A Simple yet Complex Matter of Life

Murtad. Sebagian mengatakan demikian. Sebagian lagi mengurut dada dan berniat untuk mendoakan saya, semoga saya kembali ke jalan yang’benar’, jalan Tuhan. Mereka memandang saya dengan aneh. Mungkin kasihan tetapi ada unsur melecehkan. Sudah lama saya menolak untuk pergi ke Gereja dan melakukan ritual-ritual keagamaan. Sebagian mengatakan saya malas. Ya, mereka memang benar. Saya malas untuk melakukan semuanya. Akan tetapi jarang dari mereka yang sanggup mengerti dan menerima alasan di balik kemalasan saya. Saya sedikit banyak memaklumi perlakuan mereka sebab sangatlah sulit untuk memahami sesuatu yang benar-benar di luar kotak indoktrinasi masyarakat apalagi yang dijadikan parameter kebaikan. Namun bukan alasan pribadi saya yang ingin saya bicarakan.

Salah satu parameter kebaikan adalah apakah ia religius atau tidak. Cara untuk menunjukkannya adalah dengan sering beribadah, setidaknya reguler seminggu sekali. Saya tidak mengatakan bahwa mereka melakukannya semata-mata karena ingin mendapatkan penghargaan di masyarakat. Ada yang benar-benar menemukan kedamaian di sana, menemukan tempat berpijak dan berteguh. Akan tetapi ada juga yang merupakan campuran dari kemungkinan dua alasan yang telah saya kemukakan.

Untuk alasan yang pertama, seperti orang Farisi yang kerap diceritakan dalam kitab suci agama saya, saya mencapnya munafik. Tidak salah, itu adalah pilihan mereka. Life is about choices. Yang saya sesalkan adalah ketika agama yang punya power sangat besar dijadikan tameng untuk menjustifikasi perbuatan mereka. Kerap hal ini diakibatkan pemahaman yang dangkal tentang keagamaan mereka. Kitab suci ditafsirkan secara harafiah sehingga tafsiran itu mengaburkan makna yang sebenarnya, yang berada di balik semuanya, yang diperuntukkan bagi orang-orang yang think outside the box. Seorang teman pernah sekali berkata pada saya, “Al-Quran itu untuk orang yang berpikir.” Saya rasa kata-kata itu tidak hanya diperuntukkan untuk penganut agama Islam tetapi juga untuk pemeluk seluruh agama. Keterbatasan bahasa manusia acap membuat pesan-pesan Ilahi sulit tersampaikan dan oleh karena itu, kitab suci menggunakan simbol-simbol. Untuk memahaminya, kita perlu berpikir dengan kritis. Orang-orang yang fanatik berlebihan, korban dari kedangkalan pemikiran mereka, inilah yang mudah disetir untuk kepentingan politisi-politisi.

Mengenai kepentingan-kepentingan politisi, dewasa ini ada banyak pihak yang menggunakan agama untuk kepentingan politik. Keagungan dan kemuliaan surgawi diseret ke kenistaan dan kedurhakaan dunia. Orang-orang ini tahu bahwa dengan modal agama, mereka bisa memperoleh kekuatan politik yang besar sebab agama telah menjaring massa yang besar lagi loyal dan dengan ‘merangkul’ agama, mereka tak perlu susah-susah lagi. Mereka tinggal mengambil alih yang sudah ada. Orang-orang picik dan licik inilah yang menyebabkan terjadinya konflik antar pemeluk agama dan ancaman disintegrasi bangsa. Kemaksiatan ini takkan terjadi dengan mudahnya apabila insan-insan tokoh besar yang duduk dalam lembaga keagamaan tidak tergiur oleh kenikmatan duniawi. Dengan iming-iming harta, mereka bisa mengeluarkan ‘surat keputusan’ atau fatwah tertentu yang menguntungkan orang yang membayar mereka. Money talks, baby.

Sekarang sebagai bagian dari masyarakat yang katanya berbudaya tinggi, apakah kita mau tunduk pada keinginan cecunguk-cecunguk itu? Kita harus selalu waspada menggunakan akal sehat kita. Jangan mau ikut apapun kata mereka seperti kerbau yang dicucuk hidungnya tetapi kritisilah setiap pernyataan itu. Apa maksud di balik semuanya? Adakah nilai positif di dalamnya? Ataukah semuanya sarat dengan kepentingan politik? Terakhir, tanyakan pada diri kita. Apakah kita mau melakukannya? Apakah suara hati kita mendukungnya? (konon suara hati kita adalah suara Tuhan dan saya percaya) Semua itu adalah pilihan kita sendiri.

On The Way to Beauty

Cantik? Siapa sih yang tak mau tampil cantik? Kecantikan membawa banyak berkah. Dikagumi, diperhatikan orang lain. Orang yang cantik kebanyakan mendapatkan perlakuan istimewa dari masyarakat. Penerimaan secara sosial tampak lebih mudah bagi perempuan yang cantik. Apalagi kalau ditunjang oleh fashion style yang bagus. Semua mata tertuju pada dia, baik laki-laki maupun perempuan. Perempuan lain memandang dengan rasa kagum sekaligus iri sedangkan laki-laki memandang dengan nafsu [1].

