Sarah Jessica Parker


Sarah Jessica Parker in Calvin Klein. SJP is my true favourite fashion icon. Simple yet elegant. Perfect hair, and I like that bracelet. A little touch of bright blue, just right.

omong kosong

sampai kapan batas waktu menunggu? terkadang dalam suatu hal, seorang harus menunggu. bukan karena menyerah, melainkan memang ia harus menunggu. dalam proses tersebut, ada banyak hal yang kita pikirkan. berapa lama lagi? bagaimana akhirnya? apakah penantian akan berakhir dengan senyum? atau mati kebosanan karena terlalu menunggu? saya orang yang super tidak sabar. terlalu lama menunggu bikin saya lama-lama memaksa diri lupa kalau saya harus menunggu. bukannya saya alihkan kebosanan, melainkan benar-benar menghentikan prosesnya.

dan saya melakukannya akhir-akhir ini. ketika proses menunjukkan gejala-gejala 'akan kembali', saya tidak menghiraukannya. prosesnya sudah benar-benar berhenti.


Johnny Depp. Love the bad boy, that strong jawline, perfect nose, eyes that kill. Posted by Picasa

kepekaan.

tadi saya pergi ke Puri Mall, nonton King Kong sama teman-teman. sambil menunggu jam bioskop, kami duduk di food court dan sedikit terlibat dalam pembicaraan tentang makanan. kami membicarakan makanan. enak mana, ichiban crepes atau d'crepes? teman saya bilang katanya ichiban kurang enak. saya yang pernah coba ichiban dan pastinya d'crepes, bilang sama saja. saya benar-benar tidak tahu bedanya. tapi saya pikir-pikir lagi, jawaban saya tidak bisa dikatakan valid karena saya kurang peka terhadap rasa makanan dan cenderung tidak terlalu peduli. saya tidak tahu beda rasa kopi gloria jeans dan coffee port, tidak tahu beda nescafe dan indocafe, tidak tahu beda tekstur es krim new zealand dan pisa kafe, mie aciap atau asui, makanan basi atau tidak. kecuali yang benar-benar beda, seperti enak (bisa diterima lidah) dan yang tidak aneh (rasanya aneh). namun kalau tidak benar-benar aneh, saya masih cuek makan. makanya saya bisa diet dengan kopi yang sedikit gula (tahan pahit), minum teh hijau seduhan ibu saya yang rasanya agak tidak karuan, salad tawar, dan sebagainya.

tapi herannya saya bisa tahu sepatu mana yang lebih worth it dibeli. ditimbang dari estetikanya juga kenyamanannya. saya bisa super rewel kalau ada sedikit noda di sepatu. saya juga tahu sepatu mana yang lebih kaku (keras). kelancipan pointy shoes mana yang paling bagus (tidak terlalu lancip, juga tidak terlalu bulat). warna mana yang paling bagus untuk model sepatu tertentu. soal baju, saya bisa sedikit kompromi. soal sepatu, sulit, sangat pilih-pilih. makanya saya jarang-jarang beli sepatu. tidak hanya sepatu, saya bisa tahu 'derajat' keseksian Brad Pitt, Johnny Depp, Owen Wilson, dan Jude Law. saya bisa membedakan sumber keseksian mereka. setelah dipikir-pikir, kepekaan itu tergantung selera, tergantung apa kesukaan saya.

kira-kira tiga jam 'mengeram' di bioskop, saya tahu saya suka sekali film King Kong. teman saya berkomentar alur yang terlalu lambat. dan saya juga menyadari, bedanya saya tahu apa tujuannya (mengapa begitu). saya tahu gaya penyutradaraan Peter Jackson (ambil kesimpulan dari nonton trilogi LOTR yang termasuk film favorit saya, dan King Kong) seperti apa. menurut saya, keistimewaan Peter Jackson ada pada penonjolan karakter dan penggalian makna. hampir seluruh karakter dalam film-filmnya diberi kesempatan menunjukkan penonton kekhasan masing-masing sehingga karakternya kuat. Peter Jackson tidak ingin King Kong sekedar film ecek-ecek yang menawarkan special effect. oleh karena itu, ia menggunakan pelambatan alur, yang hebatnya (bagi saya) tidak membosankan, menggali 'habis' setiap adegan. setiap adegan harus ada maknanya, tidak hanya penyambung adegan berikutnya. kapan-kapan saya posting analisis saya tentang King Kong, dan jika sempat, sekalian dibandingkan dengan LOTR.

family affair.

Didorong oleh rasa jenuh masa liburan (padahal baru 3 hari), saya mengirim sms basa-basi, seperti apa kabar? apa rencana untuk natal, kepada tiga orang. Dibalas dua orang. Salah satunya mantan pacar saya, yang sekarang sudah berstatus teman (rasanya hubungan kami baik-baik saja). Sesuai dugaan, dia paling pasti dan paling cepat membalas. Pada kalimat pertama, ia mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Natal rencananya akan pergi ke gereja, makan bersama keluarga, dan sedik(h) karena keluarga. Saya bingung. Pertama karena saya tidak mengenal kosakata sedik, namun akhirnya saya terjemahkan menjadi sedih (tombol h dan k bersebelahan di hp). Kedua, awalnya dia bilang dia baik-baik saja. Ketiga, jarang orang berencana untuk sedih di hari yang bahagia (apalagi dia orang yang sangat rajin ke Gereja, berdoa, membaca Alkitab, Renungan Harian, dan kegiatan religius lainnya yang notabene sangat bertolak belakang dengan saya yang klenik). Daripada berhipotesis ria, lebih baik saya bertanya langsung pada sumbernya. Rupanya ada masalah keluarga, pertengkaran rumah tangga. Sejak saya kenal dia, memang masalah keluarga cukup membuatnya labil. Dan saya tidak berani bertanya lebih lanjut, cuma menghibur dengan kata-kata religius yang saya copy dari tante saya.

Teman saya, punya orangtua yang sangat menuntut. Diskriminatif terhadapnya, katanya, suka mencari-cari kesalahan. Menurutnya, masalah keluarga, hubungan dengan orangtua, terlalu kompleks dan tak mungkin terselesaikan. Akhirnya ia menghindarinya dengan sering beraktivitas di luar rumah dan apabila di rumah, jarang berkomunikasi, dalam arti, berbicara dari hati ke hati. Saya juga melakukannya. Awal-awal saya kuliah, saya sering pulang sore atau malam. Alasan saya, saya ikut banyak kegiatan dan organisasi (memang benar). Kalau ditanya-tanya hal yang sensitif, saya pilih bohong daripada bermasalah.

Masalah keluarga dari dulu dari jaman dahulu memang pelik. Banyak kasus yang disebabkan oleh keluarga. Misalnya seseorang melacurkan diri karena mengalami pelecehan seksual oleh salah seorang anggota keluarganya, minum-minum atau menggunakan narkoba karena ayah dan ibu bertengkar terus sampai bercerai (dan masalah keluarga lainnya), kepribadian ganda (dan kasus psikopatologis lainnya), bunuh diri, dan sebagainya. Intinya keluarga sangat penting dalam kehidupan seseorang.

Ketika janin terbentuk, ia sudah berurusan dengan keluarga, dengan ibunya. Ketika lahir ('normal'nya), ia harus berhadapan lagi dengan anggota keluarga baru, ayah. Kalau ada, kakak. Untuk bisa hidup, anak tersebut harus berhubungan dengan anggota keluarganya. Anggota keluarga yang beragam kepribadiannya dan punya ekspektasi yang berbeda-beda pula untuk masung-masing anggota keluarga. Dalam mengkomunikasikan harapannya, mereka punya cara yang berbeda-beda. Beruntung kalau mereka demokratis. Kalau otoriter? Bagus kalau pembicaraan dilakukan secara dewasa. Kalau pertengkaran jadi bahasa lumrah? Paling baik diselesaikan secara intern. Namun bagaimana apabila penyelesaian tak kunjung ditemu? Mau minta bantuan orang lain, meskipun masih terhitung keluarga (kakek nenek, paman bibi, dan sebagainya), susah. Bisa tambah panjang. Ada urusan gengsi nama baik keluarga di sini. Makanya saya juga tidak berani ikut campur urusan keluarga orang lain.

Penyelesaian yang baik, ada macam-macam, relatif. Bisa komunikasi terbuka, berhadapan langsung dengan masalah (kalau mungkin). Bisa juga lari, pura-pura tidak tahu, menghindari kontak dengan potensi masalah (misalnya, biasanya ketemu ibu langsung berantem, kurangi frekuensi ketemu). Tergantung apa masalahnya, dan situasi-situasi yang melingkupi, baik yang kondusif maupun yang menghambat masalah selesai. Jawaban saya memang jatuh-jatuhnya ke relativisme. Sudah saya bilang sebelumnya, masalah keluarga itu rumit dan saya sendiri punya masalah keluarga yang tak terselesaikan sebelumnya. Namun menurut saya, ada satu hal penting yang harus dimiliki sebelum melangkah ke penyelesaian selanjutnya, seperti yang saya juga bilang ke mantan pacar saya, sabar dan tabah.

the 'gembel' law

Saya punya teman, namanya Yaya, lengkapnya Wirya Satya Adenatya. Tapi saya lebih sering panggil dia 'gembel', 'gembrot' (padahal ia tidak gendut, bahkan saya sedikit kagum karena dia terbilang atletis dan memang dia atlet), 'ucup', dan sederetan sebutan yang kurang rasa perikemanusiaannya. Asosiasi tercepat kalau mengingat Yaya: jazz, Twilite Youth Orchestra, kafe, gembel-look, omongan serba tidak penting, DATAR. Ekspresi yang paling dapat dikenali dari Yaya, hanya tertawanya yang membahana tanpa tedeng aling-aling. Sisanya (marah, sedih, takut, dan sebagainya), singkat saja, tidak ada.

Dia pernah pusing sendiri mengerjakan tugas analisis kepribadian padahal itu tugas kelompok. Dalam kelompok itu, yang benar-benar bekerja hanya dua orang (dia dan seorang temannya). Yang lainnya, cuma numpang nama. Saya tanya padanya, mengapa ia tidak marah dan protes pada mereka? Dia bilang, dia tidak bisa marah. Saya marah pada teman-temannya tapi saya lebih marah padanya. Kalau tidak protes, secara tidak langsung, dia menyediakan dirinya sebagai budak tertindas. Buat saya yang gengsinya tinggi, hal seperti itu benar-benar 'aib'. Saya tanya lagi, kenapa? Ternyata dalam proses remajanya yang berat (masalah keluarga), ia mempelajari sesuatu yang ia pegang sampai sekarang, bahwa segala sesuatu pasti ada penyebabnya atau ada sebab, ada akibat. Katanya, misalnya, kalau pacarnya berselingkuh, dia tidak serta merta langsung marah, dendam, atau bicara buruk tentang pacarnya. Dia berpikir, pasti ada sebab mengapa pacarnya berselingkuh. Dan sebab itu pasti, walaupun sedikit, berkaitan dengannya. Karena ada alasan, ia bisa menerima. Namun saya tanya padanya, bagaimana kalau dia tidak diberikan alasan yang jelas oleh seseorang. Dia bilang, selama ini, dia selalu menemukannya. Seperti pada tugas kepribadian ini, dia tidak mendapat alasan yang jelas dari orang numpang itu. Dia menciptakan suatu 'analogi' sebab akibat lainnya. Karena Yaya terlatih mengerjakan (sebab), Yaya akan lebih unggul dalam tugas akhir (individual) daripada mereka (akibat). Oleh karena itu, ia tidak marah.

Menurut Daniel Goleman, salah satu aspek kecerdasan emosional (emotional intelligence) adalah self-control. Dalam self-control, terdapat kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan, atau ketersinggungan, dan akibat-akibat yang timbul karena gagalnya keterampilan emosi ini. Yaya, seorang makhluk yang memiliki self-control terbaik yang saya kenal. Dia jarang depresi dan cepat bangkit dari keterpurukan, dengan 'think big'. Untuk saya yang tingkat kecemasannya cukup tinggi, prinsip gembel ini bisa jadi salah satu referensi terapi.

beauty over comfy.

kaki, bagian tubuh yang kerap terlupakan. untuk alasan tertentu, saya sangat peduli pada kaki saya. seperti halnya akhir-akhir ini, saya super hati-hati dan khawatir terhadap kaki saya, terutama telapaknya. namun untuk alasan tertentu pula, saya bisa tidak peduli dengan kaki saya. saya berusaha tidak manja dan saya terapkan pula pada kaki saya. sepatu bikin lecet? ayo kaki, terbiasalah. hidup tidak selalu yang senang-senang saja, banyak pahitnya juga. sebetulnya ada pertimbangan juga untuk berlecet-lecet ria. kalau sepatu itu bagus dan saya benar-benar suka, saya bisa tidak peduli pada kaki saya. kalau sepatu itu agak bagus menurut saya, saya akan mempertimbangkan kenyamanan juga. apalagi kalau jelek, tidak usah dipikir dua kali. jadi, sebenarnya saya lebih peduli pada sepatunya, fashion-nya.

begitu pula saya pikir ketika menonton cuplikan Dr. 90210, reality show tentang plastic surgery. yang penting mirip barbie, urusan sakit-sakitan (efek samping) bisa dipikir nanti-nanti (toh ilmu kedokteran sudah sangat maju). saya tak pernah nonton acaranya karena ngeri pada mutilasi-mutilasi. iklannya saja sudah membuat saya ingin mengganti saluran TV. di iklan, bagian yang hendak dipermak, digambar-gambari, selanjutnya ada proses dengan pisau-pisau, mutilasi. sekarang iklan itu sedang mengusung tema breast plastic surgery . tiga orang remaja perempuan berjejer, buka baju, mempertontonkan dada-dada mereka ke depan dokternya (laki-laki), tentunya di TV diburam-buramkan. selanjutnya, saya tidak tahu karena, seperti yang sudah saya katakan, saya ngeri. kemudian saya nonton acara The Soup (acara yang menayangkan scene-scene dari acara apapun yang dianggap 'konyol'), dokternya senang jadi ahli bedah plastik karena bisa nonton dan pegang-pegang perempuan juga.

mengerti?

hari ini saya ditelepon teman sekelompok saya untuk tugas akhir mata kuliah Kode Etik. dia sudah melakukan wawancara dengan dokter kandungan, salah satu profesi yang dituntut untuk digali kode etiknya dalam tugas ini. sementara bagian saya adalah bankir. dia panik karena menurutnya, wawancara tidak berjalan dengan lancar. dokter kandungan itu menanyakan kepada teman saya tentang apa itu kode etik. teman saya berusaha untuk menjelaskannya tetapi dokter kandungan tersebut tetap merasa tidak puas dengan penjelasan teman saya. sebenarnya teman saya bingung tentang apa kode etik itu, begitu pula saya, dan keyakinan saya juga untuk kebanyakan peserta mata kuliah itu. sampai saat ini, kami belum mendapat kepastian yang jelas tentang kode etik. dan tampaknya demikian juga dosen saya. saya mengambil kesimpulan demikian karena ia sendiri tampak sangat bingung dan kerepotan, tanda-tandanya "pokoknya..." sering digunakan sewaktu menjelaskan. atau saya salah? jangan-jangan dia benar-benar mengerti tetapi sulit menyampaikannya? kalau memang begitu, saya juga sering mengalaminya, bukan dengan kode etik, tapi dengan hal-hal lain. misalnya, saya bilang, saya sakit. teman ada yang bertanya, sakit apa? sakitnya seperti apa? kalau sakitnya jelas sekali, seperti sakit kepala, saya tahu. tapi kalau tidak enak badan? saya cuma bisa mendeskripsikan "pokoknya seluruh badan pegal". namun saya tahu penjelasan saya belum mencakup semua symptom yang saya rasakan. teman saya tampak mengerti dan ketika saya berada di posisi teman saya saat itu, saya merasa mengerti juga. mungkin karena saya pernah mengalaminya dan teman saya juga. lalu mengapa dosen saya kesulitan menjelaskan kode etik? kemungkinan besar karena (minimal) saya dan teman saya belum lama belajar psikologi dan bahkan belum terlalu akrab dengan prakteknya, sehingga kode etik menjadi hal yang mengawang-ngawang tanpa kejelasan bagi kami.

the death of democracy

minggu ini adalah minggu yang sebenarnya cukup penting dalam dunia kemahasiswaan fakultas psikologi atma jaya. kampanye calon ketua himapsi, diikuti debat calon ketua, dan akhirnya ditutup dengan pemilihan. sekarang hari minggu dan pemilihan hari senin. selain ketua himapsi, besok juga dipungut suara untuk menentukan wakil angkatan. melihat antusiasme mahasiswa yang rata-rata rendah pada saat debat calon ketua himapsi, saya jadi ragu terhadap organisasi kemahasiswaan di fakultas ini. orang yang datang, itu-itu saja. jangan-jangan kebanyakan orang memilih karena sentimen pribadi sehingga sifat pilihan yang subyektif itu menjadi sangat-sangat super subyektif. untuk tujuan konsistensi, kinerja dan evaluasi pun akan bersifat subyektif pula. ada sedikit keobyektifan, tetapi unsur emosi lebih berperan dominan. saya jadi sedikit berpikir, jangan-jangan mahasiswa fakultas psikologi sudah anti demokrasi. atau karena tidak peduli (dengan alasan sudah pusing dengan tugas kuliah atau lebih jauh lagi sebenarnya takut dengan konsekuensi memilih), demokrasi mati.

Maslow Inventory Test Results

Physiological Needs
|||||| 27%
Safety Needs
|||||||||||| 44%
Love Needs
|||||||||||| 50%
Esteem Needs
|||||||||||||| 57%
Self-Actualization
|||||||||||| 48%

Abraham Maslow authored the Hierarchy of Needs theory, stating that human beings are motivated by unsatisfied needs, and that certain lower needs have to be satisfied before higher needs can be attended to. It is debatable that needs fulfillment occurs in as linear a fashion as Maslow presents (or that Maslows needs structure is entirely accurate), but you can decide that for yourself. Also, higher needs tend to be more complex and vague in what qualifies as need satisfaction. The following results are listed in the order Maslow defined.

Physiological Needs : you appear to have everything you need to survive physically. Maslow speculates that without satisfying basic needs (food, shelter, health) one cannot achieve higher levels of development. This generally makes sense, but the history of starving artists and successful artists who tanked after they became wealthy is important to note.

Safety Needs: you appear to have adequate enviromental safety. Maslow speculates that without enviromental stability (security, safety, consistency), you can't progress to higher levels of development. Neuroscience research would appear to support this, as higher stress contributes to higher cortisol levels, which impair memory and thinking functions. However, low stress can also lead to obesity and cardiac degeneration. The lazier and weaker you become, the more stressful the most minimal tasks and stimuli become.

Love Needs: you appear to be somewhat content with the quality of your social connections. Maslow speculates that discontentment in your connections with others stalls development. Whether the resolution of love needs comes with good relationships and/or learning to be more internally fulfilled is a question Maslow does not answer. But history would suggest many advanced minds had few relationships so this stage would seem to be more about resolving internal perceptions than as a call for measuring/achieving happiness by quality of external relationships.

Esteem Needs: you appear to have a medium level of skill competence. Maslow speculates that until you develop a good skill set (talent, trade, expertise that you excel at) you will be unable to develop further as an individual (much less reliably support yourself financially). This could mean being a good musician, painter, doctor, carpenter, etc.. On some level this stage also requires getting over the need to be appreciated for that skill, internally and/or externally. Even if you develop a skill, you still might be hung up on the need to have other people validate you or you might internally doubt yourself. Then again, you might not be appreciated, or appreciate yourself because your skills are still too undeveloped.

Self-Actualization: you appear to have an average level of individual development. Maslow speculates that individual development is the pinnacle of existence, this means pursuing a career/life that really fits who you are and want to be internally (not based on external and societal expectations). The self actualized person is free from superficial concerns and is internally honest.

to forgive (is/or) to forget

to forgive = to forget? saya tercenung sejenak ketika dihadapkan pada pertanyaan ini, yang sebetulnya pernyataan yang minta dikonfirmasi ulang. apakah memaafkan sama dengan melupakan? kok rasanya sulit sekali ya, dan bahkan tidak mungkin menurut saya, kecuali kesalahan yang harus dimaafkan itu dikubur dalam-dalam di unconsciousness sehingga tidak akan terbaca dalam psikodiagnostik apapun dan hanya bisa 'dipanggil' oleh ahli hipnotis yang kemampuannya paling tidak mendekati Tuhan yang pandai menyimpan dan 'mengorek' rahasia. atau mungkin saya terlalu mendramatisir karena saya tidak punya hati seluas itu untuk memaafkan, dalam arti juga melupakan?

taruhlah saya ditampar oleh seorang teman dan saya memutuskan untuk memaafkannya karena dia teman baik saya dan kami pun tetap menjadi teman baik. namun ketika masalah mulai timbul, bukan tidak mungkin saya mengungkit kembali peristiwa yang saya pikir telah saya lupakan. atau yang paling berat, kasus menyalahkan diri sendiri. ketika saya membuat kesalahan yang berakibat fatal pada diri saya, saya bisa memaafkan bisa tidak. taruhlah saya berhasil memaafkan, namun saat tertentu, ketika saya sedang bengong atau ada kejadian yang mirip, saya akan mengingat kesalahan saya kembali.

kognisi manusia tidak sebodoh yang kita kira. pada saat kita lupa, bukan berarti ingatan itu hilang, hanya tertumpuk-tumpuk saja atau sedang ruwet sehingga tidak bisa 'dipanggil'. kejadian yang kita harap dilupakan ternyata tidak hilang dari memori kita. oleh karena itu, sewaktu-waktu bisa kembali ke area kesadaran kita. kalau kita tetap mempertahankan memaafkan sama dengan melupakan, terima saja konsekuensi, tidak ada maaf di dunia ini. lagipula kalau seluruh kesalahan dilupakan, manusia cenderung terperangkap dalam lubang yang sama, tidak ada rambu-rambu. akibatnya lupakanlah pernah ada experencial learning. manusia statis-statis saja.

lalu apa itu memaafkan? menurut saya, memaafkan berarti berusaha mengembalikan kondisi emosi ke kondisi 'normal' dan mau melanjutkan hidup dengan objek yang dimaafkan itu. misalnya, kalau memaafkan teman, masih mau berteman. kalau memaafkan diri sendiri, masih mau hidup (benar-benar hidup). mau hidup merupakan bentuk memaafkan paling dasar, dan bisa dikatakan memaafkan membuat kita hidup. tentunya relasi yang dibangun adalah relasi yang positif, tidak destruktif, tetapi tetap waspada agar tidak terulang kembali kesalahan yang mirip (tidak digunakan kata sama, karena seiring waktu, tidak ada yang sama di dunia ini, minimal waktunya saja sudah berbeda). hubungan yang positif kadang tidak perlu sepositif sebelumnya. kalau dirasa lebih atau sama positif baik, ya dibuat demikian. kalau dirasa lebih baik, sedikit kurang positif tapi tetap positif, tidak salah juga.

buat saya sendiri, memaafkan dalam definisi ini lebih mulia daripada melupakan. melupakan punya misi untuk tetap menjaga relasi sebagaimana sebelumnya. namun memaafkan punya misi membuat relasi positif tetapi memberikan kesempatan untuk experencial learning sehingga manusia bisa hidup dengan lebih baik (menurut definisinya sendiri, dari hatinya sendiri).

friend

mengacu pada perkataan orang-orang di sekitar saya, teman itu penting. bahkan ada sebagian orang yang hidupnya tersentralisasi pada relasinya dengan sekelompok orang yang dianggap dekat. inilah yang mereka junjung, persahabatan. dimadu suka ataupun dirundung duka, bersama-sama akan saling mendukung dan selalu bersama. namun sampai kapan? apakah batas persahabatan itu? ataukah memang umurnya abadi? walau terpisah, hati tetap akan bertaut? saya takut jangan-jangan itu utopia. kalau tidak ada keindahan yang abadi (setidaknya selama manusia hidup), di mana seni kehidupan? jauh dalam hati, saya masih berharap di balik ego manusia, masih ada kebutuhan untuk menjalin relasi dengan orang lain dengan keintiman yang membuat hidup terasa lebih 'mudah', masih 'mengurung' persahabatan dalam hatinya.

kalung dan perbedaan

hari ini saya dapat kalung dari seorang teman yang biasanya berpakaian selayaknya gembel ke kampus. kaos belel dan celana pendek, dipadu dengan sandal atau sneakers merah yang sudah layak dimuseumkan. teman saya ini punya bakat seni yang bagus sekali, terutama dalam musik. dia jago main gitar, main flute, dan akhir-akhir ini sedang mengasah kemampuannya dalam obo, alat musik yang baru pertama kali saya dengar. kemarin hari, dia bersama bandnya, kalau tidak salah namanya jazzyphonic, diundang untuk perform di bali jazz, menginap di hotel bintang lima (Hard Rock). hari ini saya menyombongkan bandul merah yang ayah saya beli di kanada. rantainya sudah rusak, terpaksa saya 'jalin' dengan pita hitam kecil, supaya masih bisa dikalungkan di leher saya. tak dinyana, dia malah mengeluarkan sebuah kalung etnik dengan bandul marmer yang diukir dan dibentuk seperti bunga, dengan lubang berbentuk lingkaran di tengahnya. di atas bandul itu, dihiasi lagi dengan batu-batuan berwarna cokelat dan turquoise. kalung yang sangat indah, saya tak menyangka dia punya selera sebagus itu. saya pikir estetikanya cuma di musik. saya iseng memintanya dan tak disangka-sangka lagi, dia memberikannya pada saya. HORE!!!

memang terdengar bodoh untuk seorang perempuan di era emansipasi ini, ketika ia terlalu senang untuk hal-hal seperti ini. namun saya pikir perempuan suka keindahan dan saya yakin laki-lakipun demikian walaupun objeknya mungkin berbeda. saya suka dengan fashion, laki-laki (kebanyakan yang saya kenal) suka dengan mobil. sama-sama toh. kadang laki-laki tidak mengerti perempuan, begitupun perempuan dengan laki-laki. saya pikir hubungan antara laki-laki dan perempuan itu tidak harus didasarkan oleh saling mengerti, yang penting saling menghormati, toleransi. perbedaan itu ada di segala aspek kehidupan manusia, individual differences! menerima perbedaan itu sulit. saya sangat kagum pada suami istri yang usia pernikahannya lama, bahkan sampai ditinggal mati. tidak perlu masih mesra, masih berada dalam lembaga ikatan yang sama saja sudah hebat. makanya saya takut menikah.

PRaY YoU!

TUHAAAANNNNNNNNNNNNNN!!!!!!!!!!!
Aku hidup di dunia edaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaannnnnnnnnn!!!!

Entah harus bilang apa

"Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan"*

I've got to do what I should do

Take a peeWear black eyeglasses
Smoking fucking weed
and LEAVE

Bye bye rotten jackass!

Wish you all the best and worst from hell!


*Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran

Soe Hok Gie: semangat perjuangan dekade muda

saya nonton film Gie. entah kenapa hari itu saya sangat memaksa diri untuk menonton Gie. saya ulangi, saya memaksa diri bukan memaksakan diri. saya dengan kesadaran penuh, tekad yang bulat, sungguh-sungguh ingin menonton film ini. mengesampingkan faktor saya memang ngefans dengan Nicholas Saputra, saya memang penasaran dengan film ini. film yang jarang dibuat oleh orang Indonesia. biasanya orang Indonesia sukanya bikin film cinta-cintaan melulu. padahal tipikal-tipikal saja. membosankan. yang paling saya tidak suka: 30 hari mencari cinta. 15 menit menonton saya sudah mengantuk. lagipula saya selalu tertarik dengan sosok aktivis muda, yang dengan idealismenya berani mengkritik dan mengusahakn perubahan terhadap hal-hal yang dianggapnya menyimpang dari kebenaran.

saya nonton film Gie dengan sahabat saya, Dessy di Megaria. Dessy sebenarnya harus rapat untuk acara di UKM-nya tapi dikadung sayang kalau kelewatan film Gie. Tadinya kami mau ke TIM saja tapi sayang, film Gie belum diputar. Megaria sudah. agak dongkol sih karena Megaria tidak terlalu cozy tempatnya, tidak bisa 'cuci mata' juga. lari-lari kejar bus, nunggu satu setengah jam. akhirnya saya nonton Gie.

adegan pertama dibuka dengan masa kecil Gie. saya langsung punya kesan Gie kritis, berani memperjuangkan kebenaran dan keadilan. terlihat pada saat dia berani memprotes gurunya yang salah. dia suka membaca. hebatnya, bacaan yang tidak lazim untuk anak seumurnya. sudah tahu sastra, dari sastra Indonesia sampai sastra asing. adegan yang paling membuat saya terenyuh, saat Gie melihat seorang laki-laki (bukan pengemis) makan kulit mangga yang diambil dari tong sampah. tergerak oleh kemanusiaannya, Gie memberikan uangnya. kondisi yang amat menyedihkan. (dari buku Catatan Seorang Demonstran) padahal tak jauh dari situ Istana Negara dimana Paduka sedang bersenang-senang dengan istri-istrinya. kesetiaan pada prinsip sangat ia tunjukkan "lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan". ia tetap memegang idealismenya walaupun harga yang ia bayar sangatlah mahal. orang-orang memang mengagumi ide-idenya tetapi mereka menolak ketika Gie hendak masuk dalam lingkaran mereka.
sekarang saya sedang membaca buku Catatan Seorang Demonstran, pemberian tante saya. sayang, kemarin bukunya terlipat. jadi lecek sedikit. sedikit menghibur diri, tak apalah, yang penting masih bisa dibaca. awal september nanti, ada diskusi dan pemutaran film Gie. di situ akan ada Herman O Lantang, kawan seperjuangan Gie. saya mau menulis panjang, tetapi saya lupa detail-detailnya. baiklah saya teruskan nanti setelah acara bedah buku dan film, dan tentunya sebelum itu, saya juga sudah harus selesai membaca buku harian Gie.


THiS Is FaBuLouS! Posted by Hello

Shoes Stuff

Seberapa penting sih arti benda penyangga atau alas kaki yang notabene 'terinjak' dan kotor (minimal bagian dasarnya). Buat saya, sepatu sangatlah berharga, penting! Sepatu memberikan kontribusi yang sama seperti apparel dalam hal fashion. Buktinya saya patah hati ketika melihat sepatu putih saya lecet di bagian haknya... Hiks...

Jia you!

UAS sudah berlalu berminggu-minggu yang lalu dan menjelang berakhirnya masa KB (tanpa T, karena tidak bisa tambah mata kuliah) semester padat, nilai-nilai akhir yang akhirnya akan digenerasikan ke dalam IPS dan IPK ditempel di papan pengumuman gedung C lt. 4 dan 5. Berbagai macam reaksi muncul, ada yang senang, ada yang sedih dan menyesali segala sesuatunya walau mungkin tidak ada yang perlu disesali, ada yang biasa-biasa saja, dan ada yang marah-marah yang kadang tak jelas tertuju pada siapa. Sayangnya, ternyata di antara teman-teman saya, banyak yang turun nilainya. Bahkan ada satu seksi yang mayoritas tidak lulus, hanya 16 dari 45 mahasiswa yang lulus, dalam suatu mata kuliah. Sensasional, menurut saya dan menimbulkan tanda tanya, yang mana yang salah? dosen atau mahasiswanya? Entahlah. Saya tidak berani menyimpulkan walau penasaran karena saya tidak mengalaminya sendiri (bukan seksi saya) dan kalaupun saya bertanya, saya ragu karena jawaban yang mungkin saya dapat sudah terkontaminasi oleh subjektivitas.

Di antara mahasiswa-mahasiswa yang sedih dan menyesal karena turun nilainya, banyak yang sebenarnya mendapat nilai yang cukup baik. Katakanlah minimal B. Wah, di mata orang lain, nilai B sudah cukup memuaskan. B = Baik. Akan tetapi untuk orang-orang yang need achievementnya tinggi, nilai B seperti nilai C atau yang lebih ekstrim seperti nilai D atau E. Kalau begitu, mungkin pelabelan seperti di buku rapor SD - SMA (bahwa A adalah amat baik, B baik, C cukup, dst) memang tidak tepat karena terkandung, sekali lagi, unsur subjektivitas. Ternyata banyak kepentingan individu dalam rentang lima huruf tersebut.

Tendensi obsessive compulsive? Rasanya belum. Perfeksionis? Ya. Perfeksionis mutlak dalam arti memang perfeksionis tulen? Mungkin. Perfeksionis karena kondisi yang memaksa? Bisa juga.

Namun kejadian ini sedikit menjadi permenungan untuk saya. Seberapa jauh kita harus menetapkan kriteria untuk menggolongkan yang baik dan yang buruk? Bila melihat teman-teman saya, rasanya ada beragam sekali hal-hal demikian. Mungkin kita harus mempertimbangkan kepentingan-kepentingan apa yang harus diperjuangkan di dalamnya hingga kriteria itu benar-benar menjadi benar-benar milik diri dimana ketika tercapai ada rasa puas yang besar. Rasanya mustahil untuk menyeragamkan seluruh kriteria orang-orang.

Namun banyak orang yang tidak memahami hal ini. Mereka cenderung menilai orang lain berdasarkan kriteria dirinya sendiri. Bukannya tidak boleh, bahkan bisa dimaklumi karena merupakan reaksi otomatis setiap manusia. Hanya janganlah terlalu eksesif sehingga mengganggu orang lain tersebut. Saya percaya setiap orang punya kebebasan untuk menentukan dirinya. Begitu pula dalam nilai, setiap orang memiliki kemampuan dan potensi yang beragam dan oleh karenanya parameter baik dan buruknya pun berbeda.

Oleh karena itu, saya sebisa mungkin menghindari rasa kasihan pada orang lain. Meskipun tetap terbersit dalam diri saya, saya berusaha untuk tidak terlalu menunjukkannya. Kata-kata belasungkawa "wah... sayang ya..." cukup saya hindari. Saya lebih suka diam dalam saat seperti ini. Kalaupun saya harus berkata sesuatu, saya lebih memilih untuk langsung memberikan solusi. Entahlah mungkin orang lain menganggap saya dingin dan tidak peduli tetapi saya sendiri ketika mengalami hal itu dan dikasihani, saya merasa tidak nyaman karena menurut saya, rasa kasihan memberikan label inferioritas pada seseorang. Parahnya, mereka mencari kenyamanan dengan terlalu bergantung pada orang lain, dalam arti secara berlebihan. Bisa mengeluh terus-menerus sampai meminta orang lain untuk mengerjakan urusannya. Sebagai hasilnya, orang itu tidak akan berkembang.

Dua semester berlalu dengan cepat, dan sebentar lagi semester ketiga. Saya berharap kesuksesan selalu mengiringi langkah kita semua. Ciao! (mesti ngerjain tugas Stat II nih!) :)

Traumarama (Trauma Drama?)

Tak bisa dipungkiri bahwa setiap orang punya masa lalu, entah baik entah buruk. Kebanyakan orang ingin menutupi masa lalunya yang gelap karena pada dasarnya manusia makhluk sosial dan tentunya untuk dapat diterima secara sosial dengan baik, manusia cenderung berusaha untuk mempresentasikan dirinya dengan baik, flawless (tanpa cacad). Cara untuk menutupinya bermacam-macam, dengan diam saja dalam arti tidak berbagi dengan orang lain atau dengan membuat cerita baru, termasuk skenario yang benar-benar rekaan atau dengan penambahan, pengurangan, atau penggantian detail sana-sini agar tampak lebih baik. Namun sebagaimanapun orang ingin melupakan masa lalunya, masa lalu tidak akan pernah hilang. Masa lalu membentuk diri manusia, termasuk trauma-trauma yang dialaminya. Freud, pendiri aliran psikoanalis, menekankan pentingnya masa kecil (childhood) dalam menentukan pembentukan pribadi seseorang. Saya sedikit banyak setuju dengan hal ini, walaupun tidak 100%. Saya masih percaya bahwa dalam diri manusia, ada kekuatan tersembunyi yang membuatnya benar-benar dapat berubah, yaitu ketika manusia berani berhadapan dengan dirinya sendiri, termasuk bagian yang kelam.

Jumat kemarin, saya dan sahabat saya berbagi mengenai bagian masa lalu yang kami rasa paling menyakitkan dan ingin kami lupakan. Setiap orang memang punya ketraumaan masing-masing dan saya termasuk orang yang selalu ingin lari dari ketraumaan itu. Saya tidak pernah mau membicarakannya dengan siapapun. Walaupun ya, saya hanya memberikan sedikit detail. Orang pertama yang saya beri tahu dengan sedikit lebih mendetail adalah orang yang baru saya kenal selama kira-kira setahun tetapi saya sudah begitu mempercayainya dan saya merasa aman di dekatnya. Pendek kata, saya menganggapnya sebagai kakak saya, dan saya percaya bahwa ia mampu melindungi saya atau setidaknya memberikan rasa aman ketika sewaktu-waktu saya harus berhadapan dengan ketraumaan itu. Orang kedua, sahabat saya, karena saya memang ingin berbagi dengannya. Jauh dalam lubuk hati saya, saya ingin orang yang saya sayangi mengenal saya apa adanya. Saya menyadari sebesar apapun keinginan saya untuk mengubur masa lalu saya itu dalam-dalam, tetap saja ada di situ dan dengan caranya sendiri, mempengaruhi diri saya, terutama dalam hubungan interpersonal. Saya merasa mungkin dengan berbagi, saya dapat meringankan sedikit beban saya. Dan ya, ternyata itu belum cukup, berbagi berbeda dengan menerima dan berhadapan langsung. Saya belum bisa menghadapi ketraumaan saya.

Tentunya saya pernah mencoba untuk menerimanya dengan hati lapang dan berusaha untuk berubah. Namun saya selalu gagal. Ketika bayang masa lalu menghantui, saya lari darinya dan saya mencari alasan-alasan lain untuk menutupi ketakutan saya. Akan tetapi sampai kapan saya harus berlari? Toh, ketika saya berlari, trauma saya masih melekat pada diri saya. Hanya karena saya kencang berlari, trauma itu tidak terlalu terasa (padahal sebenarnya memeluk saya dengan sangat erat). Entahlah, semua orang perlu waktu dan waktu memang diciptakan untuk memberi orang suatu kesempatan, untuk memilih, untuk menentukan dirinya sendiri. Namun waktu selalu ada batasnya dan ada saat dimana manusia harus segera memutuskan. Buat saya, rasanya saya masih perlu waktu walau entah kapan expired.
Referensi Film: Pelangi Di Atas Prahara

Big Yellow Taxi

Counting Crows feat. Vanessa Carlton

They paved paradise and put up a parking lot
With a pink hotel, a boutique, and a swingin' hot spot
Don't it always seem to go
That you don't know what you got 'til it's gone
They paved paradise and put up a parking lot

Ooooh, bop bop bop
Ooooh, bop bop bop

They took all the trees, and put em in a tree museum
And they charged the people a dollar and a half to see them
No, no, no
Don't it always seem to go
That you don't know what you got 'til it's gone
They paved paradise, and put up a parking lot

Ooooh, bop bop bop
Ooooh, bop bop bop

Hey farmer, farmer, put away your DDT
I don't care about spots on my apples,
Leave me the birds and the bees
Please
Don't it always seem to go
That you don't know what you got 'til it's gone
They paved paradise and put up a parking lot
Hey now, they paved paradise to put up a parking lot
Why not?

Ooooh, bop bop bop
Ooooh, bop bop bop

Listen, late last night, I heard the screen door slam
And a big yellow taxi took my girl away
Don't it always seem to go
That you don't know what you got 'til it's gone
They paved paradise and put up a parking lot
Well, don't it always seem to go
That you don't know what you got 'til it's gone
They paved paradise to put up a parking lot Why not?
They paved paradise and put up a parking lot
Hey hey hey
Paved paradise and put up a parking lot

Ooooh, bop bop bop
Ooooh, bop bop bop

I don't wanna give it
Why you wanna give it
Why you wanna giving it all away
Hey, hey, hey
Now you wanna give it
I should wanna give it
Now you wanna giving it all away

Hey, paved paradise to put up a parking lot


every woman's right Posted by Hello

personality test

http://similarminds.com

Global Personality Test Results

Extraversion 50%
Stability 33%
Orderliness 43%
Empathy 43%
Interdependence 50%
Intellectual 76%
Mystical 50%
Artistic 83%
Religious 30%
Hedonism 16%
Materialism 50%
Narcissism 50%
Adventurousness 76%
Work ethic 50%
Self absorbed 70%
Conflict seeking 56%
Need to dominate 50%

Romantic 50%
Avoidant 50%
Anti-authority 76%
Wealth 50%
Dependency 30%
Change averse 56%
Cautiousness 76%
Individuality 83%
Sexuality 36%
Peter pan complex 36%
Physical security 70%
Food indulgent 23%
Histrionic 56%
Paranoia 70%
Vanity 70%
Hypersensitivity 70%
Female cliche 76%

Stability results were moderately low which suggests you are worrying, insecure, emotional, and anxious.

Orderliness results were moderately low which suggests you are, at times, overly flexible, improvised, and fun seeking at the expense of reliability, work ethic, and long term accomplishment.

Extraversion results were medium which suggests you are moderately talkative, outgoing, sociable and interacting.


trait snapshot:

paranoid tendencies, irritable, anxious, fidgety, dependent, worrying, emotionally sensitive, prone to regret, depressed, second guesses self, somewhat fragile, dislikes change, prefers organized to unpredictable, suspicious, phobic, craves attention, not a risk taker, low self control, very sensitive to criticism, unadventurous, does not make friends easily, defensive, obsessive, low self esteem


Get high with DKNY! Posted by Hello

Rrr...

Pernah merasa emosi, marah, kesal bertubi-tubi sampai mencapai level yang hampir unbearable? Kadang ada penyebabnya tetapi bisa juga tanpa sebab (atau kita yang tidak tahu sebabnya?). Biasanya masing-masing orang punya cara yang berbeda untuk mengatasi keadaan ini walaupun hanya untuk sementara. Saya sendiri punya beberapa opsi, dari yang terdengar baik-baik saja sampai yang bikin buntung. Kadang saya mengantuk, lalu tertidur dan bangun dengan perasaan kesal juga. Setidaknya ada jeda sebentar. Versi berikutnya, belanja seperti yang baru saja saya lakukan. Menyusuri department store dan butik-butik, hunting benda-benda atribut fashion. Tidak segan menghamburkan uang. Senang, namun alhasil saya harus berhadapan dengan kemiskinan sekitar seminggu. Kondisi ini tidak terlalu membuat saya stress. Stress muncul kalau saya sedang kesal, ingin belanja, tetapi tidak ada uang. Saya juga akhir-akhir ini menambahkan opsi baru, hasil usulan teman saya, yang terdengar lebih 'terpuji'. Berdoa lalu mengambil secarik kertas dan menulis apa saja untuk mengekspresikan perasaan. Biasanya saya membuatnya dalam bentuk puisi. Entah mengapa puisi dapat menuangkan perasaan saya yang rumit sekalipun hingga kadang-kadang saya tidak mengerti dengan jelas apa yang saya maksud. Mungkin unconsciousness mengambil perannya di sini. Yah cukup melegakan daripada saya harus mengangkat telepon, menghabiskan waktu berjam-jam, membuang uang untuk sesuatu yang tidak 'real', dan menganggu teman. Sisi psikologis untuk curhat bisa dipenuhi Tuhan, keyakinan bahwa Dia ada dan selalu mendengar. Cukup ok khan? Bagaimana dengan anda?

To Wait: Friend or Foe?

Menunggu. Kata yang kerap terdengar di kehidupan kita sehari-hari. Banyak hal yang membuat kita menunggu. Menunggu pacar menjemput pada malam minggu. Menunggu pengumuman kelulusan. Menunggu sale barang-barang keren di mall. Menunggu mendapat uang jajan. Menunggu waktu kuliah selesai. Menunggu opera sabun diputar setiap minggu. Menunggu mendapat giliran antrian. Menunggu jawaban dari pertanyaan yang diajukan ataupun pertanyaan yang belum diajukan (tapi anehnya mengharap dijawab). Menunggu waktu untuk mati.

Menunggu, buat saya, lebih melelahkan, lebih berat daripada pekerjaan manapun. Saya lebih senang disuruh berlari mengelilingi lapangan 345 kali, membersihkan kamar yang super berantakan, mengobok-ngobok wc, menyuapi anak kecil makan, menyulam, menjahit, ataupun pekerjaan-pekerjaan lain yang saya benci. Namun tak ada yang lebih menyebalkan, mengesalkan, dan mengiris-ngiris nadi daripada menunggu. Ketika menunggu, saya tampak seperti orang bodoh karena terkadang saya tidak tahu apa yang saya lakukan. Saya diam seperti tanpa tujuan. Apapun yang saya lakukan selama menunggu menjadi hal-hal yang tidak beralasan. Dan hal tersebut bertentangan dengan prinsip hidup saya yang menegaskan bahwa harus ada alasan untuk segala sesuatu. Memang ada alasan, yaitu untuk mengisi waktu selama menunggu. Akan tetapi alasan itu tidak cukup kuat untuk membuat saya puas dengan keadaan hidup saya pada saat itu.

Namun saya sadar, betapapun saya membencinya, menunggu merupakan kodrat manusia. Hampir setiap hari saya menunggu. Terkadang saya bisa menghadapinya dengan senyum, dengan pikiran positif yang cemerlang, mengisi waktu dengan melakukan hal-hal berguna (walaupun sedikit dipaksakan), seperti membaca buku. Akan tetapi ada batas-batas toleransi tertentu yang tak bisa saya tembus. Ketika membaca buku, saya sadar bahwa saya sedang menunggu sehingga walaupun buku itu pada masa normal menarik perhatian saya, saya sudah bosan dalam waktu yang kira-kira/relatif singkat.

Mengapa saya harus menunggu? Mengapa menunggu sepertinya hal yang mutlak? Seberapa penting menunggu? Apakah dengan tidak menunggu, saya mati? Karena keterbatasan dunia ini, manusia harus menunggu. Seperti pada saat ingin membeli tiket busway, orang perlu menunggu karena petugas loket pendaftaran cuma beberapa dan tidak mungkin menangani semua pelanggan sekaligus. Saya harus menunggu untuk tahu kapan saya mati karena manusia tidak punya kapabilitas untuk membuka buku takdir. Saya harus menunggu untuk mendapat uang jajan karena saya belum mampu mencari penghasilan sendiri sementara orangtua saya perlu melakukan penyusunan alokasi uang sehubungan dengan keterbatasan penghasilan mereka. Saya harus menunggu untuk mendapatkan fotokopi bahan kuliah karena bahannya hanya satu dan teman saya yang ditugaskan untuk memfotokopi juga punya keterbatasan waktu dan ia masih harus menunggu antrian di tempat fotokopi. Saya harus menunggu pacar ketika ia harus menempuh perjalanan tertentu untuk bertemu dengan saya. Belum lagi kalau jalanan macet. Saya harus menunggu reaksi gebetan karena saya tidak bisa mengetahui isi hati orang tanpa dia mengkomunikasikannya (baik melalui kata-kata ataupun tindak tanduk lainnya) dan dia sendiripun punya keterbatasan yang sama sehingga harus melakukan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Saya harus menunggu untuk tahu hasil kuis statistik lalu karena dosennya sendiri punya keterbatasan waktu dan tenaga sehingga ia harus mencari waktu yang tepat untuk memeriksa pekerjaan mahasiswanya. Kesimpulannya, banyak alasan yang membuat kita harus menunggu dan oleh karena itulah, menunggu menjadi sesuatu yang penting bagi manusia, termasuk saya.

Mengapa menunggu begitu sulit dan melelahkan? Mengapa ketika kata ini terlintas, saya langsung merasa lemas dan sedikit banyak pesimis? Sebab menunggu membutuhkan kesabaran! Dan saya tidak punya kualifikasi yang membanggakan dalam hal tersebut. Saya selalu mengagumi orang-orang yang sabar.

Kesabaran kunci utama dari menunggu. Mengapa sangat sulit untuk dimiliki? Mungkin karena kita sudah terlalu terbiasa dengan proses yang begitu cepat dalam hidup kita. Ketika bekerja, kita dituntut untuk selalu mobile, mencakup kecepatan dalam menyelesaikan masalah. Kecepatan dalam menemukan solusi dan mengeksekusi solusi tersebut. Contohnya, dalam mengerjakan kuis statistik, waktu yang diberikan sangat singkat. Keterbatasan waktu tersebut mendorong para mahasiswa untuk bekerja dengan cepat. Menemukan konsep yang tepat untuk menjawab soal dan menuliskan jawaban yang diperoleh dari pencocokan dengan konsep itu. Ditambah lagi dengan teknologi yang sangat mempercepat perputaran hidup kita. Internet membuat kita dapat memperoleh berbagai macam informasi dalam waktu yang singkat. Perkembangan iptek telah membuat hidup kita terstandarisasi oleh pentingnya waktu. Dalam hal ini, mendorong kita untuk selalu cepat.

Terkadang kita begitu tertekan oleh standar ini, sehingga kita melakukan sesuatu terburu-buru. Kita lupa bahwa tidak ada hal yang pasti di dunia ini, semua relatif. Begitu pula, tidak semua persoalan dapat diselesaikan dengan 'cepat'. Terkadang butuh waktu yang lebih untuk menyelesaikannya. Bukan berarti lalai, melainkan merupakan strategi yang bijaksana. Kita perlu sedikit mengurangi agresivitas kita dan menunggu. Di sini kesabaran kita harus mengambil perannya.

Kesabaran dapat kita pelihara pertama-tama dengan menyadari bahwa sabar bukan berarti pasrah. Sabar adalah suatu proses yang menyebabkan proses menunggu berhasil dengan baik. Menunggu berbeda dengan pasrah. Pasrah adalah keadaan helpless yang disebabkan oleh menyerah, merupakan proses pasif. Menunggu adalah proses aktif yang seringkali tampak pasif. Disebut aktif dalam konteks merupakan sebuah usaha untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan.

Tidak mudah 'mencabut' diri kita yang selalu 'cepat' dan menjadi pribadi yang sabar. Kesabaran bukanlah sesuatu hal yang tidak mungkin kita miliki asalkan kita punya kesadaran atas pentingnya kesabaran menunggu dan kita punya keinginan yang kuat untuk melaksanakan hal yang kita anggap terbaik itu.

ORDINARY PEOPLE (JOHN LEGEND)

[Verse 1]
Girl im in love with you
This ain't the honeymoon
Past the infatuation phase
Right in the thick of love
At times we get sick of love
It seems like we argue everyday

[Bridge]
I know I misbehaved
And you made your mistakes
And we both still got room left to grow
And though love sometimes hurts
I still put you first
And we'll make this thing work
But I think we should take it slow

[Chorus]
We're just ordinary people
We don't know which way to go
Cuz we're ordinary people
Maybe we should take it slow
(Take it slow oh oh ohh)
This time we'll take it slow
(Take it slow oh oh ohh)
This time we'll take it slow

[Verse 2]
This ain't a movie no
No fairy tale conclusion ya'll
It gets more confusing everyday
Sometimes it's heaven sent
Then we head back to hell again
We kiss then we make up on the way

[Bridge]
I hang up you call
We rise and we fall
And we feel like just walking away
As our love advances
We take second chances
Though it's not a fantasy
I Still want you to stay

[Chorus]
We're just ordinary people
We don't know which way to go
Cuz we're ordinary people
Maybe we should take it slow
(Take it slow oh oh ohh)
This time we'll take it slow
(Take it slow oh oh ohh)
This time we'll take it slow

[Verse 3]
Take it slow
Maybe we'll live and learn
Maybe we'll crash and burn
Maybe you'll stay, maybe you'll leave,
maybe you'll return
Maybe another fight
Maybe we won't survive
But maybe we'll grow
We never know baby youuuu and I

[Chorus]
We're just ordinary people
We don't know which way to go
Cuz we're ordinary people
Maybe we should take it slow
(Heyyy)
We're just ordinary people
We don't know which way to go
Cuz we're ordinary people
Maybe we should take it slow
(Take it slow oh oh ohh)
This time we'll take it slow
(Take it slow oh oh ohh)
This time we'll take it slow

A Simple yet Complex Matter of Life

Murtad. Sebagian mengatakan demikian. Sebagian lagi mengurut dada dan berniat untuk mendoakan saya, semoga saya kembali ke jalan yang’benar’, jalan Tuhan. Mereka memandang saya dengan aneh. Mungkin kasihan tetapi ada unsur melecehkan. Sudah lama saya menolak untuk pergi ke Gereja dan melakukan ritual-ritual keagamaan. Sebagian mengatakan saya malas. Ya, mereka memang benar. Saya malas untuk melakukan semuanya. Akan tetapi jarang dari mereka yang sanggup mengerti dan menerima alasan di balik kemalasan saya. Saya sedikit banyak memaklumi perlakuan mereka sebab sangatlah sulit untuk memahami sesuatu yang benar-benar di luar kotak indoktrinasi masyarakat apalagi yang dijadikan parameter kebaikan. Namun bukan alasan pribadi saya yang ingin saya bicarakan.

Salah satu parameter kebaikan adalah apakah ia religius atau tidak. Cara untuk menunjukkannya adalah dengan sering beribadah, setidaknya reguler seminggu sekali. Saya tidak mengatakan bahwa mereka melakukannya semata-mata karena ingin mendapatkan penghargaan di masyarakat. Ada yang benar-benar menemukan kedamaian di sana, menemukan tempat berpijak dan berteguh. Akan tetapi ada juga yang merupakan campuran dari kemungkinan dua alasan yang telah saya kemukakan.

Untuk alasan yang pertama, seperti orang Farisi yang kerap diceritakan dalam kitab suci agama saya, saya mencapnya munafik. Tidak salah, itu adalah pilihan mereka. Life is about choices. Yang saya sesalkan adalah ketika agama yang punya power sangat besar dijadikan tameng untuk menjustifikasi perbuatan mereka. Kerap hal ini diakibatkan pemahaman yang dangkal tentang keagamaan mereka. Kitab suci ditafsirkan secara harafiah sehingga tafsiran itu mengaburkan makna yang sebenarnya, yang berada di balik semuanya, yang diperuntukkan bagi orang-orang yang think outside the box. Seorang teman pernah sekali berkata pada saya, “Al-Quran itu untuk orang yang berpikir.” Saya rasa kata-kata itu tidak hanya diperuntukkan untuk penganut agama Islam tetapi juga untuk pemeluk seluruh agama. Keterbatasan bahasa manusia acap membuat pesan-pesan Ilahi sulit tersampaikan dan oleh karena itu, kitab suci menggunakan simbol-simbol. Untuk memahaminya, kita perlu berpikir dengan kritis. Orang-orang yang fanatik berlebihan, korban dari kedangkalan pemikiran mereka, inilah yang mudah disetir untuk kepentingan politisi-politisi.

Mengenai kepentingan-kepentingan politisi, dewasa ini ada banyak pihak yang menggunakan agama untuk kepentingan politik. Keagungan dan kemuliaan surgawi diseret ke kenistaan dan kedurhakaan dunia. Orang-orang ini tahu bahwa dengan modal agama, mereka bisa memperoleh kekuatan politik yang besar sebab agama telah menjaring massa yang besar lagi loyal dan dengan ‘merangkul’ agama, mereka tak perlu susah-susah lagi. Mereka tinggal mengambil alih yang sudah ada. Orang-orang picik dan licik inilah yang menyebabkan terjadinya konflik antar pemeluk agama dan ancaman disintegrasi bangsa. Kemaksiatan ini takkan terjadi dengan mudahnya apabila insan-insan tokoh besar yang duduk dalam lembaga keagamaan tidak tergiur oleh kenikmatan duniawi. Dengan iming-iming harta, mereka bisa mengeluarkan ‘surat keputusan’ atau fatwah tertentu yang menguntungkan orang yang membayar mereka. Money talks, baby.

Sekarang sebagai bagian dari masyarakat yang katanya berbudaya tinggi, apakah kita mau tunduk pada keinginan cecunguk-cecunguk itu? Kita harus selalu waspada menggunakan akal sehat kita. Jangan mau ikut apapun kata mereka seperti kerbau yang dicucuk hidungnya tetapi kritisilah setiap pernyataan itu. Apa maksud di balik semuanya? Adakah nilai positif di dalamnya? Ataukah semuanya sarat dengan kepentingan politik? Terakhir, tanyakan pada diri kita. Apakah kita mau melakukannya? Apakah suara hati kita mendukungnya? (konon suara hati kita adalah suara Tuhan dan saya percaya) Semua itu adalah pilihan kita sendiri.

On The Way to Beauty

Cantik? Siapa sih yang tak mau tampil cantik? Kecantikan membawa banyak berkah. Dikagumi, diperhatikan orang lain. Orang yang cantik kebanyakan mendapatkan perlakuan istimewa dari masyarakat. Penerimaan secara sosial tampak lebih mudah bagi perempuan yang cantik. Apalagi kalau ditunjang oleh fashion style yang bagus. Semua mata tertuju pada dia, baik laki-laki maupun perempuan. Perempuan lain memandang dengan rasa kagum sekaligus iri sedangkan laki-laki memandang dengan nafsu [1].

'Keuntungan' ini makin mendorong perempuan untuk bisa tampil lebih cantik [2]. Media massa terus mendengung-dengungkan kriteria cantik dan produsen berlomba-lomba meluncurkan berbagai macam produk ke dalam pasar. Mereka tahu kebanyakan perempuan akan melakukan apa saja untuk tampil cantik sekaligus menarik. Banyak hal yang ditawarkan, produk kecantikan seperti Lancome, Estee Lauder, dan perusahaan sebangsanya. Ada lagi plastic surgery untuk memperbaiki bentuk tubuh ataupun wajah yang kurang proporsional atau ideal. Juga banyak pula label-label fashion yang menawarkan berbagai macam model pakaian dengan trend-trend terkini. Ada pula program pengurangan berat badan, mulai dari makanan (misalnya susu penahan lapar), program fitness (aerobic, body language, dan sebagainya), sampai krim penghancur lemak yang secara logika sulit diterima keefektifannya.

Memang betul, tampil cantik mendapatkan nilai plus di lingkungan sosial. Siapa sih yang mau dipandang sebelah mata hanya gara-gara penampilan. Namun sayangnya banyak orang dirugikan oleh konsep kecantikan (atau membuat diri sendiri rugi?)

Kesampingkan dulu konsep inner beauty. Sekarang kita berbicara tentang outer look. Seperti apa definisi cantik di mata sebagian besar masyarakat? Kebanyakan berpendapat cantik itu bertubuh ramping dan semampai, berkulit putih, bermata besar. Kalau mau melihat 'kecantikan sempurna' lihatlah Barbie. Akan tetapi tidak semua perempuan 'diberkahi' dengan kondisi fisik demikian. Menghadapi tekanan sosial yang besar, banyak perempuan yang katanya tidak masuk kategori ideal, merasa frustasi dan mencoba segala cara agar bisa menjadi cantik (yang ideal).

Tak jarang saking depresinya, mereka memunculkan deviasi dalam tingkah lakunya, seperti eating disorder. Eating disorder adalah gangguan pada tingkah laku pola makan individu. Yang akrab di telinga kita ada dua jenis, bulimia nervosa dan anorexia nervosa. Saya tidak akan membahas lebih lanjut mengenai kedua disorder ini, namun saya ingin mengedepankan dampak dari kedua abnormalitas ini. Berawal dari rasa rendah diri, depresi sampai gangguan fisik (karena tidak ada asupan makanan) yang bisa berakibat kematian.

Ada dampak lain yang sering kita, terutama kaum perempuan, rasakan, yaitu pola hidup konsumtif. Trend-trend kecantikan dan fashion terus-menerus berubah seiring dengan perkembangan kreativitas para designer trendsetter dunia. Untuk tetap keep up dengan konsep cantik ideal, banyak orang yang terkena sindrom shopaholic. Shopaholic atau gila belanja sudah begitu merambah masyarakat sampai-sampai ada novel atau yang akrab disebut chicklit berjudul Confession of A Shopaholic. Di situ diceritakan si tokoh utama mengalami berbagai macam kesulitan gara-gara hobi berbelanjanya itu. Bagi orang yang beruntung mempunyai kelebihan yang besar dibandingkan orang lain (golongan kelas menengah ke atas), dampak sindrom ini tentunya tidak terlalu berpengaruh. Namun bagi yang berada di kelas menengah dan menengah ke bawah? Tentunya akan sangat terasa. Bagaimana kesulitannya pada saat penagihan kartu kredit. Tidak hanya shopaholic, gaya hidup konsumtif pun merambah ke plastic surgery untuk mengubah bentuk fisik yang dianggap tidak ideal. Tentunya masih banyak contoh lagi dari gaya hidup konsumtif. Pada intinya, budaya konsumerisme terkadang bisa membawa berbagai macam dampak negatif, seperti meningkatnya kriminalitas (karena kesenjangan sosial menimbulkan kecemburuan sosial).

Tidaklah salah jika kita ingin menjadi cantik (idealis) tetapi kita perlu menyesuaikan keinginan kita dengan keadaan kita. Maksud saya, kita harus mampu berkompromi dengan realitas. Tidak perlu tampil cantik bak Jennifer Lopez ataupun supermodel-supermodel untuk mendapatkan penerimaan secara sosial. Cukup dengan tampil rapi dan bersih, kita sudah menarik. Jika ingin tampil fashionable, tidak perlu membuang banyak uang untuk membeli model-model keluaran terbaru. Pergunakan kreativitas anda untuk mix and match. Ada nilai tambah di sini dibandingkan dengan orang lain, yaitu bisa tampil menarik dan berbeda hanya dengan uang yang relatif sedikit. Jika punya tubuh besar, jangan rendah diri. Lakukanlah olahraga setiap hari dengan cukup, tak perlu berlebihan. Bisa dilakukan sendiri tanpa biaya, seperti lari pagi, sit up, dan sedikit senam. Yang penting punya tubuh yang kencang. Sisanya, siasatilah dengan cara berpakaian. Tak perlu mengeluarkan jutaan rupiah, gunakanlah prinsip mix and match. Terakhir, sesuaikanlah dengan kepribadian anda agar anda bisa lebih nyaman dan percaya diri.

Akhir kata, tampil menarik tak perlu dengan uang yang banyak dan usaha yang berlebihan. Andalkanlah kreativitas anda. Dan ingat pula, tunjanglah dengan inner beauty. Anda pasti tampil lebih menarik, bahkan mungkin lebih daripada orang-orang yang cantik 'dari sananya'. Kunci terakhir: percaya diri.

[1] dalam konteks heteroseksual
[2] dalam konteks cantik ideal masyarakat pada umumnya

VIRGINITAS DAN SAYA

VIRGINITAS DALAM MASYARAKAT

PENGERTIAN UMUM VIRGINITAS
Sebagian besar masyarakat mendefinisikan virginitas secara biologis. Menurut mereka, virginitas adalah suatu kondisi dimana orang belum pernah melakukan hubungan seksual. Pada perempuan, virginitas ditandai dengan utuhnya selaput dara. Selaput dara yang utuh mengindikasikan bahwa perempuan pemiliknya adalah perawan. Selaput darah bisa sobek atau tidak ada karena berbagai macam penyebab, antara lain:

  1. Hubungan seksual
    Penetrasi penis dan vagina menyebabkan sobeknya selaput dara.
  2. Kecelakaan
    Selaput dara bisa sobek karena kecelakaan seperti jatuh dari sepeda, jatuh dari kuda, dan seterusnya.
  3. Bawaan sejak lahir
    Jika seorang perempuan tidak mempunyai selaput dara sejak lahir, perempuan tersebut tetap dicap tidak perawan.

Sedangkan laki-laki tidak memiliki parameter secara biologis mengenai virginitas.

VIRGINITAS DALAM KULTUR INDONESIA
Kultur masyarakat Indonesia memandang seks sebagai suatu hal yang sakral, yaitu sebagai wujud cinta kasih dan untuk meneruskan keturunan. Keluarga adalah hal yang penting. Oleh karena itu, seks ’dilegalkan’ ketika sepasang laki-laki dan perempuan telah mengikatkan diri dalam sebuah lembaga perkawinan. Dengan kata lain, virginitas hanya boleh ’dilepas’ ketika sudah menikah. Atau bisa juga dikatakan bahwa seks pranikah dilarang.

Pandangan ini dipengaruhi banyak ataupun sedikit dari agama-agama yang ada di Indonesia. Indonesia memiliki lima agama resmi, antara lain Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha. Kelima agama ini melarang seks pranikah. Artinya kelima agama ini menganggap penting virginitas. Oleh karena pengaruh agama besar dalam masyarakat, nilai-nilainya juga melembaga dalam kultur masyarakat.

Laki-laki ataupun perempuan harus menjaga virginitasnya sebelum menikah. Namun isu virginitas seringkali dikaitkan dengan perempuan dan seakan-akan yang bertanggung jawab menjaga virginitasnya adalah perempuan. Hal itu disebabkan oleh ketiadaan penanda virginitas bagi laki-laki seperti selaput dara pada perempuan.

Seorang perempuan dinilai apakah ia pantas bagi seorang laki-laki, salah satunya, berdasarkan virginitasnya. Ketika seorang perempuan tidak dapat menjaga virginitasnya, ia dicap sebagai perempuan murahan. Ia cenderung dimusuhi oleh masyarakat dan bahkan dikucilkan. Betapa berat beban seorang hawa!

Laki-laki bisa melepaskan virginitasnya kapan saja ia mau dan tidak diketahui oleh masyarakat. Lama-kelamaan terjadi pergeseran nilai budaya dalam suatu kelompok masyarakat. Seorang pria dianggap jantan apabila ia mengambil virginitas banyak perempuan. Betapa menyedihkan.
Seiring dengan era globalisasi, banyak nilai-nilai budaya asing , terutama budaya barat, masuk ke dalam kebudayaan Indonesia. Dalam budaya barat, seks sudah bukan lagi suatu hal yang sakral. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menurut kultur Indonesia, virginitas mulai kehilangan kesakralannya.


VIRGINITAS DALAM PANDANGAN SAYA

PEREMPUAN: SELAPUT DARA, PRIA: ???
Melihat kenyataan yang demikian, saya bertanya-tanya. Mengapa Tuhan menciptakan perempuan dengan selaput dara yang mengindikasikan virginitas dirinya? Mengapa Tuhan tidak melakukan hal yang sama terhadap laki-laki? Betapa tidak adilnya Tuhan!

Akan tetapi setelah saya renungkan lebih lanjut, pertanyaan saya adalah pertanyaan yang tidak mungkin mampu dijawab manusia. Hanya Tuhan yang tahu jawabnya. Yang bisa saya katakan dari proses kontemplasi saya adalah bahwa sebenarnya yang memberikan nilai virginitas adalah manusia. Yang membuat selaput dara sebagai indikator virginitas perempuan adalah manusia.

Saya berkesimpulan bahwa manusia tidak adil. Manusia memilih selaput dara sebagai indikator virginitas seorang perempuan, sedangkan laki-laki tidak ditentukan indikatornya.
Jika alasannya secara biologis laki-laki memang ditakdirkan tidak diketahui kevirginitasannya, manusia tidak berhak menilai virginitas perempuan dari kondisi fisiknya pula. Lagipula selaput dara bisa saja hilang bukan karena hubungan seksual melainkan kecelakaan atau bawaan sejak lahir.

Kalau memang virginitas itu penting dan perlu dicari indikatornya, carilah indikator yang memperlakukan laki-laki dan perempuan secara adil. Dimulai dengan mengubah pengertian virginitas. Menurut saya pribadi, virginitas adalah suatu kondisi dimana seorang individu belum pernah benar-benar melakukan hubungan seksual. Hubungan seksual yang saya maksud di sini adalah hubungan seksual atas dasar kasih sayang (cinta) yang mendalam, bukan hubungan seksual dengan paksaan seperti pemerkosaan maupun hubungan seksual hanya karena kesenangan.

Kemudian dari penyataan saya di atas, mungkin akan timbul pertanyaan, ”Bagaimana kita dapat mengetahui seseorang virgin atau tidak jika tidak ada indikator pasti yang bisa diukur seperti selaput dara?” Seperti yang saya singgung sebelumnya, virginitas lepas apabila seseorang telah melakukan hubungan seksual atas dasar cinta. Salah satu dasar dari cinta adalah kepercayaan. Apabila pasangan mengatakan bahwa ia belum melepaskan virginitasnya (tentunya dalam konteks yang telah saya kemukakan), percayalah bahwa ia masih virgin.

MAKNA VIRGINITAS
Setelah saya mencoba memberikan definisi dari perspektif pribadi saya terhadap virginitas, saya ingin mengemukakan pendapat saya tentang makna virginitas. Apa perbedaan definisi dengan makna? Definisi adalah penyataan yang mendeskripsikan suatu fenomena. Sedangkan makna adalah pentingnya fenomena itu.

Untuk saya pribadi, virginitas memang penting dan alangkah baiknya dijaga. Saya, sebagai seorang perempuan, ingin memberikan virginitas saya kepada orang yang benar-benar saya anggap tepat (baca: orang yang saya cintai).

Walaupun virginitas penting, saya juga sadar bahwa ada hal-hal lain yang lebih penting daripada hal itu. Masih ada loyalitas, kepercayaan, kejujuran, kemurahan hati, dan seterusnya yang posisinya berada di atas virginitas. Mengutip perkataan dari seorang kawan, ”virginitas adanya di nomor 17”. Tentunya teman saya tidak memaksudkannya secara harafiah. Ia ingin mengatakan bahwa virginitas bukan hal yang terpenting.

Andaikan anda mempunyai pasangan yang sangat cocok dengan anda dan sangat menyayangi anda. Ia sangat memahami anda, selalu berada di sisi anda saat suka ataupun duka, rela berkorban untuk anda tetapi ia tidak virgin. Apakah adil bagi ia dan anda jika anda ingin meninggalkannya hanya karena ia tidak virgin?

Menurut saya, orang-orang yang benar-benar mencari pasangan hidup pasti mengharapkan pendampingan dan berbagi suka dan duka. Hal inilah yang menjadi prioritas utama. Apakah virginitas dapat memenuhi harapan saya? Jawabnya tentu tidak. Untuk saya, virginitas hanyalah aksesori tambahan, bukan hal yang esensial. Boleh ada boleh tidak.


KESIMPULAN

Virginitas memang selalu menjadi isu yang menarik untuk dibahas karena mengundang banyak kontroversi, misalnya tentang definisinya. Masih belum ada definisi yang jelas mengenai virginitas. Apakah virginitas adalah keadaan dimana seseorang belum pernah melakukan hubungan seksual secara sadar, secara dipaksa, atau belum pernah melakukan hubungan seksual yang dilandasi oleh rasa cinta?

Juga terjadi perbedaan pendapat mengenai makna virginitas. Ada yang menganggap virginitas bukan hal yang terpenting. Ada juga yang menganggap virginitas hal yang sangat penting dan bahkan menentukan seseorang layak atau tidak.

Oleh karena belum ada batas yang jelas mengenai virginitas, kita diberikan kebebasan untuk menciptakan pemikiran kita sendiri. Anggaplah kebebasan ini sebagai makanan untuk proses kognitif kita. Kebebasan ini tentu akan melahirkan banyak perbedaan. Bukankah perbedaan mengakibatkan dunia kita semakin menarik.

P.S: Saya menulis topik ini untuk tugas akhir mata kuliah Filsafat Umum dan Logika. Tulisan ini saya muat di sini dengan berbagai perubahan untuk tujuan adaptasi.

Book Store: tempting yet horrible


Akhir-akhir ini toko buku menjadi spot favorit saya, terutama QB karena customer diberi kesempatan untuk membaca buku yang diinginkan di sana secara gratis dengan tempat khusus. Baru-baru ini saya membeli tiga buah buku baru padahal saya masih harus menyelesaikan dua buku lagi. Jadi total PR saya ada lima buku. Inilah akibat kurang pengontrolan diri terhadap nafsu belanja. Pusing! Posted by Hello

February 14, 2005


Cinta itu berharga, maka hari kasih sayang jangan melulu diwarnai dengan pink. Valentine is gold... untuk menandai betapa berharganya cinta di dunia ini. Happy Valentine's Day! Posted by Hello

FIRST IMPRESSION


Posted by Hello

Sebenarnya seberapa penting first impression bagi seseorang? Saya pribadi menganggapnya sangat penting. First impression saya terhadap seseorang mempengaruhi penilaian saya terhadap orang itu dalam skala yang cukup besar. Apalagi saya tidak pernah mengubah penilaian saya secara total. Yang ada hanya semacam update terhadap data tentang orang itu dalam otak saya. Dengan kata lain, garis besarnya tetap sama.

Oleh karena itu, saya selalu berusaha untuk memberikan kesan pertama yang baik dalam setiap event terutama yang penting dalam hidup saya. Misalnya, berkaitan dengan status saya sekarang ini sebagai seorang mahasiswa, sangat krusial bagi saya untuk memberikan kesan pertama yang baik terhadap dosen. Caranya, saat kuliah awal, saya rajin kuliah, duduk di barisan terdepan, dan 'memasang topeng' seorang mahasiswa yang baik. Mahasiswa yang selalu memperhatikan penjelasan dosen, berusaha menjawab pertanyaan ataupun mengajukan pertanyaan. Indikator keberhasilan usaha saya adalah ketika dosen menjelaskan sesuatu hal dan bertanya, matanya mengarah kepada saya dalam frekuensi yang tinggi. Jika dosen itu sudah melakukannya, berarti saya telah berhasil memberikan image yang kuat dalam arti positif.

Setelah itu, saya terkadang akan memanjakan diri saya dengan berbuat sedikit kenakalan, misalnya bolos. Penilaian dosen itu tidak akan berubah, terlebih lagi kalau ditunjang dengan kemampuan akademis yang baik. Kemampuan akademis tidak diukur hanya dengan skor pada saat kuis ataupun ujian tetapi juga seberapa kritis kita terhadap sesuatu hal yang disodorkan di kelas dan kedalaman logika kita dalam menjawab suatu pertanyaan. Dengan demikian dosen akan memaklumi kenakalan saya sebagai sesuatu yang wajar. "Saya juga pernah jadi mahasiswa," mungkin begitu pikirnya.

Selama kuliah dua minggu ini (satu minggu efektif), saya merasa saya sudah berada dalam tahap awal dalam 'menarik perhatian' dosen saya. Bahkan ada yang menganggap saya seseorang yang tepat untuk menjadi seorang psikolog karena di matanya, saya adalah orang yang sabar. Padahal saya orang yang selalu terburu-buru dan itu berarti saya sangat tidak sabar. Mungkin ketika saya menunjukkan kepanikan, dosen itu akan menganggapnya sebagai pribadi abnormal yang muncul karena terpicu oleh situasi sekitar.

Namun ketika kita sudah berhasil menciptakan kesan pertama yang mengagumkan, kita harus tetap menjaganya agar tetap demikian, kalau bisa ditingkatkan. Sedikit melepas pribadi 'negatif' kita boleh, tetapi ada baiknya tidak terlalu sering. Jika kita terlalu sering melakukannya, penilaian orang lain terhadap kita bisa berubah menjadi buruk. Celakanya, bisa sama buruk dengan orang yang first impression-nya jelek karena image kita sudah terlanjur melekat dengan kuat di hati orang lain.

Akhir kata, kita bisa saja cuek dengan penilaian orang lain tetapi harus disadari pula bahwa manusia adalah makhluk sosial. Oleh karena itu, social acceptance merupakan kebutuhan manusia. Menciptakan kesan yang baik bukan berarti kita harus berpura-pura menjadi orang lain. Aliran humanistik mengatakan bahwa manusia itu pada dasarnya baik dan saya percaya terhadap pernyataan itu sepenuhnya. Maka keluarkan sisi baik kita yang terbaik. Niscaya hal itu akan memberikan efek yang positif bagi diri kita sendiri dan lingkungan.

ALONE

Pernahkan anda kesepian padahal di sekitar anda, ada banyak orang dan suasananya ramai? Anda merasa hidup di dunia yang berbeda. Raga anda memang ada di sana tetapi hati dan pikiran anda berada di tempat yang lain. Akhir-akhir ini saya mengalaminya. Entah apa yang membuat saya demikian. Saya kesepian.

Keadaan ini membuat saya malas berbicara dengan orang lain karena percuma saja, ia tidak akan bisa menghilangkan perasaan saya. Saya membuang energi dengan sia-sia tanpa mendapatkan hasil yang memuaskan. Saya sadar sesadar-sadarnya bahwa saya mempunyai kecenderungan untuk bersikap tidak ramah terhadap orang lain dan hal ini mungkin akan membuat mereka tersinggung. Namun kali ini, saya ingin egois dengan memutuskan untuk berdiam diri sementara waktu dan urusan meminta maaf serta memperbaiki hubungan dilakukan di lain kesempatan ketika saya sudah kembali ke kondisi "normal".

Kemudian saya berpikir, mungkinkah ini hanya salah satu fase dalam hidup saya sebagai makhluk individu (pribadi)? Mungkin saja saya hanya butuh istirahat dari aktivitas sehari-hari. Mungkin saya butuh kesendirian. Kalau biasanya saya melakukan banyak hal bersana teman, inilah saatnya saya menjalankannya sendiri. Nonton film sendiri, makan sendiri, dan sebagainya. Saya ingin sendiri.

Ketenangan akan membuat jiwa saya merasakan kedamaian dan ketika itu, saya akan banyak berpikir dan merenungkan banyak hal. Dengan kata lain, saya merefleksikan perjalanan hidup saya selama ini. Harapan saya, saya bisa menjalani hidup saya dengan lebih baik. Lebih baik di sini berarti lebih baik untuk saya dan lebih baik untuk lingkungan sejauh tidak terlalu merugikan diri sendiri. Bukannya saya egois karena saya memang hanya bisa menjanjikan hal itu pada diri saya. Tidak mungkin saya menuruti keinginan orang lain sebab saya punya jati diri sebagai manusia yang unik. Lagipula berangkat dari kenyataan bahwa manusia berbeda-beda, idealisme mereka tentang sesuatu hal pun berlainan.

Akhir kata, saya hanya bisa menyimpulkan bahwa manusia selain makhluk sosial, juga adalah makhluk individu. Ia membutuhkan situasi yang bersifat pribadi, salah satunya kesendirian. Bukan berarti ia memutuskan hubungan dengan lingkungan sosialnya, melainkan ia mundur sejenak agar dirinya lebih baik untuk diri sendiri dan orang-orang di sekitarnya.


... Posted by Hello


I am tired... Posted by Hello


Sleeping child... Posted by Hello

My Valentine (part 2)


Hm... Interesting :) Posted by Hello

GHoST oF THe PaSt

Seiring waktu berjalan, kita hidup. Saat hidup, kita mengalami banyak peristiwa dengan berbagai dimensi waktu, antara lain masa lalu, sekarang, dan masa depan. Walaupun kita hidup sekarang, tak pelak masa lalu masih sering membayangi kita dan gambaran masa depan seringkali muncul dalam benak kita. Masa lalu dan masa depan (prediksi) menjadikan diri kita sebagai pribadi yang utuh.

Masa lalu melatarbelakangi pola pikir, keinginan, dan kepribadian kita. Tak jarang saya mendengar orang yang mengatakan bahwa dirinya harus melupakan masa lalunya. Suatu hal yang mustahil, saya pikir. Takkan pernah orang bisa menghapus masa lalunya karena masa lalu adalah bagian dari kepribadiannya. Jika masa lalu benar-benar bisa dihapus, akan terjadi distorsi dalam diri seseorang karena kehilangan salah satu komponen dirinya.

Terkadang ada hal menyakitkan yang terjadi pada masa lalu dan mengakibatkan semacam ketraumaan dalam diri. Ketika menghadapi situasi yang hampir sama, kita mungkin ketakutan dan bahkan secara ekstrim kita bisa lari atau sebisa mungkin menghindarinya karena teringat pada rasa sakit yang dahulu. Saya rasa hal inilah penyebab seseorang menutup dirinya dengan begitu keras.

Orang yang pendiam bukan berarti orang itu tertutup. Si A yang kita kenal selalu ceria dan terlihat supel bisa saja seorang yang introvert. Ketika kita merasa sudah klop mengobrol dengan dia dan ingin mengenalnya lebih jauh, tentunya kita akan melontarkan pertanyaan yang bersifat pribadi. Dalam menghadapinya, orang introvert memiliki tiga kemungkinan. Pertama, menolak untuk menjawab, termasuk berkelit dengan mengalihkan pembicaraan. Kedua, mengarang cerita palsu. Ketiga, menceritakan 'kulit luarnya' saja dan kemudian mengalihkan pembicaraan seputar dirinya itu.

Menutup diri adalah sebuah pilihan bebas. Orang berhak untuk melakukannya. Namun, setiap pilihan pasti memiliki konsekuensi. Dengan menutup diri, segala beban diri harus kita tanggung sendiri dan pasti rasanya akan lebih berat dibandingkan jika kita membaginya dengan orang lain. Orang lain yang saya maksud bukan semua orang melainkan orang yang paling kita percaya, yaitu orang yang kita sayangi dan menyayangi kita.

Belum bisa percaya dengan orang lain? Mungkin kita harus mencoba untuk lebih terbuka, dalam konteks mau mengenal orang lain, bukan menceritakan rahasia kepada semua orang. Ketika berada dalam proses mengenal itu, pastilah ada satu atau dua orang yang sreg. Saat sudah menemukannya, janganlah berkeras pada diri sendiri bahwa mereka tak mungkin bisa mengerti diri kita. Mereka bisa asalkan kita membiarkan mereka mengenal diri kita, setidaknya dari keseharian kita. Dengan kata lain, semuanya tergantung diri kita sendiri.

My Valentine (part 1)


Absolutely! Posted by Hello

Yow...

SANTA FALSE

Seringai sang awan hiasi bunga tidur
Buaikan angan dalam nyata tak berujung
Hinggapi asa dengan senyum paling palsu
Tawarkan rasa getir dengan manis madu manipulasi surgawi
Jerat hasrat diri dalam sebuah kantung pertahanan diri

Kini saatnya bangun benteng
dan susun amunisi
agar tak seorangpun dapat rampas
dan robek yang paling berharga dari diri ini
Remuk redam semua konstruksi kebutuhan dunia
Hingga dengan kepala tegak kukatakan

AKU TETAP ADA!

January 22, 2005


TOXIC BY YOUR HEAD

Hausnya dunia pada darah ditebus sudah
namun tak kunjung habis

Langit murka dan sedih, beku asa
hingga ia menangis turunkan es

Hujam dunia pada ulu hati
Tak ada apapun jua dalamnya
Kering menghitam

Jika ada saat es mengoyak
keluarlah belatung-belatung di sana
bersama bau busuk

January 5, 2005


A STORY OF A WOMAN'S LIFE

Lukisan mata perempuan penjaja kendi paku hadirku. Terhenyak dalam hening. Sosok sepasang bola mata kelam, simpan misteri besar hidup manusia. Angin bawaku ke tempat itu kala hujan turun basahi permukaan bumi dan rambutku luntur hitamnya. Perempuan itu hampiriku, pegang kedua bahuku dengan mata lembutnya. Mataku beradu dengannya. Kucoba gali isi hatinya. Begitu banyak kepedihan di dalamnya, pula kekuatan, ketabahan yang buat dunia tunduk di hadapnya. Air mata meleleh jatuh ke pipiku. Dengan tangannya, ia seka dengan kasih tulus. Kami berdua tersenyum lalu terdiam, larut dalam pikiran dan rasa.

January 1, 2005

SnaPSHoTs: TeaTeR UNgU


Saat persiapan sebelum pembacaan puisi untuk peringatan tragedi Semanggi tanggal 13 November 2004. Posted by Hello

HaRi InI: KaMis, 20 JaNuaRi 2005

Begitu mengagumkan ciptaan Tuhan, manusia. Manusia begitu kompleks sehingga banyak manusia yang tak sanggup memahami dirinya sendiri. Namun pemahaman terhadap diri sendiri sangatlah penting sebagai landasan hidup manusia. Siapa dirinya menentukan bagaimana ia menjalani hidupnya.

Kemudian lahirlah ilmu psikologi yang berusaha menjelaskan tentang tingkah laku manusia dengan berbagai pendekatan atau aliran. Oleh karena manusia masih merupakan misteri dengan segala kerumitannya, tidak ada teori yang dapat menjelaskan siapa manusia (melalui tingkah laku) secara menyeluruh. Banyak pula teori yang tidak ilmiah. Dengan kata lain, tidak dapat diuji kebenarannya secara penuh karena pada saat pengujian pasti ada kecacatan. Walaupun demikian, teori ini masih bisa diaplikasikan sesuai dengan kondisinya. Betapa rumit ciptaan Tuhan yang satu ini.

Hari ini saya menghadapi misteri diri saya sendiri. Ketika saya sedang duduk-duduk di kantin kampus sambil menunggu kedatangan seorang teman, saya iseng mengetik kata-kata di fitur SMS telepon selular saya. Herannya saya sama sekali tidak mengerti maksud kata-kata yang cukup aneh itu.


”Kudengar sitar dipetik
kupasung jantungku

Saat melodi berganti di tengah denting sunyi
kusobek selaput jantungku
hingga darah mengucur dari bibir jantungku

Ketika gendang ditabuh
kudekap jantungku
hingga terhenti denyutnya”

Jakarta, 20 Desember 2004


Saya kemudian berpikir dan teringat pada Freud, seorang selebritis psikologis mazhab psikoanalisis. Apakah mungkin tulisan saya ini didorong oleh unconsciousness saya? Apakah hal ini merupakan manifestasi dari keinginan saya yang belum atau tidak tercapai lalu bersublimasi dalam bentuk rentetan kata-kata?

Dalam rangka menjawab pertanyaan tentang makna kata-kata itu, saya berkonsultasi dengan dua orang teman. Secara tidak mengejutkan, mereka memberikan jawaban yang berbeda. Tidak ada jawaban yang pasti tentang manusia.


STUDI: PSIKOLOGI ATMAJAYA

Selama kurang lebih empat (mudah-mudahan) sampai lima tahun, saya harus berhadapan dengan kerumitan manusia dan belajar untuk memahaminya walaupun hal itu sangatlah sulit. Awalnya saya mengira dengan masuk jurusan psikologi, saya akan lebih memahami manusia (termasuk diri saya sendiri) terutama dalam konteks tingkah laku. Namun dugaan saya salah karena saya melupakan fakta bahwa manusia adalah makhluk yang kompleks sehingga tidak ada jawaban pasti. Aliran-aliran yang adapun bermacam-macam dengan penjelasan yang kontradiktif dengan tokoh atau aliran lain. Saya tidak langsung mau menyerah. Semakin bingung, semakin saya tertantang.

Di universitas tempat saya menuntut ilmu, Atmajaya, mahasiswa diminta untuk memilih peminatan dari empat bidang psikologi ketika sudah belajar selama lima semester. Keempat bidang itu, antara lain, psikologi pendidikan, psikologi sosial, psikologi industri dan organisasi, serta psikologi klinis. Tampaknya saya harus sangat memperhatikan mata kuliah-mata kuliah yang saya ambil agar saya mengetahui minat dan keahlian saya. Peminatan ini akan diteruskan menjadi benar-benar jurusan ketika mengambil program magister.

Sebentar lagi saya akan segera menghadapi semester kedua dengan mata kuliah yang lebih banyak daripada semester pertama. Kalau saat semester pertama, saya hanya menanggung sembilan belas SKS, sekarang saya harus berhadapan dengan mata kuliah sejumlah dua puluh tiga SKS. Tampaknya saya harus lebih berlatih dan berusaha lagi melakukan pembagian waktu secara efektif dan efisien untuk performa saya, baik dalam bidang akademis maupun non akademis.

Urgensi ini selain didorong oleh beban SKS yang kian bertambah juga oleh kegiatan Teater Ungu yang semakin padat di tahun 2005 ini. Masih ada empat job yang harus diselesaikan dan parahnya, waktunya berdekatan. Menyadari keterbatasan diri saya, saya terpaksa melepas posisi saya dalam suatu organisasi. Organisasi ini dengan berat hati saya tinggalkan karena peran saya di dalamnya tidaklah krusial dan masih bisa dipegang orang lain. Kesimpulannya, dalam bidang non akademis, saya memilih untuk fokus dalam Teater Ungu.


TEATER DAN SAYA

A. TEATER PUTRI SANTA URSULA

Ada alasan lain yang turut mewarnai keputusan tersebut, yaitu kecintaan saya terhadap teater. Saya mulai mengenal teater sejak tahun pertama saya duduk di SMU. Teater yang saya ikuti bernama Teater Putri Santa Ursula (TPSU). Anggota TPSU terpilih melalui seleksi yang ketat dan keras (sehingga menyebalkan untuk saya). Saya tidak menyangka bahwa nama saya tercantum dalam pengumuman anggota baru TPSU karena saya tidak melakukan usaha yang memukau ketika seleksi. Belakangan saya tahu ada seorang alumni yang memperjuangkan saya karena melihat kegigihan saya dan berharap hal itu menjadi modal untuk lebih mengembangkan TPSU. TPSU, katanya, lebih membutuhkan dedikasi daripada bakat. Ucapannya tenyata terbukti tepat di kemudian hari setelah saya berproses sekian lama bersama teater putri ini.

Selama saya bergabung dalam teater ini, saya merasakan kekeluargaan yang begitu erat, yang belum pernah saya rasakan di tempat yang seharusnya didasarkan pada hal itu (baca: keluarga). Kekeluargaan ini kian erat ketika sedang menjalani proses latihan untuk sebuah pementasan. Berbagai macam persoalan datang menghampiri dan semuanya membuat kami semakin erat karena kami sadar dengan bersatu, segala persoalan akan terasa lebih mudah untuk diselesaikan. Itulah sebabnya setelah pementasan berlangsung, saya tidak merasa senang sepenuhnya. Ada kesedihan di hati saya karena proses itu sudah berakhir. Memang kami masih akan berkumpul lagi tetapi dalam situasi yang berbeda dengan saat persiapan pementasan. Mengutip perkataan seorang teman yang terjun dalam dunia teater profesional, ”Dalam teater, proses adalah intinya sedangkan pentas hanyalah pestanya.” Saya setuju sepenuhnya dengan pernyataan tersebut.

B. TEATER UNGU
Saya tidak ingin kehilangan pengalaman berteater sehingga selepas dari SMU Santa Ursula dan bergabung dengan keluarga besar Unika Atmajaya, saya berusaha mencari informasi mengenai Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) teater. Saya bingung karena dalam masa orientasi, UKM teater sama sekali tidak diperkenalkan padahal setahu saya ada sebuah grup teater bernama Teater Ungu di Atmajaya. Secara kebetulan, saya membaca poster kecil Teater Ungu yang mengajak mahasiswa untuk turut bergabung dalam latihannya. Merasa tertarik, saya mengikutinya sampai sekarang walaupun belum resmi menjadi anggotanya. Bersama dengan tiga orang rekan lagi, saya menunggu pelantikan anggota Teater Ungu angkatan V.

Belakangan saya mengetahui bahwa Teater Ungu belum berstatus UKM atau bisa juga disebut UKM ilegal. Hal ini menimbulkan pertanyaan dalam benak saya. Teater Ungu telah melakukan banyak pementasan sendiri ataupun dalam acara kampus dengan membawa bendera Atmajaya. Setahu saya, Teater Ungu termasuk dalam jajaran teater yang cukup terkenal. Mengapa sampai sekarang belum diberikan status UKM oleh universitas?

Isu ini kerap dibicarakan dan selalu diusahakan jalan keluarnya, yaitu dengan mengirim proposal kepada pihak ‘atas’ namun selalu membuahkan kekecewaan, sebuah penolakan. Selalu menjadi harapan tiap angkatan, bahwa angkatan mereka sanggup untuk meluluhkan kekerasakepalaan pihak universitas dan menjadi asa angkatan V mendatang pula. Semoga penantian Teater Ungu berakhir dengan sebuah keberhasilan, senyum kebahagiaan seiring dengan masuknya angkatan V dalam keluarga Teater Ungu. Amien!

PRoSeS => HaSiL?

Mengakhiri semester pertama dan mengawali semester baru, fakultas memberikan laporan nilai mahasiswa yang kerap disebut KHS (Kartu Hasil Mahasiswa) pada hari Sabtu, 15 Januari 2005. Sayangnya saya tidak dapat hadir untuk mengambil hasil karena saat itu saya sedang berada dalam perjalanan menuju Bandung, kota yang sangat saya rindukan sebab di sana ada factory outlet yang menawarkan berbagai produk fashion dengan harga miring dan distro-distro yang keluarannya menjadi trend masa kini di kalangan kawula muda. Untunglah sahabat saya, Dessy bersedia mengambilkan KHS saya.

Sebenarnya tak perlu saya menunggu hari pembagian KHS untuk mengetahui nilai-nilai yang telah saya capai. Universitas memfasilitasi mahasiswa dengan program komputer yang memuat data-data pribadi mereka termasuk nilai-nilai mereka. Tak sabar untuk mengetahuinya, saya mencari tahu nilai saya di komputer universitas. Pertama kali saya mencobanya, ternyata nilai belum masuk. Kemudian setelah saya menerima kabar dari dosen saya bahwa nilai sudah dimasukkan, barulah saya kembali memeriksa di komputer itu. Memang benar hampir semua nilai sudah keluar dan hanya satu yang belum, yaitu mata kuliah Metodologi Penelitan I. Syukur alhamdullilah, nilai saya lumayan dan IP saya tidak mengecewakan untuk seorang pemalas.

Setelah mengetahui hasil studi saya selama satu semester, saya tidak langsung puas begitu saja meski nilai saya tidak bisa dikatakan buruk. Hal itu disebabkan selama proses kuliah berlangsung, saya tidak menjalaninya secara maksimal. Saya kerap tidak mendengarkan penjelasan dosen di kelas dan terkadang saya membolos. Selain itu, di fakultas psikologi yang konon mengandalkan kerajinan membaca dan kemampuan berlogika, saya termasuk mahasiswa yang kurang memenuhi syarat tersebut. Jujur, saya hanya belajar dengan frekuensi tiga bulan sekali. Dengan kata lain, hanya pada saat UTS dan UAS.

Tentu saya menyadari bahwa sesal tiada berguna. Oleh karena itu, mengawali semester dua ini, saya bertekad untuk lebih giat lagi agar nantinya saya akan merasa puas. Nilai bukanlah semata-mata demi kebanggaan orangtua melainkan untuk diri saya sendiri, sebagai bukti bahwa saya adalah orang yang berkompeten. Dengan menekankan hal itu pada diri saya sendiri, saya tidak akan merasa terbebani dalam menjalaninya. Akhir kata, saya percaya jika kita menjalani proses secara maksimal, tentu hasil yang akan dituai maksimal pula. Di semester depan, saya harus bisa lebih baik lagi. Amin.