dengan saya, sampai-sampai saya dikira pacaran dengan dia waktu semester dua lalu. Padahal, kenyataannya, dia juga sudah punya pacar, seorang perempuan mungil yang manis. Pertama-tama obrolan kami ringan-ringan saja, soal informasi baru, soal mobil keren yang ia kagumi di jalan. Rupanya seorang perempuan naik ferrari menantang dia balapan dan dia kalah (mobilnya kijang). Cukup memalukan buatnya untuk dikalahkan oleh seorang perempuan dalam bidang yang seharusnya dirajai laki-laki. Namun tidaklah lama kami membahasnya, obrolan berlanjut ke zona yang lebih personal.

Sebulan yang lalu dia bertemu dengan mantan pacarnya sewaktu sedang makan malam sendirian di sebuah daerah bilangan Jakarta. Mereka bertatapan untuk sekian lama. dari jarak yang tidak terlalu jauh, tapi juga tidak dekat. Perasaan teman saya langsung kacau balau. Memori masa lalu mulai bermain lagi di kepalanya, perasaan yang ia pendam, sampai-sampai ia tak kuat meneteskan air mata. Kemudian teman saya langsung ke mobilnya, melaju mobil sekencang-kencangnya. Tapi dia masih sempat mendengar mantan pacarnya berteriak memanggil namanya.

Teman saya punya kisah cinta yang mengagumkan dan menyentuh, yang membuat saya sedikit iri, yang membuat saya mengata-ngatai perempuan itu bodoh bila perempuan itu menyia-nyiakan cintanya. Teman saya mencintai perempuan itu dengan sepenuh hati sepenuh jiwa, sepenuh yang mungkin tidak bisa saya bayangkan besarnya. Dia menolak memeluk ataupun mencium mantannya (sewaktu berpacaran) agar ia bisa benar-benar merasakan perasaan yang murni, bukan fisik. Kontak fisik yang paling jauh, hanya mengecup kening ataupun rambutnya. Perempuan itu mengatakan bahwa ia butuh belaian fisik namun teman saya menjawab, "lebih dari yang kamu tahu, perasaanku lebih dalam."

Dan saya salah mengira perempuan itu bodoh. Ternyata keadaanlah yang memisahkan mereka. Agama mereka berbeda dan orangtua perempuan itu tidak bisa menerimanya. Teman saya ingin memperjuangkan cinta mereka tapi langkah teman saya terhenti, menyadari harapan orangtua perempuan itu yang sangat besar terhadap anaknya. Sahabat saya itu tidak mau menghancurkan hubungan orangtua-anak yang sudah terjalin sekian puluh tahun. Berbeda dengan orangtuanya yang mengasuh kekasihnya itu sejak kecil, sahabat saya baru beberapa tahun mengenal perempuan itu. Dan perempuan itu, menurut kabar temannya, masih mencari pengganti yang seperti teman saya. Mendengar kabar itu, teman saya hanya bisa tersenyum pahit.

Sampai sekarang, teman saya masih mengirim kado untuknya setiap ulangtahun. Perempuan itu menungguinya dengan gelisah setiap dirinya berulang tahun, menunggu hadiah dan perjumpaan dengan teman saya. Pernah suatu kali, teman saya pergi ke rumah mantan pacarnya untuk memberi kado ulang tahun dan menemukan mantan pacarnya sedang berdiri gelisah di depan pintu rumah sambil memegang foto teman saya. Melihat nya, teman saya langsung pergi. Ia meminta tukang sate yang ia temui di jalan untuk meminjaminya baju dan topi tukang sate berikut gerobaknya. Sebagai jaminannya, ia memberi uang Rp 50.000,00 dan menitipkan kunci mobil. Teman saya mendorong gerobak tukang sate melewati rumah mantan pacarnya. Perempuan itu sesaat menatapnya, namun kemudian mengalihkan pandangan. Mungkin ia mengira itu teman saya tapi ragu karena orang itu mengenakan baju dan topi tukang sate. Kemudian teman saya melemparkan bunga ke depan perempuan itu. "Neng, bunga neng." perempuan itu tersentak dan memanggil-manggil nama teman saya. Tapi teman saya sudah keburu lari mendorong gerobak itu yang, menurut pengakuannya, sangat berat.

Teman saya sampai sekarang mau bertemu dengannya. Namun ia tidak kuat menahan perasaan yang muncul setiap kali bertemu, ataupun hanya mendengar suara perempuan itu. Bahkan ketika ia menceritakan kisah ini pada saya, saya melihat ada genangan air di pelupuk matanya. Ia ingin menangis, menumpahkan perasaaannya di depan perempuan itu. Namun ia mengurungkan niatnya karena ia tidak mau membebani perempuan itu sebagaimana hatinya hancur dulu ketika melihat perempuan itu menangis di depannya. Sejak saat itu, ia tidak pernah bisa melihat perempuan manapun menangis.

Saat ini teman saya sudah menjalin hubungan yang baru. Pacarnya yang sekarang tahu kisah teman saya dan mantannya, termasuk perasaan teman saya terhadap mantannya. dan ia mengerti perasaan teman saya. Teman saya memang orang yang selalu menaruh seluruh perasaannya bila ia mencintai seorang perempuan. Ia bangga dengan perasaan yang ia alami dengan mantannya meskipun demikianlah akhirnya. Ia bangga karena ia telah mengalami titik hidup yang terindah. Titik hidup yang menjadikan seorang manusia, manusia. Perasaan kasih sayang yang tulus.


Reposted, Jakarta, 26 Juli 2006

corresponding with my effort on reviving my romantic state of mind

Yesterday in TIM: It's just A Crush


image, taken from here


Karena dua teman saya sudah posting duluan, saya, tidak mau kemakan omongan sendiri, akhirnya memberanikan diri menulis ini. Kemarin saya pergi bareng si Gadis Kuning dan sang Introvert jalan-jalan sekitar Menteng. Ketemunya di PS, tapi sok-sok nostalgianya di sekitaran Menteng. Kalau si Gadis Kuning di Djaktet, saya di TIM. Niatnya mau cari buku di Bengkel Deklamasi, tapi saya juga jadi ingat masa A Be Geh.

Waktu masih putih abu-abu, saya berdua dengan tandeman saya waktu itu hobi ke TIM. Awalnya tandeman saya yang memaksa saya pergi ke sana karena harga tiket bioskopnya murah, tapi lama-lama saya yang nagih dan gantian memaksa tandeman saya itu. Bukan, bukan masalah alasan pengin jadi seniman atau sok kreatif. Saya masih A Be Geh, untunglah saya masih mengalami masa-masa bau kencur. Sedikit masa-masa indah remaja di tengah sekolah yang isinya perempuan melulu, kecuali guru-gurunya, yang, believe me, it's unattractive to stare on except you're into teacher-students complex. Sampai mana saya tadi? Oh alasan. Melanjut memori-memori ABG, saya ke sana selain karena murah dan tempatnya adem, I had a crush on a tall sleek 'gondrong' dude there. Dia sering main game di dalam bioskop bareng teman-temannya. Waktu saya pertama kali melihat dia, dia pakai kaus kuning dipadu dengan jeans, rambut gondrongnya diikat satu ke belakang. Untunglah, kalau rambutnya diikat dua atau kuncir samping dan saya masih naksir, saya sudah mendaftarkan diri jadi pasien, bukan lagi masuk ke fakultas Psikologi. Major disorder is not for a rookie.

Saya sama sahabat saya itu cuma duduk-duduk aja, pura-pura ngobrol sambil ngelirik-ngelirik. Dari jaman A Be Geh sampai sekarang, saya sepertinya sudah mengembangkan bakat-bakat demen sama laki yang bikin orangtua saya deg-degan dan was-was. Saya ingat, waktu pertama kali saya mengenalkan pacar saya yang sekarang jadi mantan, ibu saya diam saja, ayah saya pura-pura ramah menyembunyikan ketidaksetujuannya. Maklum saja, pacar saya itu rambutnya gondrong, begeng berat, kantong matanya besar. No wonder parents suspected him as junkie. On the other hand, I deluded myself a little to think of him as a rockstar tho' he's a photographer slashed graphic designer. In fact, my friends thought that he looked like Steven Tyler who, I assumed, is a rockstar himself.

Back to my singing 180cm'ish heaven guy in yellow tee, kebiasaan itu berlangsung seminggu dua kali, dan berhenti pada saat yang punya hajatan untuk dilihat, tidak nampak-nampak lagi. Entah ke mana dan saat itu sekolah saya itu memaksa saya untuk belajar terus. Di tengah lautan itu, setiap hari masa ujian. Thus the fact that I was willing to sacrifice my time to go there, implied that it's a great deal for me. Could you imagine swimming in the sea of girls and had no boys to sweep off your feet, while Sinetron injected us with unreasonable expectation of love stories? Scoot scoot, bloody hell. It didn't break my heart as I had no idea what his name was, let alone who he was. He could be anything. Dare me not to imagine the most impossible ideas, but hey he might be Al Pacino's love child. Who knows, anyway?

Beberapa minggu terakhir ini, saya lumayan sering ke TIM dan sampai sekarang, belum pernah ketemu orang itu lagi. Kalau dipikir-pikir, bagus begini. Saya jadi masih punya space di masa remaja untuk berimajinasi. Siapa tahu kalau ketemu lagi, imajinasi saya pas dengan kenyataannya. Hehehe.Yesterday in TIM, I was having a crush on dozens of Mario Puzo's and Rendra's. Great authors, great works. I hope that someday I'll be able to write like them. Let it be not only a dream, as I believe that "when you really want something to happen, the whole universe conspires so that your wish comes true".(*


(* a quote from "The Alchemist" by Paulo Coelho

"Blasphemous Rumours"*


French revolution, storming the Bastille
image, courtesy of www.success.co.il


Takut. Cemas. Bingung. Mungkin dilema. Saya tidak tahu mesti menggunakan kosakata untuk mendeskripsikan perasaan saya. Hm, bukti bahwa bahasa manapun tidak bisa menggambarkan luasnya dan tak menentunya perasaan manusia, hingga akhirnya seorang penyendiri, terasing seperti saya berlindung di balik kata-kata kiasan. Yang mengenal saya mungkin memahami apa yang sebenarnya ada di pikiran saya. Yang tidak mungkin mencoba mengaitkan dengan pengalamannya namun pasti gagal jika mengartikannya dalam arti literal. Mungkin saya suka main teka teki, mungkin saja saya memang tidak punya padanan kata yang pas. Sekalipun saya bisa keluar dari 'pengandaian', sayalah yang ragu, sebab saya tidak pernah nyaman untuk benar-benar meletakkan diri saya seutuh dan sepolos-polosnya dalam persepsi orang-orang. Buat saya, persepsi itu harus kabur dan tidak boleh sejelas-jelasnya. Entahlah untuk kepentingan apa, mungkin untuk melindungi diri? Sebab informasi, menurut saya, adalah modal terbesar dan terutama untuk menyakiti dan menjatuhkan seseorang. Bukanlah saya cemas untuk dijegal orang dalam hal karier, pekerjaan, melainkan kehancuran hati adalah yang paling saya takutkan.

Namun pikiran dan hati saya telah berbulan-bulan bergulat, meminta saya untuk menuangkannya dalam sebuah deskripsi yang jujur, tentang perjalanan saya, orang-orang yang saya temui, kejatuhan, dan kehilangan. Hal-hal yang membuat saya tidak dapat tidur dan terus terjaga meski dalam pembicaraan dan minuman yang paling membius sekalipun. Entahlah saya tidak tahu. Hanya dalam beberapa hari terakhir ini, doronga tersebut semakin kuat. Saya, terus terang, kesulitan untuk membendungnya hingga saya kurang berselera, kurang bergairah dalam menjalani hari-hari saya. Dalam pertemuan termeriah apapun, hati saya sepi, pikiran saya ramai namun bukan dengan mereka, bukan dengan orang-orang yang saya jumpai. Persoalan sakit hati, jatuh, kehilangan, dan tetek bengeknya, seperti sengaja menyenggol hati saya yang baru patah, membangkitkan scene-scene yang ingin saya lupakan. Meski saya merasa telah memahami makna yang ingin disampaikan oleh Sang Sutradara, tetap saja giris hati saya saat mengingatnya. Entahlah, rasanya saya semakin pusing. Menulis sendiri saja, buat saya, seperti petualangan besar yang membangkitkan gairah, sensasi, namun juga debar khawatir, cemas, dan bayangan akan teror-teror yang akan dialami, extremely anxious on the start and the finish line. Thus, if I finally decide to proceed, I think, I'll have to endure this emotion blasphemy before, during, and after the ride, ck.



*Judul, diambil dari salah satu lagu lansiran Depeche Mode

Thought for The Day: Money vs Will



Michael Corleone: I saw a strange thing today. Some rebels were being arrested. One of them pulled the pin on a grenade. He took himself and the captain of the command with him. Now, soldiers are paid to fight; the rebels aren't.

Hyman Roth: What does that tell you?

Michael Corleone: It means they could win.


image, courtesy of www.htzfm.com

Kehilangan

Dalam hidup kita, segala sesuatu datang dan pergi. Sampai-sampai pepatah mengatakan kalau hidup kita ini cuma numpang lewat saja. Ketika sesuatu 'pergi', ada rasa kehilangan. Kita merasa bagian dari diri kita hilang. Setiap orang mempunyai cara mengatasi kehilangan yang berbeda-beda dan makna kehilangan itu sendiri pun sifatnya pribadi, karena pengalaman kita yang beragam. Membicarakan soal kehilangan, menurut saya, dapat membuat kita berpikir ulang dan merefleksikan hidup kita. Memeriksa kembali perjalanan hidup kita, apa yang telah kita alami, kita lakukan, kita rasakan, dan pikirkan. Oleh karena itu saya ingin mengajak kita semua untuk berbagi soal pengalaman kehilangan ini. Apa saja. Biar kita bisa belajar satu sama lain. Tapi kalau keberatan untuk diceritakan, jadikan saja renungan pribadi. :)

Sebagai pertanyaan pemancing, "Kehilangan apa yang paling kalian sesali dan kalau ada, kehilangan apa yang paling kalian syukuri?"

Sebuah Pesta di Malam Takbiran



Sudah seminggu ini saya bosan. Bosan terhadap apa? Saya sendiri juga tidak jelas. Mungkin bosan pada kejenuhan? Lah ribet banget yak. Tapi ya itu intinya, saya jenuh. Beberapa hari saya mendekam di rumah dan menenangkan kaki-kaki saya, meredam jiwa keluyuran saya. Kata ibu saya, saya orangnya tidak bisa diam di rumah. Saya anggap itu sebagai tantangan dan saya program kepala saya untuk duduk, tidur-tiduran di kamar, baca buku, nonton film. Akhirnya saya tidak tahan juga. Dengan dalih untuk diri saya sendiri, saya bilang ke ibu saya bahwa saya ingin keluar untuk membeli buku. Dalam ambang kebosanan saya, kemarin-kemarinnya lagi saya bikin kuis di ngerumpi dot com dan pemenangnya itulah yang akan saya beri hadiah. Saya tawarkan "Negeri 5 Menara" dan Mbah Ngasmuni (pemenangnya) setuju. Sebetulnya beli buku itu bisa nanti-nanti karena toh Tiki tutup mau Lebaran, menjelang malam Takbiran.

Akhirnya saya bermodalkan Rp 3500,00 perak naik busway, lurus-lurus saja, tidak pakai ribet, dari depan kompleks rumah saya ke PIM. Tapi sebalnya di sana yang ribet. Teman saya, sesama blogger, sudah memperingatkan kalau PIM bakal penuh dengan manusia-manusia yang mencari hiburan komersil. Saya mengiyakan itu dalam hati namun karena saya takut berjamur di rumah, saya keluar dan saya menghadapi 'kekacauan' itu juga akhirnya. Dalam kata-kata dan nasehat tampaknya mudah, berkubang dalam suasana nyata itu yang sulit. Akhirnya saya cepat-cepat menuju Gramedia. Kebetulan buku yang saya cari ada di dekat pintu masuk. Tepat ketika saya melangkah masuk, buku itu di depan mata saya. Saya ambil lalu saya bergegas ke kasir. Namun saya menghentikan langkah saya karena saya tidak ingin kehilangan waktu keluyuran barang sebentar saja. Kemudian saya langkahkan kaki saya menuju rak-rak novel, mengecek buku apa saja yang baru, apa wishlist saya diskon (ternyata tidak, hmph), melihat nama teman saya di belakang novel bersampul hitam bertinta putih "5 cm" dan nama teman saya "Venus" (sebagai reviewer) dengan tinta putih pula. Novel itu di depannya ada tulisan embossed 'best seller'. Iri sebentar, kemudian membayang-bayangkan kalau karya saya ada di toko buku juga. Peluncuran buku, publikasi, cemas-cemas harap apakah buku itu masuk kategori best seller atau discounted for half price. Tapi saya segera mengusir pikiran itu jauh-jauh sebab rasanya tidak pas saja memikirkan hal-hal semacam itu di hari libur, dan sirik itu benar-benar tidak bertema Ramadhan. Kalau diibaratkan main musik, nadanya sembrono alias mengacaukan harmoni.

Akhirnya saya menelepon teman saya yang rumahnya dekat PIM. Kebetulan dia ada di rumah, saya mampir ke rumahnya. Karena saya penginnya keluyuran, saya tidak ingin 'pindah' rumah, saya maunya ada di alam terbuka, ngeloyor tidak jelas, ngobrol ngalor ngidul di bawah langit. Saya sedang tidak berselera dengan atap bersisi empat, kubikel besar. Ingin rasanya bernapas di lapangan terbuka, menghirup udara yang tidak disaring oleh jendela. Oleh karena itu, dalam perjalanan menuju rumah teman saya, saya mengirim SMS pada teman saya yang saya sebut "raja" di TIM. Buat saya, TIM itu tempat yang menyenangkan. Udaranya enak, atmosfirnya bebas (mungkin karena di sana tempat hajatannya orang-orang kreatif), dan juga saya bisa cari-cari buku lama yang sudah tidak dicetak lagi di Bengkel Deklamasi (TIM).

Sekitar satu setengah jam saya di rumah teman saya itu, kemudian kami bertolak ke TIM. Menyenangkan! Seperti mengulang malam hujan badai di TIM, saat saya sedang berteduh, saya berkenalan dengan orang-orang dari Bali yang sedang berbisnis. Darinya saya mendapat cerita-cerita baru. Kemudian setelah hujan reda, Double J (teman saya) sudah sampai di TIM dan kami terus mengobrol sampai sahur. Bedanya, pada hari kemarin itu, suasananya malam takbiran dan kelakuan kami tidak segila malam sebelumnya. Lebih behave lah istilahnya. Tapi saya juga dapat kenalan-kenalan baru di sana, menikmati suasana takbiran yang hiruk pikuk namun tenang dalam hati. Mendengar suara bedug bertalu-talu meski hanya dalam rekaman, buat saya adalah peristiwa yang magis. Nada-nada dan tempo-tempo itu membawa suasana yang khusyuk dan damai.

Pukul setengah dua pagi, saya mengantuk karena di malam sebelumnya, saya kurang tidur. Saya jalan keluar bersama teman saya untuk menyetop taksi. Di depan TIM, ada dua orang polisi berjaga. Saya pikir, memangnya ada apa sampai-sampai ada polisi? Biasanya walau tengah malam, tidak pernah ada petugas hukum di sini. Beberapa menit kemudian, barulah saya tahu alasannya. Pawai konvoi orang-orang yang bersuka ria merayakan Takbiran dan datangnya Idul Fitri, hari yang Fitrah, hari kemenangan. Keriaan mereka bagaikan menular, saya yang tadinya ngantuk, ikut-ikut bersemangat. Peristiwa yang benar-benar menyentuh hati dan menyalakan setrum gairah hidup. Orang-orang berkumpul dalam euphoria kegembiraan, tanpa dendam, tanpa kemarahan. Pesta. Namun pesta harus berakhir, sebuah taksi tarif lama langganan saya lewat dan saya menyetopnya. Saya harus pulang.

Sepanjang perjalanan saya dalam taksi, saya melewati kawasan Menteng, dekat BB's. Jalanan macet, tersendat. Saya mulanya bingung ada apa, dan bapak supir taksi menerangkan pada saya bahwa mungkin orang-orang berkumpul untuk menyalakan petasan. Saya manggut-manggut saja dan memilih untuk melihat sendiri daripada bertanya-tanya terus. Setelah melaju tersendat berkali-kali, akhirnya saya melihat. Orang-orang berkumpul di sisi kiri jalan, duduk di atas mobilnya, menunggu dengan antusias. Di seberangnya (sisi kanan jalan), ada dua orang yang sedang mempersiapkan petasan yang diberdirikan di atas tanah, dijaga supaya tidak jatuh. Kemudian salah seorang dari mereka menyalakan sumbunya dengan lighter. Siuuuungg... Bum bum. Petasan meluncur ke udara, kembang-kembang cahaya kegembiraan menerangi langit. Melihat itu, saya sedikit bersyukur dengan kemacetan ini. Paling tidak, saya diberi kesempatan untuk ikut menyaksikan pesta ini, sebuah pesta yang saya harap akan menjadi permulaan bagi babak baru kehidupan manusia, tidak lagi berkubang dalam kebencian dan nafsu penghancuran, tetapi hidup baru yang diwarnai dengan cinta, persahabatan, dan kasih. Dalam hati, terselip sedikit harap, agar pesta ini tidak pernah berakhir.


image, courtesy of designflute.wordpress.com

Stok Gombal (17+)



1. Oh dinda, cintaku hanya untukmu (catatan: supaya dipercaya, bungkam dulu paduan suara mantan pacar dan cem-ceman)
2. Oh kakanda, cintamu bergayung padaku dan biarkan aku berlindung dalam parang paras cintamu. (catatan: kalau elu udah gak ganteng/keren lagi, boleh dong pindah ke lain hati)
3. Kamu bagaikan purnama menerangi gelap diriku. (catatan: relatif aman, klasik)
4. Tidak, dia cuma teman, hanya kaulah permata hatiku. (catatan: 'ngeles' karena dicurigai selingkuh)
5. Walau dia menyentuhku, hatiku hanya bergetar untukmu. (catatan: 'ngeles' selingkuh)
6. Aku tak bisa hidup tanpamu. Lebih baik kau bunuh saja aku. (catatan: pastikan anda berada di ruang kosong, untuk jaga-jaga saja)
7. Belahlah dada abang, jika kamu tidak percaya. (catatan: pastikan tidak ada benda tajam di sekitar)
8. Aku tak pernah mengenal cinta sebelum bertemu denganmu. (catatan: supaya dipercaya, bungkam dulu paduan suara mantan pacar dan cem-ceman)
9. Wajahmu mengalihkan duniaku. Wajahmu menghancurkan duniaku. Aku tidak tahu wajah lain selain wajahmu. (catatan: mungkin pas kalau anda agak buta karena mata dicolok sang pacar, makanya kalau lirik-lirik jangan pas sama pacar)
10. Duniaku kau guncang hanya dengan lirikan matamu. (catatan: mungkin akan lebih dipercaya kalau ngomongnya pas gempa bumi)
11. Senyummu bagai oase di padang gurun hatiku. (catatan: ngomong ini pas haus, biar bisa lebih menjiwai)
12. Kau begitu agung, hanya ibuku yang bisa menandingi agung jiwamu (catatan: gombal ala anak mami)
13. Aku ingin berenang di mata indahmu. (catatan: siapin bikini)
14. Apa kau tidak lelah? Semalam kau berlari-lari dalam mimpiku. (catatan: hati-hati ini udah diumbar banyak di SMS gratisan ataupun servis premium)
15. Kalau kau Julia, aku Romeo mu. (catatan: jauhkan si dia dari toko farmasi, jaga-jaga saja)
16. Kau terjun, aku terjun. (catatan: hati-hati apabila pasangan anda diduga hysteria)
17. Kalau kau bunga, aku kumbangnya. (catatan: relatif aman)

---- Danger Zone ----

18. Bibirmu menyalakan gairah hidupku. (catatan: siapin tungku, supaya benar-benar HOT)
19. Bang Oma saja pasti akan bertekuk lutut melihat kecantikanmu (catatan: hati-hati, pastikan pasangan anda terpaku pada anda, jadi dia tidak melirik ke bulu-bulu Bang Oma)
20. Serahkanlah tubuhmu dan jiwamu, maka akan kuberi kau singgasana cinta untuk selamanya (catatan: gombal untuk membujuk)
21. Kalau kau cinta padaku, pasti kau inginkan seluruh tubuhku seluruh jiwaku (catatan: gombal untuk memaksa)
22. Meski dia menyerangku dengan kepolosan tubuhnya, hatiku hanya bersimpuh padamu (catatan: ngeles selingkuh)

And it's called infatuation



Berjumpa dengan orang baru atau teman, tersipu-sipu, muka memerah, bagai mendengar lantunan merdu di hati saat pandangan bertemu. Apakah itu tanda kita jatuh cinta atau sebenarnya cuma kekaguman, yang lazim disebut infatuation? Sewaktu saya masih remaja, sering sekali saya merasakannya namun saya tidak mengerti dan saya malah berpikir bahwa saya ini begitu mudah jatuh cinta. Setelah saya bertemu dengan bermacam-macam orang dan jatuh cinta sebenar-benarnya, barulah saya tahu ini hanya infatuation belaka. Rasa kagum terhadap kedewasaan, cara pandang, keluasan wawasan, dan sebagainya bisa memicu debar tak juntrungan saat bertemu dengan orang ini atau kita jadikan alasan untuk memikirkan ataupun menebak-nebak kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi.

Ketika saya mengalami letupan-letupan itu, mula-mula saya pikir jangan-jangan saya jatuh cinta. Pikiran saya biasanya paranoid dan pusing sendiri. Tapi lama kelamaan, perasaan itu pudar dan berganti jadi perasaan yang tidak menggelegak, lebih mengayun seperti persahabatan. Apakah itu artinya faktor waktu jadi pembeda antara infatuation dan jatuh cinta? Mungkin. Butuh waktu untuk mengikat komitmen dengan seseorang. Namun waktu bukan inti dari teka-teki ini. Waktu hanyalah medium bagi kita untuk saling berproses. Perlu pengenalan, komunikasi, dan usaha untuk saling memahami agar kita bisa dengan yakin berkata “I love you” pada orang yang ditaksir sehingga kita tidak gombal kata. Kita sebagai manusia, seringkali tertipu dengan gejolak rasa sendiri dan mengartikannya sesuai dengan keinginan kita sendiri sehingga mengaburkan perasaan yang sesungguhnya.

Saya pernah jatuh cinta. Alangkah manisnya, saat pertama kali berSMS, telepon, dan kencan, semudah itu kata “I love you” meluncur dari kami berdua. Kemudian di antara kami ada penyesalan karena ternyata perasaan kami mungkin dipicu oleh rasa sepi kami dan dambaan kami pada seseorang yang bisa mendampingi kami dalam susah maupun senang. Walau pada akhirnya dalam proses, kami saling mencintai namun kata-kata “I love you” itu jadi momok bagi kami. Kami dulu pernah mengumbar tiga kata sakti itu pada saat kami mengalami infatuation dan akhirnya ‘mantra’ itu kehilangan keajaibannya dalam perkembangan hubungan kami selanjutnya. Dalam proses, kami saling mengenal, saling menyesuaikan diri, dan pada akhirnya kami saling mencintai namun kami tidak pernah mengucap tiga kata itu lagi. Ragu-ragu. Kami takut salah, kami takut menerjemahkan rasa, takut berbohong pada diri dan pasangan. Hal ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan komunikasi saya dan pasangan saya tidak lancar, tersendat, dan akhirnya benar-benar mandeg.

Begitu mudah kita terpesona, begitu mudah kita terlena akan bayang-bayang dongeng. Namun kita, manusia, selain dianugerahi rasa, juga diberi pikir, supaya kita bisa bermimpi menyentuh langit sekaligus menapak tanah. Karunia keseimbangan, agar kita tidak terombang ambing pada langit maupun bumi. Kata cinta adalah mantra ajaib pengikat dua insan yang terpisah hingga jadi satu hati dan satu rasa. Agar keajaiban itu terus terasa dan menyentuh kita pada titik yang tepat, kita harus menjaganya dan membuatnya sakral. Ucapkanlah kata cinta, pada saat kita benar-benar memaknai kata itu. Dalam proses, dalam perjuangan, dalam komunikasi dan usaha saling memahami, kita akan mengenal cinta yang tumbuh. Menurut saya, bukan pada saat ada benih itu kita mengucap cinta, namun ketika telah merekah, barulah saat yang tepat bagi kita untuk berkata “Aku cinta kamu“. Hal ini, sebab ketika masih benih, itu hanyalah benih yang belum tumbuh sehingga ketika kita mengucap cinta, kita bagaikan memaksakan kehendak kita. Namun ketika cinta itu telah tumbuh, merekah, dan mengakar, barulah kata cinta itu tepat, menggambarkan, mengekspresikan, dan menaut gelombang rasa dan jiwa yang tenang dalam harmoni inti hidup manusia.


image, courtesy of www.buzzle.com

Thought for the day: we need revolution!



Does our society bring out the worst in its member? We need revolution then. Now.

If only the immense power of negativity is transferred to positivity, life will be better and there will be no slashing wrist tragedy.

Let madness be only for love & not hatred.
To forgive and to accept
To let go but let forsaken not be
To weep with no anger
Compassion
Love

So prayer will be, to withhold and repent all anger.
We cleanse ourselves not to stain it again.


image, courtesy of www.poster.net

A Portrait of the Artist as a Young Man (James Joyce)

Portrait of the Artist As a Young Man (Wordsworth Classics) Portrait of the Artist As a Young Man by James Joyce


My rating: 5 of 5 stars
Portrait of the Artist as a Young Man told us a story about and through the lens of an Irish boy, named Stephen Dedalus. It's pretty much an autobiography of the adolescence life of Stephen Dedalus who would reappear in one of Joyce's phenomenal work, Ulysses. Stephen Dedalus' character, more or less, was based on Joyce himself as a lot of autobiographical details in Portrait matched with his life.

Some of the reviews I read protesting about the lack of time and place sequential description. As I read the book pages by pages, I come to this sense that time and place is an outer world and in this matter, they are less important than what's going on in Dedalus' mind. Joyce made a point through Dedalus.

- Yes, Stephen said, smiling in spite of himself at Cranly's way of remembering thoughts in connexion with places


In other words, Portrait focused on psychological reality. This is the strongest point of this book. How Dedalus' restless mind saw the world, wandered, stumbled upon nets of his family, politics, and religion, encountered what-so-called sin, felt impure and fear of hell and God, forced himself to display obedience to have his soul lifted up, but in the end he realized he was prisoner of culture and what the society expected him to be. This revelation came to him after he was being rewarded for his obedience. He imagined himself to be the most respectable figure but weary of obedience. Then he found what freed him the most, who he was, what he wanted to do, and for what he would stumble and fall.

As a young man, he saw through the world through the glasses of philosophers. Many of them were Catholic's thinker and this was 'normal' because as a young man, he had not yet experienced life on his own. However, this book signified Dedalus' departure from what had restrained him for most.

A well-written book, using magnificent and beautiful words, complex enough, profound, and daring in poetic way. I love love love this book and can't wait to read Ulysses. Hope that I'll find a copy in bookstores.

Regarding Joyce: is this a man whom Jung diagnosed as a 'diving' schizophrenics? He swam in the 'yellow' border of madness and achieved profoundness & beauty. 'Yellow' hell!
View all my reviews >>



...Ulysses
I've found a new way
Well, I've found a new way, baby

Oh, oh then suddenly you know
You're never going home...

Thought for the day: what a trade!



Why are we being frugal to praise people and generous to mock? Does an act of uplifting people threat our self-worth, while an act to trash people around legitimates our self-concept? In other words, we have to commit one of the seven deadly sin, pride it is, to feel good about ourselves. What a trade!


image, courtesy of www.chorleoni.org

Thought for the day: An imperfect love

An imperfect love, but that imperfection is the reason why love is love and why love is beautiful.




Title: "A Little Soul"
Artist: Pulp
Album: This is Hardcore


Hey man,
how come you treat your woman so bad?
That's not the way you do it. No, no, no..
you shouldn't do it like that.
I could show you how to do it right.
I used to practice every night on my wife now she's gone. Yeah, she's gone.

You see your mother and me
we never got along that way you see.
I'd love to help you but everybody's telling me you look like me
but please don't turn out like me.
You look like me
but you're not like me I know.
I had one, two, three, four shots of happiness.
I look like a big man but I've only got a little soul.
I only got a little soul.

Yeah, I wish I could be an example.
Wish I could say I stood up for you and
fought for what was right. But I never did.
I just wore my trenchcoat and stayed out every single night.
You think I'm joking? Well, try me. Yeah, try me. Yeah come on, try me tonight.
I did what was wrong though I knew what was right.
I've got no wisdom that I want to pass on. Just don't hang 'round here, no,
I'm telling you son. You don't wanna know me.
Oh, that's just what everybody's telling me.

& everybody's telling me you look like me but please don't turn into me.
You look like me but you're not like me I hope.
I have run away from the one thing that I ever made.
Now I only wish that I could show you - wish I could show a little soul.
Wish I could show a little soul. [x3]


lyrics, courtesy of www.panstudio.com

'Ketika Jari-jari Bunga Terbuka'

saguaro cactus
image, courtesy of phoenix.about.com

ketika jari-jari bunga terbuka
mendadak terasa: betapa sengit
cinta Kita
cahaya bagai kabut, kabut cahaya; di langit

menyisih awan hari ini; di bumi
meriap sepi yang purba;
ketika kamarau terasa ke bulu-bulu mata, suatu pagi
di sayap kupu-kupu, di sayap warna

swara burung di ranting-ranting cuaca,
bulu-bulu cahaya: betapa parah
cinta Kita
mabuk berjalan, di antara jerit bunga-bunga yang rekah

(Sapardi Djoko Damono, 1968)


Kawan-kawan, menyambut malam Takbiran, selangkah menuju hari Kemenangan, atas nama cinta, saya mohon maaf lahir dan batin.

Selamat hari Lebaran, kemenangan atas hawa nafsu dan angkara, dan mari kita memulai lagi hidup kita dengan nafas cinta.

Kuis Liburan



Selama satu bulan puasa ini, teman-teman saya di twitter setiap hari mengadakan kuis kecil-kecilan. Kalau biasanya saya yang ikut kuis, sekarang saya mau bikin kuis. Meski cuma iseng, supaya menarik, kuis ini ada hadiahnya. Gratis. Tidak pakai uang pendaftaran, tidak pakai tetek bengek. Cukup jawab 10 pertanyaan ini saja. :)

Untuk menjaga kerahasiaan jawaban, jawabannya dikirim saja ke e-mail saya di candrakirana@windowslive.com. Yang paling cepat menjawab dan tentu saja benar jawabannya akan dipilih sebagai pemenang. Tapi rasanya tidak adil kalau waktunya tidak terbatas karena tidak bisa membedakan antara orang yang tahu dengan orang yang baru googling. Maka ada batas waktunya, yaitu 2 jam dari sekarang (pk. 20.30 WIB). E-mail yang masuk lewat dari pk 20.30, dianggap tidak sah.

Pertanyaan:

1. Pada tahun berapakah Balai Pustaka pertama kali menerbitkan kumpulan sajak Perahu Kertas?

- 1983



2. (lihat pertanyaan di atas) Siapa penulis kumpulan sajak tersebut?

- Sapardi Djoko Damono



3. Apa judul lagu lansiran The Beatles yang di-ban oleh BBC karena dianggap mempromosikan dan bahkan 'mengkodekan' obat terlarang LSD?

- Lucy in the Sky with Diamonds dari album Sgt. Pepper's Lonely Hearts Band. John Lennon menyangkal tuduhan LSD itu dan menyatakan bahwa lagu itu terinspirasi dari gambar anaknya (Julian Lennon)



4. Dalam kisah Mahabharata, apa nama samaran yang digunakan oleh istri-bersama Pandawa ketika sedang menjalani masa pengasingan?

- Sairandri, nama aslinya Drupadi. Drupadi disunting oleh Arjuna setelah memenangkan sebuah kontes memanah di Kerajaan Panchala. Namun karena Pandawa telah bersumpah untuk membagi segala sesuatu yang mereka miliki, mereka berlima menikahi Drupadi. Namun dalam versi Jawa yang mendapat pengaruh Islam, seorang istri memiliki 5 suami dianggap 'menyalahi moral'. Oleh karena itu dalam versi wayang Jawa, diceritakan bahwa Drupadi adalah istri dari Yudhistira saja (bukan kelima Pandawa).



5. Di manakah lokasi masjid yang pada masa Perang Dunia II dijadikan gudang obat(ralat: gudang obat, bukan gudang senjata, thanks mbah ngasmuni), namun dibuka lagi atas permintaan Presiden Soekarno pada tahun 1956?

- St. Petersburg di Rusia, sering juga disebut Masjid Biru (Blue Mosque). Masjid itu dijadikan warehouse oleh rezim komunis. Presiden Soekarno melihat masjid yang ditutup itu saat sedang berkunjung ke Rusia dan meminta Rusia untuk membukanya kembali. 10 hari setelah kunjungan Presiden Soekarno, masjid itu dibuka lagi.



6. Di manakah seorang demonstran, yang terkenal dengan ucapannya "berbahagialah yang mati muda, menghembuskan nafas terakhir?

- Puncak Gunung Semeru (Mahameru), ia meninggal karena gas beracun di gunung tersebut. Soe Hok Gie adalah seorang pecinta alam, dia ikut mendirikan Mapala UI.



7. Dalam perang Bharatayudha, siapakah saudara (satu ibu) Pandawa yang berdiri di pihak Kurawa dan bersumpah untuk membunuh Arjuna?

- Karna (anak dari Batara Surya). Resi Durwasa menghadiahkan mantra pada Dewi Kunti. Mantra suci ini akan membantu apabila Dewi Kunti ingin memanggil Dewa dan punya anak yang keagungannya sama dengan dewa itu. Dewi Kunti ingin tahu dan ia 'iseng' mencoba kekuatan mantra itu sambil memanggil Batara Surya dan Dewi Kunti mengandung anak Batara Surya. Karena kesaktian Batara Surya, Dewi Kunti langsung melahirkan anak itu. Anak itu dinamakan 'Karna' oleh Surya karena dilahirkan melalui telinga. Walau punya anak dari Dewa, Dewi Kunti malu karena belum menikah. Oleh karena itu, Dewi Kunti menaruh anak itu di kotak tertutup dan dihanyutkannyalah di sungai dan akhirnya Karna dipungut oleh seorang sais kereta kuda. Dalam perjalanan hidupnya, ia dibantu dan dinaungi oleh Kurawa maka ketika berlangsung perang Bharatayudha, Karna memilih untuk berdiri di pihak Kurawa.



8. Siapakah nama utusan Mongol yang telinganya dipotong atas perintah Raja Kertanegara?

- Meng Khi. Utusan itu dipotong telinganya sebagai tanda penolakan Kertanegara untuk tunduk di bawah kekuasaan Mongol.



9. Pada tahun 2004, Celine Dion pernah menyanyikan ulang lagu milik salah seorang anggota The Beatles sebagai salah satu single-nya. Apakah judul lagu tersebut?

- Beautiful Boy (Darling Boy), ditulis oleh John Lennon untuk anaknya Sean Lennon.



10. The Pulp, salah satu band alternative rock dari Inggris pernah menulis lagu yang mengisahkan impian "persahabatan" dengan seorang gadis bernama Deborah dan harapan untuk saling bertemu di tahun 2000. Apa judul lagu itu dan dari album manakah?

Disco 2000, dari album Different Class.



PEMENANGNYA:

Mbah Ngasmuni!



Congratulation! Akan kuhubungi segera lewat e-mail untuk mendiskusikan hadiahnya. :)

Terima kasih atas partisipasinya.

Liburan "Sendiri"


image, taken from here

Di kota metropolitan ini, kesibukan menyesaki setiap sudut sampai-sampai hari Minggu pun bukan hari libur melainkan hari pelampiasan untuk tidur. Namun menjelang hari raya (baca: Lebaran), hawa-hawa liburan benar-benar menjalari jantung ibu kota ini. Saya yang biasanya menghabiskan waktu seenaknya pun merasakannya. Hari-hari ini lebih terasa santai dari hari-hari sebelumnya yang tampak santai juga. Maklum beberapa bulan ini saya merdeka dengan waktu saya dan keinginan saya, tapi tidak dengan pikiran-pikiran saya yang makin banyak pertanyaan dan makin meresahkan. Namun ketika bangun pagi ini, pikiran saya terasa ringan. Untunglah badan saya tidak, sebab jika tubuh saya ikut-ikutan, saya curiga saya menyobek tiket "liburan abadi" tanpa sengaja.

Kalau dulu-dulu sewaktu masih sekolah, liburan bagi saya menyiksa karena saya merasa kehilangan jati diri. Saya tidak tahu mau melakukan, tanpa rencana, dan semua itu bagi saya cukup membingungkan dan bikin frustrasi. Saya terlalu terbiasa dengan kesibukan saya sampai-sampai saya asing dengan diri saya sendiri. Saat liburan, saya paling sering bersama dengan diri saya, tanpa embel-embel dan ketidaknyamanan itu menyerang di saat keriaan dengan teman-teman berakhir. Di saat liburan seperti ini, teman-teman saya banyak yang pulang kampung. Sedangkan saya? Kampung saya di Jakarta. Satu-satunya yang bisa saya nikmati adalah kelengangan jalan Jakarta.

Kesibukan benar-benar merenggut perhatian saya, mengalihkan saya dari teman saya yang terbaik (baca: diri sendiri). Liburan seharusnya dimaknai bukan hanya sebatas pergi melancong, tidur sepuas-puasnya, makan, nonton, dan sebagainya. Menurut saya, liburan adalah saat untuk berhenti dari semua kesibukan di luar diri. Liburan adalah saat kita menikmati kebersamaan dengan diri sendiri, selain dengan orang-orang yang kita cintai (baca: keluarga, sahabat). Kita punya waktu untuk mengenal lagi siapa kita, apa yang kita rasakan, pikirkan, inginkan, dan sebagainya. Sudah saatnya buku harian kita diisi dengan dialog diri, bukan cerita tentang aktivitas kita di luar sana, kesibukan kerja, teman-teman kantor yang lucu ataupun menyebalkan, dan sebagainya.

Sama halnya seperti kita membangun hubungan cinta dengan pasangan. Jika komunikasi dengan pasangan hanya diisi oleh keluhan tentang pekerjaan, relasi dengan teman, cerita orang lain, dan sebagainya, hubungan itu pun akan terasa hambar. Inti cinta yang ingin mengenal dan memahami tidak kita sentuh dalam komunikasi. Dulu kita bilang pada pasangan kita, "saat kita pertama kali bertemu, aku seperti sudah lama mengenal kamu". Namun setelah beberapa lama kemudian, kita bilang lagi, menyangkal omongan kita sendiri, "sudah sekian lama kita berhubungan, tapi makin lama aku merasa tidak kenal kamu." Kalau kata orang, setrumannya sudah habis. Ya gimana tidak habis, wong listriknya dimatikan? Masih untung kalau cuma pacar, soalnya seperti lagu-lagu cinta hits sepanjang masa, pacar itu bisa datang dan pergi. Bisa diganti, meski tidak semudah berganti baju. Tapi bagaimana kalau keburu tandatangan kontrak pernikahan dan punya anak? Permasalahan bibit bebet bobot waktu kita masih bujangan, berganti dengan pertimbangan bagaimana nasib siapa-siapa ke depannya. Dengan kata lain, persoalan ganti-ganti tidak semudah asal tanda tangan surat baru, lalu selesai.

Menurut saya, sebelum kita tanda tangan kontrak di atas kertas, kita sudah tanda tangan kontrak duluan sejak sperma ayah dan sel telur ibu kita bertemu. Sejak kita "ada", kita sebenarnya sudah menikah. Bukan dengan ayah, bukan dengan ibu, bukan dengan dokter, mak comblang, dan sebagainya, melainkan diri kita sendiri. Kalau kita merasa sebal setiap kali melihat suami/istri kita, kontrak 'selamat menempuh hidup baru' akan terasa seperti kontrak kematian. Merasa terasing, benci dengan dunia, dan perang sebenarnya disebabkan oleh perkawinan kita yang retak. Yang membuat kita merasa terasing dan tidak punya teman bukanlah orang lain melainkan diri kita sendiri. Demikian pula dengan benci. Orang lain cuma proyeksi. Karena kita tidak mau menengok pada suami/istri pertama kita, ia "terpaksa" memutar film kesepiannya pada orang lain. Kebencian pada diri merupakan awal dari destruksi kehidupan, mulai dari manipulasi, propaganda, kekerasan, dan perang. Saya pikir, hidup kita terlalu lama dan terlalu sebentar untuk kita lalui dengan kegetiran semacam itu. Maka, hari ini, saya menikmati liburan dengan diri saya sendiri. Saya biarkan saja diri saya menuntun ke mana saya harus melangkah, ikut-ikut, dan "pasrah" saja. Tanpa pusing. Tanpa embel-embel. Tanpa bete. Tanpa rencana.


Thought for the day: Failure



Failure is a path that can reflect the way to get to the right track. They who hides behind 'what's right' will be lost. They who fears to fail won't find anything and even themselves. Therefore, let's all dismantle our fear and just jump! Enjoy the ride and see where life takes you.

"Life is what happens while you are busy making other plans" (John Lennon)

WHAM! BAM! POETRY SLAM!



Starting this coming October, your Tuesday nights will never be the same. In an attempt to restart the combustible cultural machine left idle to rust in the garage for so long Anomali Coffee and MC Drew W want to welcome you to a night of poetic performances – a night of spoken word poetry. With the unleashing of the first ever Wham! Bam! Poetry Slam! on an unsuspecting city, some of the finest poetic talents will creep out from the darkest nooks of the creative corners of Jakarta, to enter a competition in which only one will emerge as champion.

If you are unfamiliar with the Poetry Slam! format – here is the skinny on the fat:

1. It’s open to the public so everyone has the chance to read a least one poem – this includes you!
2. Poems may not be longer than 3 minutes – anything over will be deducted points
3. No props or musical instruments are allowed
4. Your poem must be an original, written by you the poet within the last 12 months
5. 5 judges, chosen from the audience, will give scores from 1-10 after each poem
6. Judges will base their scores on both the poem and performance of the poet
7. Audience members are allowed to try and influence the judges’ scores
8. Judges should try not to be influenced by audience members
9. There will be 3 elimination rounds – so every poet should bring 3 poems in the case that they reach the championship round
10. Poets are encouraged to memorize their poems rather than read them


If you are still unclear on what a Poetry Slam! is and how poems are delivered, follow these YouTube links for some boggle-eyed merriment:



Check out http://www.youtube.com/watch?v=DFaY8zpwrEE&feature=related to find more about what exactly a poetry slam is.



Check out http://www.youtube.com/watch?v=-uAwh5ZAgVY&feature=related to see a woman wax lyrical.



Check out http://www.youtube.com/watch?v=tpog1_NFd2Q to see a guy who’s got a message.



Check out http://www.youtube.com/watch?v=iHZ6zVG6-6E to see a woman who holds nothing back (adult content advisory).



Now, put your pen to the paper and kick off your caper of poetic persuasion for this fine occasion or if poet you’re not, yet you like it a lot, you are welcome to come and just have some fun.



Where: Anomali Coffee, Jl. Senopati #35 Kebayoran Baru

When: October 28th from 8-11 p.m.

Who: Open to the public who may perform or just watch


For more information, click here

Thought for the day: Words



"The wound of a word hurts more than the wound of a knife."
(Paulo Coelho)

Dikira Made in Japan (2)


Dalam tulisan saya sebelumnya, saya menyinggung bahwa suatu eksperimen tidak sahih hasilnya kalau cuma dilakukan sekali tanpa manipulasi kondisi yang variatif. Eksperimen kedua ini dilakukan pada hari yang sama, pada sore hari. Hal ini sebetulnya di luar perencanaan karena sekali lagi, kebetulan saja ada kesempatannya.


EKSPERIMEN 2
Subjek: Supir Taksi
Lokasi: Jakarta Selatan


Begitu urusan saya selesai, saya ingin pulang. Saat menunggu bus, bus jurusan ke rumah saya akhirnya tiba. Namun bus tersebut sudah penuh berdesakan dengan penumpang dan saya terlalu lelah untuk berdiri sepanjang perjalanan yang belum tentu mulus. Oleh karena itu, saya melambaikan tangan di kawasan Blok M pada armada taksi biru laut. Kemudian taksi itu berhenti, saya melangkahkan kaki masuk ke dalam taksi tersebut, duduk, menutup pintu taksi itu. Lalu saya mengucap salam "Selamat sore", seperti biasa, dan saya menyebutkan arah tujuan saya.

Perjalanan cukup lancar walaupun macet di beberapa ruas jalan dan supir taksinya pun tampak tenang-tenang saja. Tidak menggerutu, juga tidak ada tanda-tanda ia akan mengadakan pembicaraan. Perfect, saya cuma kepingin menikmati momen perjalanan ini dengan tenang. Namun sekitar setengah jam kemudian, tiba-tiba ia mengajak saya mengobrol, dengan pertanyaan pembuka

"Orang Jepang atau Korea?"

Hm, lagi. Tapi ada yang berbeda di sini. Pertanyaannya spesifik, dan dari nada pertanyaannya, saya menangkap bahwa ia cukup yakin dengan tebakannya. Pikirnya, kalau saya bukan orang Jepang, pasti orang Korea. Ketika saya hendak menjawab, sontak saya dirundung rasa bersalah karena membohongi supir taksi tadi siang. Kali ini saya harus melakukan "penebusan dosa". Make an amend.

"Bukan."

Setelah mengucapkannya, beban saya sedikit terangkat. Lebih baik jujur saja daripada rasa bersalahnya bertambah. Karena sama-sama supir taksi, saya berharap "dosa" saya sedikit berkurang beratnya. Bohong sekali bukan berarti harus bohong terus-menerus. Namun ternyata tidak segampang itu saya lepas,

"Ah masak?"

Kening saya berkerut. Baru kali ini ketika saya jujur, ketulusan hati saya menjawab dipertanyakan. Saya pikir mungkin dia cuma berkelakar. Dengan tenang, saya menjawab,

"Bener kok Pak. Saya lahir di sini, jadi saya orang Jakarta."

Lalu supir taksi itu diam dan tampak di matanya ada sorot kebingungan. Ia melihat ke cermin di tengah dan tampak mengamat-ngamati saya. Kali itu, saya menahan rasa curiga saya karena siang tadi, dalam hati, saya menuduh pak supir lugu itu yang bukan-bukan. Saya biarkan saja ia melakukannya, mungkin ia ingin melihat apakah sorot mata saya jujur. Saya berusaha sesantai mungkin dan sedikit lega ketika ia diam dan tampak tidak ingin bertanya lagi. Namun, saya salah. Sekitar lima menit kemudian, ia bertanya lagi,

"Kalau orang sini, pasti tahu dong Sekolah Negeri di [daerah rumah saya] no berapa. No berapa coba?"

Saya makin mengernyitkan dahi dan melongo. Kejujuran saya diragukan bukan dengan pertanyaan, tapi dengan tantangan. Terus terang, saya sedikit tersinggung. Namun saya pikir, ada baiknya saya coba bersabar lagi karena mungkin ia cuma ingin bersikap ramah walaupun pengertiannya tentang adat kesopanan jelas berbeda dengan saya.

"Hm... Di deket daerah rumah saya, tidak ada sekolah negeri Pak."

Tapi kesopanan saya dicobai lagi,

"Ah masa?" (senyum-senyum)

Senyum meragukan dan sedikit melecehkan, sepenglihatan mata saya yang mungkin siwer karena marah. I was officially pissed off. Saya sudah kehabisan kata-kata dan stok keramahan untuk perlakuan seperti ini. Desis saya dalam hati, "Saya orang mana, bukan urusan situ sama sekali. Kalau nggak mau dengar jawaban yang sebenernya, ngapain tanya." Dengan ini, saya hapus senyum saya dan memberikan pandangan yang cukup sengit. Untunglah, supir taksi itu urung bertanya lagi. Entah karena sudah sangat dekat dengan rumah saya, atau karena ia menangkap sinyal negatif saya. Pada akhirnya, saya membayar dengan uang yang dipas-paskan, tanpa tips. "You have crossed the line, sir" gumam saya. Mungkin ia tidak dengar, mungkin ia dengar tapi tidak mengerti, atau mungkin sekali dia dengar dan paham maksud kata-kata saya. Saya segera masuk ke rumah dan malas menengok untuk membaca raut mukanya.

Kejadian ini berlangsung sekitar setahun yang lalu. Sudah cukup lama, tapi saya sekali-kali teringat karena kejadian ini unik dan terlalu banyak faktor kebetulannya. Pengalaman percaya dan diragukan terjadi pada satu hari yang sama dan hanya dalam hitungan jam. Saya merunut-runut kembali, apa sebenarnya yang terjadi. Dalam eksperimen pertama, saya tidak sengaja menobatkan supir taksi lugu itu jadi "korban" eksperimen saya. Walaupun pengalaman itu lucu, saya merasa bersalah dan rasa bersalah itu ingin saya tebus pada supir taksi kedua. Saya berharap, dengan jujur, saya bisa terbebas dari "dosa". Namun kenyataannya saya malah dipersulit.

Setelah sekian lama misuh-misuh soal kelakuan ajaib supir taksi itu, akhirnya saya berpikir-pikir lagi. Jangan-jangan saya kena tulah. Orang yang bohong akan sulit dipercaya meski cuma sekali-kali dan yang saya bohongi supir taksi yang berbeda. Seberapa besar kemungkinan supir taksi dari kedua armada yang berbeda, dalam hitungan tiga jam, sempat mendiskusikan penumpang "jadi-jadian" ini dan tahu bahwa mereka mengangkut penumpang yang sama?

Moral of the story: Tidak ada yang lebih mengaburkan daripada berbohong sebab meski prasangka itu menipu, namun terjadinya lebih sering otomatis atau mendahului kesadaran. Sebaliknya dalam berbohong, semuanya dilakukan dengan sadar sepenuh-penuhnya. I learn my lesson, in quite a hard way.

Sejak itu, ketika ada orang yang bertanya,

"Japanese?",

tanpa ragu saya akan menjawab,

"I'm not made in Japan, I'm African".

Franz Ferdinand - Lucid Dreams



"...I’ll dial Alexandria if you dial into Ithaca, South fisher, German bite, I skate on the world tonight..."

The Madness of Being "Normal" (from Paulo Coelho's blog)



Two years ago, I asked some friends the rules of normality. Let’s list more rules on how society expect us to behave, so not only can we leave a legacy to the next generation (see? That’s how THEY wanted us to become!) but we also can be very attentive in not following patterns that other are always trying to impose on us.

www.paulocoelhoblog.com


There are three definitions of normality. First, it goes with what majority does. Second, as long as you don’t bother others. Third, law.

In my country, first and third definition win. This is only my opinion, you could object that and I'm opened for it.

These, in my opinion, portray what normalcy goes in my society (MADNESS), they're not something to be dissed about, just for a good day laugh (ironically) and a starting point to decide whether you want to go along the ride of what-so-called normal, or to become an agent of change.

Here they are:

1. You ought to have a religion. In Indonesia, there are five religions that our government stated in their laws: Islam, Buddha, Hindu, Catholic, Christian. We have to choose one of them and they type our religion in our ID. Once, my friend (an artist) wanted to make a citizen ID and refused to choose between the 5, simply because he didn’t belong in those religions. However, the official still put one of the 5 in the ID. My friend had to tape the religion section in his ID and wrote over it: “Artisto Liberte”.

2. Women: study hard, go to college, graduate, work (to find a guy), then get married. If you’re over 25 and you haven’t gotten married, they will push you. If at that time you don’t have a boyfriend, they will insist to find one for you. After getting married, have children. If you haven’t conceived after getting married for one year, they will push you to have children as soon as possible, offering any possible remedy and medicine to “cure” your womb.

3. It’s not polite to refuse people’s offer. Say, “maybe another time”, instead of “I’m not interested”

4. Working means white-suit working labors. Art doesn’t count, generally.

5. Having children only possible if you are married. You are considered nuts to have a child (either by conceiving or adopting) without a husband.

6. Men can have more than one wife (polygamy) and people may think that they are building a small kingdom, and it’s praised. Meanwhile, women having more than one men, are called sluts.

7. You can only have a romantic relationship with other sexes. LBGT is considered a disease here.

8. Be busy. No matter what. Spending time with yourself with no books, TV, internet, etc., they may think you as a lazy person and warn you that by doing that, you’re allowing devil to possess you.

9. Follow fashion. Buy what your friends are crazy about, even though it only ends up in your closet and you never have guts to wear it.

10. Having blackberry. Use blackberry any time, in any occasion including social gathering, family time, watching movies together with your friend. Anytime. Don’t mind people talking to you, BB is more important than them.

11. Following dreams. They may think you as a dreamer with no real plan, lack of consideration, “short-sighted”, and are walking the path to be slaughtered with disappointment. Life is only when you follow the normalcy rules.

12. There are certain religions considered “appropriate” for every race. Example: Chinese must be Christian, Catholic, or Buddha, and ill-portrayed if Chinese choose Islam, even though history told us that Chinese race participated actively in spreading Islam in Indonesia.

13. You don’t argue with religious leader. Once in a seminar, I argued about politics with a priest and people booed at me, thinking that I was rude (while in fact, the priest and me were enjoying the argument).

14. Women talk only about gossips, men debate on politics and sports.

15. Being angry for anything that people say it is a threat, though the “threat” has no logical based and may be a hoax.

16. Possessive about the cultural heritage though you actually don't love it. Indonesia and Malaysia are having arguments on who has who. When they read a news stated that Malaysia put Pendet Dance from Bali (Indonesia) in their visit year advertisement, people expected us to be angry and dissed Malaysia as rude as possible, though only a few of them that know, love, and learn about Pendet Dance.

17. Sex conversation is exclusive only for men. Women having discussion like sex and the city, wow, they may think that you’re slut that want to sleep around with anyone anytime.

18. Getting married only with people from the same religion. If you don’t, well, you have to get married abroad and be prepared that your child may not have an Indonesian citizenship, because Indonesia doesn’t accommodate people from different religion to get married.

19. Being assertive is rude.

20. Being obsessed to have white skin though naturally our skin is brown. White skin = pretty = guaranteed to be loved (in other words, you have to be have a fair skin to get people to love you, ironic).

21. Be “morality police” anytime anywhere. Our parliament is in the process of writing a pornography / "pornoaction" law. They are holding a hearing to determine which CULTURE IS CONSIDERED AS PORN. By culture, I mean tribal dance, tribal clothe, etc. Soon, maybe, you may not see people wearing bikini in a pool. We may have to wear clothing four size too big. They have just issued a bill for cinematography. The bill is designed so outlandish and restrictive that we are only allowed to produce films only to teach in vagueness, and are not allowed to portrayed harsh reality such as racial prejudice, etc.

22. Wanna stay in trend? Use angry words (swearing) anytime, anywhere, to anyone despite of the absence of strong logical basis or reason. Find something or even someone to be pissed on. The harsher you get, the higher you'll go. Trash in on social networking site, they will crown you as a go-to person to stay updated.

Dikira Made in Japan (1)



"Japanese?"

Bukan sekali dua kali saya ditanya seperti itu. Entah apanya dari saya yang mengesankan saya kelihatan dari negeri Matahari Terbit itu. Satu-satunya yang paling dekat dengan matahari, cuma minyak di jidat saya yang berkilap sinarnya. Terus terang saya tidak tahu harus merasa bagaimana kalau dikira bukan dari sini. Padahal saya tahu jelas, saya hasil main cinta-cintaan bapak dan ibu saya di Jakarta. Lahirnya juga di Jakarta. Budaya suku saya sudah luntur di generasi saya dan saya termasuk yang murtad pindah haluan, alias lebih senang belajar budaya Jawa daripada budaya suku sendiri. Tidak jelas sebab musababnya. Yang jelas, Asia Timur jauh dari saya.

Dikira made in Japan, terus terang, saya sendiri bingung mesti merasa apa. Bangga, tidak juga. Geli, mungkin. Soalnya saya beberapa kali dapat perlakuan yang sedikit lebih istimewa dari supir taksi. Dibukakan pintu, dipanggil "miss", dimaafkan kalau tidak tahu jalan. Mungkin mereka mengira bawa turis jalan-jalan dan antusias ingin menunjukkan negara kelahirannya. Harusnya saya senang, tapi tidak juga, soalnya kadang-kadang saya merasa disangkal identitas ke-Indonesia-an saya. Akan tetapi, dalam perkara salah kaprah dan mungkin kiprah ini, akhirnya secara kebetulan yang kelihatannya seperti dirancang-rancang, saya mengadakan eksperimen. Alasannya, cuma karena penasaran dan memang ada kesempatannya.


EKSPERIMEN 1
Subjek: Supir Taksi
Lokasi: Jakarta Selatan

Saya menyetop taksi berbadan putih di Jl. Jend. Sudirman. Kemudian saya mengucapkan salam, "selamat siang" dan menyebutkan tempat tujuan saya. Saat saya asik-asik menikmati AC mobil yang dingin, saya mulai memperhatikan gerak gerik aneh supir taksi itu. Dia melihat-lihat terus ke cermin, seakan-akan ingin menyelidiki. Dalam pikiran saya yang cukup dihantui tanda tanya, saya pikir dia merencanakan sesuatu yang aneh, perampokan misalnya. Dugaan ini sangat khas ibu saya karena dia orangnya cukup awas, untuk tidak mengatakan "parno". Ia sering membacakan cerita-cerita kriminalitas yang sering terjadi dalam taksi sehingga mau tak mau gambaran itu masuk ke otak saya. Saya dengan rasa masygul, berusaha untuk tenang dan melakukan tindakan pertama yang paling rasional, mengirim SMS yang berisi nama armada, nomor taksi, dan nama pengemudi pada pacar saya. Tapi dugaan saya terbukti salah dan begitu pula dugaan supir taksi itu.

Setelah beberapa lama bertarung dalam diam, supir taksi itu memecah keheningan yang mengubah curiga menjadi rasa geli.

"Dari Jepang?"

There it goes again. Rupanya tadi dia mungkin berpikir-pikir, mengira-ngira, takut salah sehingga ia curi-curi mengamati saya. Akhirnya mungkin ia tidak sabar sendiri dengan rasa ingin tahunya dan akhirnya ia memberanikan diri untuk bertanya pada saya. Biasanya akan saya jawab jujur. Tapi dalam pikiran kecil saya, saya ingin membalas rasa curiga saya yang kadaluarsa jadi malu. So I played along.

"Iya"

Saya bohong, atas nama pembalasan dan keisengan, kepingin tahu habis itu reaksinya gimana. Seperti orang yang baru menang lotere, dia bangga dengan dugaannya yang super tepat (yang padahal super salah). Kemudian ia berusaha untuk bercakap-cakap dengan saya. Namun selayaknya orang bohong yang tidak ingin ketahuan, saya cukup menjawab yang ditanyakan. Irit kata. Tapi sepertinya, ia tidak ingin menyerah dengan kebisuan sehingga ia berusaha agak keras untuk terus melemparkan pertanyaan.

"Kok bagus ya bahasa Indonesia nya? Sudah berapa lama di sini?"

Jawab saya, "Sepuluh tahun."

Kemudian ia mengangguk-ngangguk, "Pantesan bagus."

Lalu ia mulai bercerita soal dirinya yang pernah berkali-kali mengantar orang Jepang dan Korea. Saya pikir, ini biasa karena orang pasti ingin menciptakan kesan kalau ia mengenal sedikit bagian latar belakang orang yang baru ditemuinya itu. Wajar. Tapi yang ini cukup bikin saya terkejut dan terpingkal-pingkal dalam hati. Dari cerita soal tamu, sekarang berganti dengan persaingan di pool taksinya. Bapak ini mengaku pada saya, bahwa di antara teman-teman di pool-nya, dia paling sering mengantar orang Jepang dan teman-temannya sering bertanya serta meminta tips darinya. Ok, is it prestige? Namun rasa geli saya, tiba-tiba berubah panik.

"Kalau air bahasa Jepangnya apa ya, Miss? Saya pingin kasih tahu sedikit bahasa Jepang ke teman-teman saya."

Mampuslah. Apa ya. Saya pernah sedikit belajar bahasa Jepang tapi cuma sebentar. Ditambah panik, mana mungkin saya bisa mengingat yang sudah ditimbun di kepala saya begitu lama. Akhirnya, saya improvisasi.

"Tanaka"

Saya ambil saja nama orang Jepang yang paling sering saya temui di buku teks pelajaran bahasa Jepang saya dulu. Tinggal menambahkan bumbu kalau Tanaka nama yang populer di Jepang karena artinya air dan Jepang adalah negara kepulauan. Walaupun dia kelihatannya manggut-manggut percaya, saya panik. Bagaimana kalau dia tanya-tanya lagi dan saya benar-benar kehabisan akal untuk menjawab. Tapi untunglah saya sudah sampai tempat tujuan, langsung membayar, dan melipir, hilang ditelan pagar-pagar dan pohon.

Perasaan saya setelah kejadian itu, pertama-tama, lega karena saya terhindar dari pertanyaan-pertanyaan. Kedua, geli karena dia percaya dan juga karena kemungkinan yang bakal terjadi kalau ia cerita pada teman-temannya soal "tanaka", apa temannya juga ikut manggut-manggut atau mentertawakannya karena mereka sadar temannya yang lugu telah ditipu. Namun di antara emosi-emosi itu, saya juga merasa bersalah karena berbohong. Bagaimanapun berbohong itu tidak ada baik-baiknya, apalagi bohong saya cuma dilandasi iseng, tanpa alasan-alasan heroik, humanis, ataupun alasan berbau politis lainnya.

Walaupun tak luput dari sedikit cacat prestasi, inilah akhir dari eksperimen saya yang pertama. Sudah menjadi ketentuan umum, sebuah eksperimen tidak akan sahih kalau cuma sekali dan tidak ragam situasinya. Oleh karena itu, saya bereksperimen untuk kedua kalinya, dengan manipulasi yang berbeda. Soal ini akan saya kisahkan di tulisan saya berikutnya, sebab cerita harus diumbar pada ritme yang tepat supaya tidak aus jadinya. :D

image, courtesy of dryicons.com

Centhini - Kekasih yang Tersembunyi

Centhini: Kekasih yang Tersembunyi Centhini: Kekasih yang Tersembunyi by Elizabeth D. Inandiak


My rating: 4 of 5 stars

Pemaparan yang indah untuk Centhini. Tadinya saya pikir ini dari naskah asli tapi setelah saya baca keterangan dari penulis, ternyata lebih tepat disebut sebagai interpretasi penulis dari Serat Centhini. Serat Centhini yang asli rupanya terpotong-potong naskahnya karena masyarakat pada jaman dulu hafal dengan cerita yang dimaksud. Namun makin lama, generasi mudanya sudah tidak terlalu akrab lagi dengan hikayat-hikayat ini.

Interpretasi yang menarik dengan pertimbangan yang cukup matang dari penulis. Saya menangkap kesan penulis belajar banyak soal kebudayaan Jawa. Beberapa cerita peperangan mirip Babad Tanah Jawi dan ternyata memang diambil sebagian dari situ.

Terus terang saya tergerak oleh "empat puluh malam dan satu hujan". Amongraga dan Tembangraras saling menembang dan membuka rahasia tentang hidup, prahara, dan jalan Allah demi ilmu Kasampurnaan atau Kebahagiaan. Kata Amongraga pada Tembang Raras, "Cinta adalah Karya agung yang mengubah nafsu menjadi nafas. Itulah jalan kematian besar, kenikmatan di luar kenikmatan tubuh."

Di samping kesukaan hati saya pada Centhini, saya kurang setuju dengan "penggantian" sebagian cerita dari Serat Centhini. Dalam Serat Centhini yang asli, diceritakan Nyi Rara Kidul menyanyikan tembang rindu untuk Sultan Agung. Sedangkan dalam interpretasi penulis, posisi Nyi Rara Kidul diganti Sultan Agung. Jadi Sultan Agung lah yang diceritakan sakit rindu pada Ratu Pantai Selatan itu. Saya senang untuk mengetahui sudut pandang penulis. Interpretasi menjadikannya lebih kaya. Namun saya masih sedikit berharap kesesuaian dengan naskah asli lebih dijaga dan interpretasi digunakan untuk melengkapi "jembatan" yang hilang.

View all my reviews >>