Dikira Made in Japan (1)



"Japanese?"

Bukan sekali dua kali saya ditanya seperti itu. Entah apanya dari saya yang mengesankan saya kelihatan dari negeri Matahari Terbit itu. Satu-satunya yang paling dekat dengan matahari, cuma minyak di jidat saya yang berkilap sinarnya. Terus terang saya tidak tahu harus merasa bagaimana kalau dikira bukan dari sini. Padahal saya tahu jelas, saya hasil main cinta-cintaan bapak dan ibu saya di Jakarta. Lahirnya juga di Jakarta. Budaya suku saya sudah luntur di generasi saya dan saya termasuk yang murtad pindah haluan, alias lebih senang belajar budaya Jawa daripada budaya suku sendiri. Tidak jelas sebab musababnya. Yang jelas, Asia Timur jauh dari saya.

Dikira made in Japan, terus terang, saya sendiri bingung mesti merasa apa. Bangga, tidak juga. Geli, mungkin. Soalnya saya beberapa kali dapat perlakuan yang sedikit lebih istimewa dari supir taksi. Dibukakan pintu, dipanggil "miss", dimaafkan kalau tidak tahu jalan. Mungkin mereka mengira bawa turis jalan-jalan dan antusias ingin menunjukkan negara kelahirannya. Harusnya saya senang, tapi tidak juga, soalnya kadang-kadang saya merasa disangkal identitas ke-Indonesia-an saya. Akan tetapi, dalam perkara salah kaprah dan mungkin kiprah ini, akhirnya secara kebetulan yang kelihatannya seperti dirancang-rancang, saya mengadakan eksperimen. Alasannya, cuma karena penasaran dan memang ada kesempatannya.


EKSPERIMEN 1
Subjek: Supir Taksi
Lokasi: Jakarta Selatan

Saya menyetop taksi berbadan putih di Jl. Jend. Sudirman. Kemudian saya mengucapkan salam, "selamat siang" dan menyebutkan tempat tujuan saya. Saat saya asik-asik menikmati AC mobil yang dingin, saya mulai memperhatikan gerak gerik aneh supir taksi itu. Dia melihat-lihat terus ke cermin, seakan-akan ingin menyelidiki. Dalam pikiran saya yang cukup dihantui tanda tanya, saya pikir dia merencanakan sesuatu yang aneh, perampokan misalnya. Dugaan ini sangat khas ibu saya karena dia orangnya cukup awas, untuk tidak mengatakan "parno". Ia sering membacakan cerita-cerita kriminalitas yang sering terjadi dalam taksi sehingga mau tak mau gambaran itu masuk ke otak saya. Saya dengan rasa masygul, berusaha untuk tenang dan melakukan tindakan pertama yang paling rasional, mengirim SMS yang berisi nama armada, nomor taksi, dan nama pengemudi pada pacar saya. Tapi dugaan saya terbukti salah dan begitu pula dugaan supir taksi itu.

Setelah beberapa lama bertarung dalam diam, supir taksi itu memecah keheningan yang mengubah curiga menjadi rasa geli.

"Dari Jepang?"

There it goes again. Rupanya tadi dia mungkin berpikir-pikir, mengira-ngira, takut salah sehingga ia curi-curi mengamati saya. Akhirnya mungkin ia tidak sabar sendiri dengan rasa ingin tahunya dan akhirnya ia memberanikan diri untuk bertanya pada saya. Biasanya akan saya jawab jujur. Tapi dalam pikiran kecil saya, saya ingin membalas rasa curiga saya yang kadaluarsa jadi malu. So I played along.

"Iya"

Saya bohong, atas nama pembalasan dan keisengan, kepingin tahu habis itu reaksinya gimana. Seperti orang yang baru menang lotere, dia bangga dengan dugaannya yang super tepat (yang padahal super salah). Kemudian ia berusaha untuk bercakap-cakap dengan saya. Namun selayaknya orang bohong yang tidak ingin ketahuan, saya cukup menjawab yang ditanyakan. Irit kata. Tapi sepertinya, ia tidak ingin menyerah dengan kebisuan sehingga ia berusaha agak keras untuk terus melemparkan pertanyaan.

"Kok bagus ya bahasa Indonesia nya? Sudah berapa lama di sini?"

Jawab saya, "Sepuluh tahun."

Kemudian ia mengangguk-ngangguk, "Pantesan bagus."

Lalu ia mulai bercerita soal dirinya yang pernah berkali-kali mengantar orang Jepang dan Korea. Saya pikir, ini biasa karena orang pasti ingin menciptakan kesan kalau ia mengenal sedikit bagian latar belakang orang yang baru ditemuinya itu. Wajar. Tapi yang ini cukup bikin saya terkejut dan terpingkal-pingkal dalam hati. Dari cerita soal tamu, sekarang berganti dengan persaingan di pool taksinya. Bapak ini mengaku pada saya, bahwa di antara teman-teman di pool-nya, dia paling sering mengantar orang Jepang dan teman-temannya sering bertanya serta meminta tips darinya. Ok, is it prestige? Namun rasa geli saya, tiba-tiba berubah panik.

"Kalau air bahasa Jepangnya apa ya, Miss? Saya pingin kasih tahu sedikit bahasa Jepang ke teman-teman saya."

Mampuslah. Apa ya. Saya pernah sedikit belajar bahasa Jepang tapi cuma sebentar. Ditambah panik, mana mungkin saya bisa mengingat yang sudah ditimbun di kepala saya begitu lama. Akhirnya, saya improvisasi.

"Tanaka"

Saya ambil saja nama orang Jepang yang paling sering saya temui di buku teks pelajaran bahasa Jepang saya dulu. Tinggal menambahkan bumbu kalau Tanaka nama yang populer di Jepang karena artinya air dan Jepang adalah negara kepulauan. Walaupun dia kelihatannya manggut-manggut percaya, saya panik. Bagaimana kalau dia tanya-tanya lagi dan saya benar-benar kehabisan akal untuk menjawab. Tapi untunglah saya sudah sampai tempat tujuan, langsung membayar, dan melipir, hilang ditelan pagar-pagar dan pohon.

Perasaan saya setelah kejadian itu, pertama-tama, lega karena saya terhindar dari pertanyaan-pertanyaan. Kedua, geli karena dia percaya dan juga karena kemungkinan yang bakal terjadi kalau ia cerita pada teman-temannya soal "tanaka", apa temannya juga ikut manggut-manggut atau mentertawakannya karena mereka sadar temannya yang lugu telah ditipu. Namun di antara emosi-emosi itu, saya juga merasa bersalah karena berbohong. Bagaimanapun berbohong itu tidak ada baik-baiknya, apalagi bohong saya cuma dilandasi iseng, tanpa alasan-alasan heroik, humanis, ataupun alasan berbau politis lainnya.

Walaupun tak luput dari sedikit cacat prestasi, inilah akhir dari eksperimen saya yang pertama. Sudah menjadi ketentuan umum, sebuah eksperimen tidak akan sahih kalau cuma sekali dan tidak ragam situasinya. Oleh karena itu, saya bereksperimen untuk kedua kalinya, dengan manipulasi yang berbeda. Soal ini akan saya kisahkan di tulisan saya berikutnya, sebab cerita harus diumbar pada ritme yang tepat supaya tidak aus jadinya. :D

image, courtesy of dryicons.com

0 comments: