Traumarama (Trauma Drama?)
Tak bisa dipungkiri bahwa setiap orang punya masa lalu, entah baik entah buruk. Kebanyakan orang ingin menutupi masa lalunya yang gelap karena pada dasarnya manusia makhluk sosial dan tentunya untuk dapat diterima secara sosial dengan baik, manusia cenderung berusaha untuk mempresentasikan dirinya dengan baik, flawless (tanpa cacad). Cara untuk menutupinya bermacam-macam, dengan diam saja dalam arti tidak berbagi dengan orang lain atau dengan membuat cerita baru, termasuk skenario yang benar-benar rekaan atau dengan penambahan, pengurangan, atau penggantian detail sana-sini agar tampak lebih baik. Namun sebagaimanapun orang ingin melupakan masa lalunya, masa lalu tidak akan pernah hilang. Masa lalu membentuk diri manusia, termasuk trauma-trauma yang dialaminya. Freud, pendiri aliran psikoanalis, menekankan pentingnya masa kecil (childhood) dalam menentukan pembentukan pribadi seseorang. Saya sedikit banyak setuju dengan hal ini, walaupun tidak 100%. Saya masih percaya bahwa dalam diri manusia, ada kekuatan tersembunyi yang membuatnya benar-benar dapat berubah, yaitu ketika manusia berani berhadapan dengan dirinya sendiri, termasuk bagian yang kelam.
Jumat kemarin, saya dan sahabat saya berbagi mengenai bagian masa lalu yang kami rasa paling menyakitkan dan ingin kami lupakan. Setiap orang memang punya ketraumaan masing-masing dan saya termasuk orang yang selalu ingin lari dari ketraumaan itu. Saya tidak pernah mau membicarakannya dengan siapapun. Walaupun ya, saya hanya memberikan sedikit detail. Orang pertama yang saya beri tahu dengan sedikit lebih mendetail adalah orang yang baru saya kenal selama kira-kira setahun tetapi saya sudah begitu mempercayainya dan saya merasa aman di dekatnya. Pendek kata, saya menganggapnya sebagai kakak saya, dan saya percaya bahwa ia mampu melindungi saya atau setidaknya memberikan rasa aman ketika sewaktu-waktu saya harus berhadapan dengan ketraumaan itu. Orang kedua, sahabat saya, karena saya memang ingin berbagi dengannya. Jauh dalam lubuk hati saya, saya ingin orang yang saya sayangi mengenal saya apa adanya. Saya menyadari sebesar apapun keinginan saya untuk mengubur masa lalu saya itu dalam-dalam, tetap saja ada di situ dan dengan caranya sendiri, mempengaruhi diri saya, terutama dalam hubungan interpersonal. Saya merasa mungkin dengan berbagi, saya dapat meringankan sedikit beban saya. Dan ya, ternyata itu belum cukup, berbagi berbeda dengan menerima dan berhadapan langsung. Saya belum bisa menghadapi ketraumaan saya.
Tentunya saya pernah mencoba untuk menerimanya dengan hati lapang dan berusaha untuk berubah. Namun saya selalu gagal. Ketika bayang masa lalu menghantui, saya lari darinya dan saya mencari alasan-alasan lain untuk menutupi ketakutan saya. Akan tetapi sampai kapan saya harus berlari? Toh, ketika saya berlari, trauma saya masih melekat pada diri saya. Hanya karena saya kencang berlari, trauma itu tidak terlalu terasa (padahal sebenarnya memeluk saya dengan sangat erat). Entahlah, semua orang perlu waktu dan waktu memang diciptakan untuk memberi orang suatu kesempatan, untuk memilih, untuk menentukan dirinya sendiri. Namun waktu selalu ada batasnya dan ada saat dimana manusia harus segera memutuskan. Buat saya, rasanya saya masih perlu waktu walau entah kapan expired.
Jumat kemarin, saya dan sahabat saya berbagi mengenai bagian masa lalu yang kami rasa paling menyakitkan dan ingin kami lupakan. Setiap orang memang punya ketraumaan masing-masing dan saya termasuk orang yang selalu ingin lari dari ketraumaan itu. Saya tidak pernah mau membicarakannya dengan siapapun. Walaupun ya, saya hanya memberikan sedikit detail. Orang pertama yang saya beri tahu dengan sedikit lebih mendetail adalah orang yang baru saya kenal selama kira-kira setahun tetapi saya sudah begitu mempercayainya dan saya merasa aman di dekatnya. Pendek kata, saya menganggapnya sebagai kakak saya, dan saya percaya bahwa ia mampu melindungi saya atau setidaknya memberikan rasa aman ketika sewaktu-waktu saya harus berhadapan dengan ketraumaan itu. Orang kedua, sahabat saya, karena saya memang ingin berbagi dengannya. Jauh dalam lubuk hati saya, saya ingin orang yang saya sayangi mengenal saya apa adanya. Saya menyadari sebesar apapun keinginan saya untuk mengubur masa lalu saya itu dalam-dalam, tetap saja ada di situ dan dengan caranya sendiri, mempengaruhi diri saya, terutama dalam hubungan interpersonal. Saya merasa mungkin dengan berbagi, saya dapat meringankan sedikit beban saya. Dan ya, ternyata itu belum cukup, berbagi berbeda dengan menerima dan berhadapan langsung. Saya belum bisa menghadapi ketraumaan saya.
Tentunya saya pernah mencoba untuk menerimanya dengan hati lapang dan berusaha untuk berubah. Namun saya selalu gagal. Ketika bayang masa lalu menghantui, saya lari darinya dan saya mencari alasan-alasan lain untuk menutupi ketakutan saya. Akan tetapi sampai kapan saya harus berlari? Toh, ketika saya berlari, trauma saya masih melekat pada diri saya. Hanya karena saya kencang berlari, trauma itu tidak terlalu terasa (padahal sebenarnya memeluk saya dengan sangat erat). Entahlah, semua orang perlu waktu dan waktu memang diciptakan untuk memberi orang suatu kesempatan, untuk memilih, untuk menentukan dirinya sendiri. Namun waktu selalu ada batasnya dan ada saat dimana manusia harus segera memutuskan. Buat saya, rasanya saya masih perlu waktu walau entah kapan expired.
Referensi Film: Pelangi Di Atas Prahara
Posted in: on Sunday, June 12, 2005 at at 5:59 PM