Perawan ke Ginekolog: Disuruh Kawin


image, courtesy of www.feministing.com

Sebagai perempuan yang matang secara biologis namun berat badannya di bawah ambang normal, saya sering mengalami masalah dalam siklus menstruasi saya. Dulu, pacar saya pernah menyuruh saya untuk ke ginekolog. Akhirnya setelah berpikir-pikir panjang, saya mau pergi konsultasi. Namun orangtua saya, terutama ibu saya, sedikit menentang dan malah menyuruh saya ke dokter umum. Saya berargumen, dokter umum tidak punya peralatan dan metode pemeriksaan yang teliti untuk masalah rahim. Makanya, ada ginekolog, di samping dokter yang berurusan dengan kesehatan secara umum. Saya ingat, waktu itu ibu saya sempat mengadu pada ayah saya, “… dia kan masih gadis.” Ayah saya diam saja. Entah karena malas berargumen dengan ibu saya, atau ia menganggap seharusnya saya yang memutuskan. Sebagai orang yang dianggap dewasa, ayah saya memang sering menyerahkan keputusan di tangan saya. Karenanya, saya sangat senang untuk mengeksploitasi kesempatan itu untuk melakukan kesalahan serta belajar darinya. Sementara, ibu saya, sulit diyakinkan. Oleh karena itu, saya perlu mengadakan riset kecil-kecilan untuk bahan argumen saya, sebab bagaimanapun juga saat itu saya masih kuliah dan belum berpenghasilan sendiri. Dengan kata lain, saya masih butuh dukungan finansial dari orangtua saya.

Berbekal dengan niat itu, saya menelepon teman pacar saya dan dosen saya. Pertimbangan saya, teman pacar saya itu sudah dewasa dan pasti punya informasi soal ginekolog yang kredibel dan dosen saya itu orangnya cukup terbuka untuk ditanya-tanyai. Saya mengirim SMS ke mereka menanyakan referensi ginekolog. Reaksinya cukup mengejutkan, dan dari sisi yang lain, lucu juga. Yang merespon duluan adalah dosen saya. Tak saya duga, ia langsung menelepon saya dan menanyakan ada masalah apa. Dari nada suaranya, saya menangkap adanya kepanikan dan kekhawatiran. Ketika saya menjawab bahwa saya ingin memeriksakan siklus menstruasi saya yang tidak teratur, ia nampaknya lega dan ia minta waktu untuk bertanya pada istrinya. Sedangkan teman saya, seingat saya, ia tidak menjawab apa-apa. Tak lama kemudian, pacar saya menelepon dan ia cerita bahwa temannya mengirim SMS padanya, dan menanyakan, “Mau dibuang atau apa?” Saya cuma bisa geleng-geleng kepala dan maklum saja, mungkin karena dalam masyarakat kita, yang pergi ke ginekolog hanya yang bermasalah dengan tetek bengek kehamilan, entah mau bikin anak ataupun “buang”. Sekarang saya bisa tertawa namun saat itu, saya cukup dongkol sehingga saya membatalkan niat itu.

Setahun kemudian, setelah saya lulus dari fakultas saya yang tercinta (thanks God!), masalah siklus menstruasi itu bertambah parah. Tanpa perlu mendeskripsikan lebih jelas, siklus menstruasi yang tidak teratur itu sepertinya bertambah dengan masalah kewanitaan lainnya. Saya harus pergi ke ginekolog! Masalah jerawat saja pusing, masakan masalah yang krusial untuk masa depan “perburuan”, saya acuhkan. Karena SMS dari dosen saya hilang bersama HP saya yang wafat tenggelam di bak, saya harus mengumpulkan informasi lagi. Saya, cukup trauma dengan respon-respon yang saya terima setahun yang lalu, memutuskan untuk menggunakan fasilitas lain yang memungkinkan saya tidak perlu bertanya langsung: Google search! Untunglah ada internet dan Jerry Yang yang dengan jenius menciptakan search engine. Walaupun Google sekarang “raja” search engine, tak dipungkiri kerajaan itu pertama-tama dibangun oleh Yahoo.

Menghabiskan waktu berjam-jam di depan komputer, memelototi layar sampai mata saya sakit, menginvestigasi beberapa klinik ginekologi dan review-review, akhirnya saya menulis di notes saya, alamat sebuah klinik ginekologi yang berada di Jakarta Selatan. Review nya cukup memuaskan dan konon terkenal dengan “keajaiban” medikalnya yang berhasil membuat istri seseorang tek dung dan dokternya yang ramah serta teliti dalam memeriksa. Walaupun saya tidak punya niatan untuk bikin anak, dari informasi ini, saya bisa membuat hipotesis, sepertinya dokter di sana cukup kredibel, dan kecil kemungkinan untuk salah diagnosa yang lagi-lagi mempengaruhi masa depan saya. Saat ini saya pikir untuk ke depannya saya tidak ingin punya anak namun saya membuka kemungkinan, siapa tahu saya berubah pikiran.

Langkah berikutnya, saya harus men-tackle keengganan ibu saya untuk merelakan labia mayora dan labia minora anak perempuan semata wayangnya beserta isinya dilihat-dilihat atau bahkan “dikobok” oleh ginekolog, entah perempuan entah laki-laki. Mudah saja sebenarnya. Saya menjelaskan resiko yang bisa dialami kalau menangani masalah ini dengan enteng. Seorang ibu, setelah melahirkan dan membesarkan anaknya, cukup normal untuk menginginkan seorang cucu. Saya bilang, sekali lagi menegaskan supaya tidak mengesankan harapan yang dibuat-buat, “Ma, kalau seandainya aku mau punya anak suatu hari nanti, terus gak bisa gara-gara takut ini itu, dan malah diperiksa dokter umum yang gak ahli soal rahim-rahiman, gimana?” Induce the emotion then the possibility of ‘yes’ will raise up to 95%. 5% berikutnya, informasi yang sifatnya rasional. Saya tinggal memberitahu ibu dan ayah saya tentang klinik “pilihan” saya beserta alasannya. Persis cara jualan obat. Bikin takut, baru memasukkan informasi mengenai obat yang ingin dijual.

Keesokan harinya, Sabtu, pk. 11.00, saya dan orangtua saya sampai ke klinik yang dimaksud. Saya mendaftar dan mendapat nomor urutan kesekian. Di sana, saya ditimbang berat badannya terlebih dahulu dan seperti biasa, yang sudah saya duga, saya ditanya mengenai informasi pasangan saya. Saya bilang, saya belum punya suami. Kemudian perawat di sana menginstruksikan pada saya untuk mengisi formulir dan nanti di bagian suami, dikosongkan saja. Informasi soal orangtua saya sudah cukup, katanya. Mungkin ia sudah cukup terbiasa sehingga ia tidak terbengong-bengong mengetahui saya belum bersuami. Indikasi yang bagus, pikir saya, mungkin remaja jaman sekarang terbiasa untuk memeriksakan dirinya ke dokter kandungan. Ginekolog bukan “monopoli” tetek bengek kehamilan segala.

Karena giliran saya masih jauh, saya menunggu sambil memperhatikan sekeliling klinik tersebut. Klinik itu cukup ramai, kursi di ruang tunggu terisi penuh, didominasi oleh ibu-ibu muda yang tek dung. Banyak orang yang mengantri, salah satu indikasi bahwa klinik ini cukup kredibel sehingga orang-orang merelakan waktunya untuk melakukan pekerjaan yang paling membosankan dan melelahkan: menunggu.

Mencegah social anxiety attack, saya menyibukkan diri dengan majalah-majalah yang disediakan di sana. Hm, majalah kehamilan, parenting, hamil, gizi ibu dan anak, parenting. Tak antusias saya membaca majalah-majalah itu. Saya hanya membiarkan otak saya berkonsentrasi pada judul-judul artikel dan foto-foto di dalamnya. Isi artikelnya? Wallahualam, saya lewati begitu saja, soalnya judul artikelnya tidak berbicara pada saya. Bukannya saya tidak peduli soal parenting, saya saat itu sedang cemas dan pusing tentang kesehatan saya, tidak punya niat berlebih untuk menjajaki developmental psychology lagi yang ingin saya lupakan jauh-jauh. Setelah 4 ½ tahun berkutat dengan soal-soal psikologi anak, orangtua, dan sebagainya, hello, I’m human after all, give me a break! Menyadari bahwa majalah-majalah itu tidak berkontribusi apapun dan malah mendorong saya untuk makin uring-uringan, saya beranjak dari tempat saya duduk dan sibuk mencari-cari majalah tipe lain di rak majalah klinik tersebut. Hasilnya, saya kembali ke kursi saya dengan tangan hampa. Tidak ada majalah khusus wanita single ataupun remaja. Mungkin mayoritas pengunjung klinik ini bukan target segment majalah yang ingin saya baca, pikir saya. Tak ada jalan lain, nikmati saja detik-detik penantian. Time was immortal at that moment.

Akhirnya setelah dua jam bertarung dengan kebosanan, nama saya dipanggil. Saya masuk didampingi oleh ibu saya yang penasaran dengan konsultasi yang akan diberikan oleh sang ginekolog. Kami bertemu dengan seorang bapak-bapak tua yang cukup ramah. Ia bertanya, apa keluhan saya. Setelah saya menceritakan gangguan-gangguan yang saya alami, saya diminta untuk pergi ke sebuah ruangan di balik tirai untuk diperiksa. Menurutnya, dari hasil pemeriksaan di monitor dan uji laboratorium, tidak ada masalah alias normal-normal saja. Mungkin gangguan saya dipicu oleh stress dan ia mengatakan pada saya bahwa saya tidak perlu terlalu khawatir soal gangguan-gangguan semacam ini. “Tenang-tenang saja.” Ibu saya mengiyakan dan mengompor-ngompori sikap saya yang dianggap terlalu paranoid. Batin saya, “iya, kalau sudah diperiksa, baru bisa tenang, mana mungkin saya bisa tahu sebenarnya itu gara-gara stress atau bukan, kalau tidak diperiksa, memangnya saya dokter.”

Lalu dokter itu bertanya lagi, “sudah punya pacar?” Saya jawab saja sudah, karena saya lelah dan ingin cepat-cepat pulang. Bad move. Saya malah dinasehati panjang lebar untuk cepat-cepat menikah. “Udah lulus, pacar ada, langsung saja nikah. Apa pacarnya tidak mau? Kalau pacarnya plin plan begitu, cari yang lain saja. Cepat kawin, tunggu apa lagi. Anak-anak jaman sekarang sibuk karier, lupa punya anak. Begitu udah ketuaan, baru pusing.” Buset, orangtua saya saja tidak meributkan tetek bengek perkawinan. Sementara saya kesal dalam diam, ibu saya tertawa-tawa saja. “Sial”, kata saya dalam hati.

Dalam perjalanan pulang, saya masih bertanya-tanya soal nasehat ajaib dokter itu. Mungkin ia benar-benar khawatir masa panen saya expired, atau mungkin juga ini masalah kapitalis saja. Kalau saya hamil atau mau punya anak, kemungkinan besar saya akan kembali konsultasi ke dokter itu bukan? Entah apapun maksud dokter itu, yang penting saya sudah berhasil mengatasi “ketakutan” saya: pergi ke ginekolog dan benar-benar tahu dengan pasti, bahwa saya baik-baik saja.

3 comments:

  1. hahahaha...diubeg2 sakit cuy? dokter mane ntuh lama bener nunggunyah?

     
  2. rasanya aawww LOL

    di sam marie wijaya. rame cuy. rating nya di internet bagus, review nya pada ok. emang pada ramah si di situ, saking ramahnya, tu dokter takut si pasien jadi 'perawan kering' LOL

     
  3. Ini pertama kali vagina di sentuh lelaki? Rasanya bagaimana?