'Keuntungan' ini makin mendorong perempuan untuk bisa tampil lebih cantik [2]. Media massa terus mendengung-dengungkan kriteria cantik dan produsen berlomba-lomba meluncurkan berbagai macam produk ke dalam pasar. Mereka tahu kebanyakan perempuan akan melakukan apa saja untuk tampil cantik sekaligus menarik. Banyak hal yang ditawarkan, produk kecantikan seperti Lancome, Estee Lauder, dan perusahaan sebangsanya. Ada lagi plastic surgery untuk memperbaiki bentuk tubuh ataupun wajah yang kurang proporsional atau ideal. Juga banyak pula label-label fashion yang menawarkan berbagai macam model pakaian dengan trend-trend terkini. Ada pula program pengurangan berat badan, mulai dari makanan (misalnya susu penahan lapar), program fitness (aerobic, body language, dan sebagainya), sampai krim penghancur lemak yang secara logika sulit diterima keefektifannya.

Memang betul, tampil cantik mendapatkan nilai plus di lingkungan sosial. Siapa sih yang mau dipandang sebelah mata hanya gara-gara penampilan. Namun sayangnya banyak orang dirugikan oleh konsep kecantikan (atau membuat diri sendiri rugi?)

Kesampingkan dulu konsep inner beauty. Sekarang kita berbicara tentang outer look. Seperti apa definisi cantik di mata sebagian besar masyarakat? Kebanyakan berpendapat cantik itu bertubuh ramping dan semampai, berkulit putih, bermata besar. Kalau mau melihat 'kecantikan sempurna' lihatlah Barbie. Akan tetapi tidak semua perempuan 'diberkahi' dengan kondisi fisik demikian. Menghadapi tekanan sosial yang besar, banyak perempuan yang katanya tidak masuk kategori ideal, merasa frustasi dan mencoba segala cara agar bisa menjadi cantik (yang ideal).

Tak jarang saking depresinya, mereka memunculkan deviasi dalam tingkah lakunya, seperti eating disorder. Eating disorder adalah gangguan pada tingkah laku pola makan individu. Yang akrab di telinga kita ada dua jenis, bulimia nervosa dan anorexia nervosa. Saya tidak akan membahas lebih lanjut mengenai kedua disorder ini, namun saya ingin mengedepankan dampak dari kedua abnormalitas ini. Berawal dari rasa rendah diri, depresi sampai gangguan fisik (karena tidak ada asupan makanan) yang bisa berakibat kematian.

Ada dampak lain yang sering kita, terutama kaum perempuan, rasakan, yaitu pola hidup konsumtif. Trend-trend kecantikan dan fashion terus-menerus berubah seiring dengan perkembangan kreativitas para designer trendsetter dunia. Untuk tetap keep up dengan konsep cantik ideal, banyak orang yang terkena sindrom shopaholic. Shopaholic atau gila belanja sudah begitu merambah masyarakat sampai-sampai ada novel atau yang akrab disebut chicklit berjudul Confession of A Shopaholic. Di situ diceritakan si tokoh utama mengalami berbagai macam kesulitan gara-gara hobi berbelanjanya itu. Bagi orang yang beruntung mempunyai kelebihan yang besar dibandingkan orang lain (golongan kelas menengah ke atas), dampak sindrom ini tentunya tidak terlalu berpengaruh. Namun bagi yang berada di kelas menengah dan menengah ke bawah? Tentunya akan sangat terasa. Bagaimana kesulitannya pada saat penagihan kartu kredit. Tidak hanya shopaholic, gaya hidup konsumtif pun merambah ke plastic surgery untuk mengubah bentuk fisik yang dianggap tidak ideal. Tentunya masih banyak contoh lagi dari gaya hidup konsumtif. Pada intinya, budaya konsumerisme terkadang bisa membawa berbagai macam dampak negatif, seperti meningkatnya kriminalitas (karena kesenjangan sosial menimbulkan kecemburuan sosial).

Tidaklah salah jika kita ingin menjadi cantik (idealis) tetapi kita perlu menyesuaikan keinginan kita dengan keadaan kita. Maksud saya, kita harus mampu berkompromi dengan realitas. Tidak perlu tampil cantik bak Jennifer Lopez ataupun supermodel-supermodel untuk mendapatkan penerimaan secara sosial. Cukup dengan tampil rapi dan bersih, kita sudah menarik. Jika ingin tampil fashionable, tidak perlu membuang banyak uang untuk membeli model-model keluaran terbaru. Pergunakan kreativitas anda untuk mix and match. Ada nilai tambah di sini dibandingkan dengan orang lain, yaitu bisa tampil menarik dan berbeda hanya dengan uang yang relatif sedikit. Jika punya tubuh besar, jangan rendah diri. Lakukanlah olahraga setiap hari dengan cukup, tak perlu berlebihan. Bisa dilakukan sendiri tanpa biaya, seperti lari pagi, sit up, dan sedikit senam. Yang penting punya tubuh yang kencang. Sisanya, siasatilah dengan cara berpakaian. Tak perlu mengeluarkan jutaan rupiah, gunakanlah prinsip mix and match. Terakhir, sesuaikanlah dengan kepribadian anda agar anda bisa lebih nyaman dan percaya diri.

Akhir kata, tampil menarik tak perlu dengan uang yang banyak dan usaha yang berlebihan. Andalkanlah kreativitas anda. Dan ingat pula, tunjanglah dengan inner beauty. Anda pasti tampil lebih menarik, bahkan mungkin lebih daripada orang-orang yang cantik 'dari sananya'. Kunci terakhir: percaya diri.

[1] dalam konteks heteroseksual
[2] dalam konteks cantik ideal masyarakat pada umumnya