Jia you!

UAS sudah berlalu berminggu-minggu yang lalu dan menjelang berakhirnya masa KB (tanpa T, karena tidak bisa tambah mata kuliah) semester padat, nilai-nilai akhir yang akhirnya akan digenerasikan ke dalam IPS dan IPK ditempel di papan pengumuman gedung C lt. 4 dan 5. Berbagai macam reaksi muncul, ada yang senang, ada yang sedih dan menyesali segala sesuatunya walau mungkin tidak ada yang perlu disesali, ada yang biasa-biasa saja, dan ada yang marah-marah yang kadang tak jelas tertuju pada siapa. Sayangnya, ternyata di antara teman-teman saya, banyak yang turun nilainya. Bahkan ada satu seksi yang mayoritas tidak lulus, hanya 16 dari 45 mahasiswa yang lulus, dalam suatu mata kuliah. Sensasional, menurut saya dan menimbulkan tanda tanya, yang mana yang salah? dosen atau mahasiswanya? Entahlah. Saya tidak berani menyimpulkan walau penasaran karena saya tidak mengalaminya sendiri (bukan seksi saya) dan kalaupun saya bertanya, saya ragu karena jawaban yang mungkin saya dapat sudah terkontaminasi oleh subjektivitas.

Di antara mahasiswa-mahasiswa yang sedih dan menyesal karena turun nilainya, banyak yang sebenarnya mendapat nilai yang cukup baik. Katakanlah minimal B. Wah, di mata orang lain, nilai B sudah cukup memuaskan. B = Baik. Akan tetapi untuk orang-orang yang need achievementnya tinggi, nilai B seperti nilai C atau yang lebih ekstrim seperti nilai D atau E. Kalau begitu, mungkin pelabelan seperti di buku rapor SD - SMA (bahwa A adalah amat baik, B baik, C cukup, dst) memang tidak tepat karena terkandung, sekali lagi, unsur subjektivitas. Ternyata banyak kepentingan individu dalam rentang lima huruf tersebut.

Tendensi obsessive compulsive? Rasanya belum. Perfeksionis? Ya. Perfeksionis mutlak dalam arti memang perfeksionis tulen? Mungkin. Perfeksionis karena kondisi yang memaksa? Bisa juga.

Namun kejadian ini sedikit menjadi permenungan untuk saya. Seberapa jauh kita harus menetapkan kriteria untuk menggolongkan yang baik dan yang buruk? Bila melihat teman-teman saya, rasanya ada beragam sekali hal-hal demikian. Mungkin kita harus mempertimbangkan kepentingan-kepentingan apa yang harus diperjuangkan di dalamnya hingga kriteria itu benar-benar menjadi benar-benar milik diri dimana ketika tercapai ada rasa puas yang besar. Rasanya mustahil untuk menyeragamkan seluruh kriteria orang-orang.

Namun banyak orang yang tidak memahami hal ini. Mereka cenderung menilai orang lain berdasarkan kriteria dirinya sendiri. Bukannya tidak boleh, bahkan bisa dimaklumi karena merupakan reaksi otomatis setiap manusia. Hanya janganlah terlalu eksesif sehingga mengganggu orang lain tersebut. Saya percaya setiap orang punya kebebasan untuk menentukan dirinya. Begitu pula dalam nilai, setiap orang memiliki kemampuan dan potensi yang beragam dan oleh karenanya parameter baik dan buruknya pun berbeda.

Oleh karena itu, saya sebisa mungkin menghindari rasa kasihan pada orang lain. Meskipun tetap terbersit dalam diri saya, saya berusaha untuk tidak terlalu menunjukkannya. Kata-kata belasungkawa "wah... sayang ya..." cukup saya hindari. Saya lebih suka diam dalam saat seperti ini. Kalaupun saya harus berkata sesuatu, saya lebih memilih untuk langsung memberikan solusi. Entahlah mungkin orang lain menganggap saya dingin dan tidak peduli tetapi saya sendiri ketika mengalami hal itu dan dikasihani, saya merasa tidak nyaman karena menurut saya, rasa kasihan memberikan label inferioritas pada seseorang. Parahnya, mereka mencari kenyamanan dengan terlalu bergantung pada orang lain, dalam arti secara berlebihan. Bisa mengeluh terus-menerus sampai meminta orang lain untuk mengerjakan urusannya. Sebagai hasilnya, orang itu tidak akan berkembang.

Dua semester berlalu dengan cepat, dan sebentar lagi semester ketiga. Saya berharap kesuksesan selalu mengiringi langkah kita semua. Ciao! (mesti ngerjain tugas Stat II nih!) :)

0 comments: