family affair.

Didorong oleh rasa jenuh masa liburan (padahal baru 3 hari), saya mengirim sms basa-basi, seperti apa kabar? apa rencana untuk natal, kepada tiga orang. Dibalas dua orang. Salah satunya mantan pacar saya, yang sekarang sudah berstatus teman (rasanya hubungan kami baik-baik saja). Sesuai dugaan, dia paling pasti dan paling cepat membalas. Pada kalimat pertama, ia mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Natal rencananya akan pergi ke gereja, makan bersama keluarga, dan sedik(h) karena keluarga. Saya bingung. Pertama karena saya tidak mengenal kosakata sedik, namun akhirnya saya terjemahkan menjadi sedih (tombol h dan k bersebelahan di hp). Kedua, awalnya dia bilang dia baik-baik saja. Ketiga, jarang orang berencana untuk sedih di hari yang bahagia (apalagi dia orang yang sangat rajin ke Gereja, berdoa, membaca Alkitab, Renungan Harian, dan kegiatan religius lainnya yang notabene sangat bertolak belakang dengan saya yang klenik). Daripada berhipotesis ria, lebih baik saya bertanya langsung pada sumbernya. Rupanya ada masalah keluarga, pertengkaran rumah tangga. Sejak saya kenal dia, memang masalah keluarga cukup membuatnya labil. Dan saya tidak berani bertanya lebih lanjut, cuma menghibur dengan kata-kata religius yang saya copy dari tante saya.

Teman saya, punya orangtua yang sangat menuntut. Diskriminatif terhadapnya, katanya, suka mencari-cari kesalahan. Menurutnya, masalah keluarga, hubungan dengan orangtua, terlalu kompleks dan tak mungkin terselesaikan. Akhirnya ia menghindarinya dengan sering beraktivitas di luar rumah dan apabila di rumah, jarang berkomunikasi, dalam arti, berbicara dari hati ke hati. Saya juga melakukannya. Awal-awal saya kuliah, saya sering pulang sore atau malam. Alasan saya, saya ikut banyak kegiatan dan organisasi (memang benar). Kalau ditanya-tanya hal yang sensitif, saya pilih bohong daripada bermasalah.

Masalah keluarga dari dulu dari jaman dahulu memang pelik. Banyak kasus yang disebabkan oleh keluarga. Misalnya seseorang melacurkan diri karena mengalami pelecehan seksual oleh salah seorang anggota keluarganya, minum-minum atau menggunakan narkoba karena ayah dan ibu bertengkar terus sampai bercerai (dan masalah keluarga lainnya), kepribadian ganda (dan kasus psikopatologis lainnya), bunuh diri, dan sebagainya. Intinya keluarga sangat penting dalam kehidupan seseorang.

Ketika janin terbentuk, ia sudah berurusan dengan keluarga, dengan ibunya. Ketika lahir ('normal'nya), ia harus berhadapan lagi dengan anggota keluarga baru, ayah. Kalau ada, kakak. Untuk bisa hidup, anak tersebut harus berhubungan dengan anggota keluarganya. Anggota keluarga yang beragam kepribadiannya dan punya ekspektasi yang berbeda-beda pula untuk masung-masing anggota keluarga. Dalam mengkomunikasikan harapannya, mereka punya cara yang berbeda-beda. Beruntung kalau mereka demokratis. Kalau otoriter? Bagus kalau pembicaraan dilakukan secara dewasa. Kalau pertengkaran jadi bahasa lumrah? Paling baik diselesaikan secara intern. Namun bagaimana apabila penyelesaian tak kunjung ditemu? Mau minta bantuan orang lain, meskipun masih terhitung keluarga (kakek nenek, paman bibi, dan sebagainya), susah. Bisa tambah panjang. Ada urusan gengsi nama baik keluarga di sini. Makanya saya juga tidak berani ikut campur urusan keluarga orang lain.

Penyelesaian yang baik, ada macam-macam, relatif. Bisa komunikasi terbuka, berhadapan langsung dengan masalah (kalau mungkin). Bisa juga lari, pura-pura tidak tahu, menghindari kontak dengan potensi masalah (misalnya, biasanya ketemu ibu langsung berantem, kurangi frekuensi ketemu). Tergantung apa masalahnya, dan situasi-situasi yang melingkupi, baik yang kondusif maupun yang menghambat masalah selesai. Jawaban saya memang jatuh-jatuhnya ke relativisme. Sudah saya bilang sebelumnya, masalah keluarga itu rumit dan saya sendiri punya masalah keluarga yang tak terselesaikan sebelumnya. Namun menurut saya, ada satu hal penting yang harus dimiliki sebelum melangkah ke penyelesaian selanjutnya, seperti yang saya juga bilang ke mantan pacar saya, sabar dan tabah.

0 comments: