Password: M.A.I.N
image, courtesy of brechti images
Apa kalian menyimpan benda-benda atau apapun dari masa kecil? Saya punya sebuah boneka ikan, yang masih saya jadikan teman tidur. Boneka itu jauh dari cantik, sudah compang camping dan ditambal sana sini. Tapi tetap saya bawa sampai sekarang. Sampai sekarang orangtua saya masih bertanya-tanya, kenapa saya tidak mau melepaskan boneka itu? Saya juga bingung. Tapi saya jawab saja ke orangtua saja, 'pokoknya gak mau', supaya tidak memicu perdebatan lebih lanjut yang bikin semua orang pusing. Kalau saya pikir, mungkin saya merasa bahwa boneka itu merepresentasikan masa kecil saya. Masa kecil saya dimana saya merasa hidup baik-baik saja. Masa gulali warna warni, permen lolipop, main gundu. Masa bermain, masa senang-senang.
Lulus SD, SMP, SMA, lulus kuliah, masuk dunia kerja. Makin dewasa, masalah yang dihadapi bukan cuma berbeda konteks tapi juga makin kompleks. Kita makin sadar bahwa dunia kita bukan dunia dongeng ala Cinderella, Snow White, dan lain-lain. Malah dunia yang kita hadapi lebih seperti hutan dengan hukum rimbanya, yang tentunya bukan dunia Bambi. Hukum rimba, yang kuat akan makan yang lemah. Oleh karena itu, banyak dari kita yang 'mati-matian' bekerja: pusing menghadapi klien, konflik dengan bos, rekan kerja, bagaimana mengatasi kekurangan budget, dan tantangan-tantangan lainnya. Adrenalin berpacu, terutama buat tukang jaga saham. Tiap detik, semua bisa berubah. Lari-lari sana sini, walaupun badannya diam, isi kepalanya yang lari-lari. Kalau ketinggalan, tergilas.
Hidup kayaknya kok susah bener. Kalau di facebook dan twitter, seringnya ngeluh melulu. Pertama-tama temannya semangat ngasih motivational prep talk, lama-lama bosan dan akhirnya dicuekin. Tambah sebel karena kurang ditanggapi, tambah merasa hidup susah. Lalu bertanya-tanya kenapa temannya tidak mau memberi saran. Akhirnya temannya dengan kesal bilang, "Santai aja lagi!". Lalu yang minta saran merasa temannya sentimen sama dia. Padahal temannya memang benar-benar berpikir bahwa saran yang tepat ya santai aja lagi.
Di dunia yang seperti ini, kita sering lupa kalau kita butuh membangunkan 'anak kecil' dalam diri kita. Membangunkan anak kecil bukan berarti kita harus punya anak. Itu namanya jadi orangtua. Maksud saya, kita jadi anak kecil lagi, kalau bahasa ekstrimnya. Masa kecil. Apa sihyang paling berkesan dari masa kecil, sampai beberapa dari kita pernah bilang, "Pengen deh jadi anak kecil lagi."?
"We do not stop playing because we grow old, we grow old because we stop playing!"
(Benjamin Franklin)
Saya pernah magang di sebuah advertising agency. Di situ orang-orangnya 'asik', bahasa gaulnya. Baju main sama saja dengan baju kantor, pasang musik, main foosball di tengah hari, ketawa-ketawa, dan kerjanya tetap beres. Semboyan mereka mungkin banyak kerja, banyak main. Hal yang jarang saya temui di kantor-kantor lain. Mungkin ini memang situasi di advertising agency yang menuntut kebebasan bermain seperti ini supaya bisa kreatif. Konon orang-orang di bidang kreatif tergantung mood, kalau dikekang dengan banyak aturan, mood nya jadi jelek dan ide-idenya tidak ngalir.
Mungkin tidak semua dari kita kerja di lingkungan seperti ini. Mungkin di tempat kita, aturannya lebih formal. Tapi kita bisa ciptakan suasana bermain di kepala kita. Waktu main game, seruwet apapun, tidak pernah sampai bikin stress seperti masalah di pekerjaan, bukan? Padahal di game, mungkin juga susah untuk menyelesaikan satu stage. Perbedaannya ada di suasana. Satu suasananya kerja, satu lagi suasananya main. Jadi bagaimana kalau kita anggap saja masalah itu seperti game yang harus kita pecahkan?
Menurut saya, jangan bikin masalah menekan kita. Kebanyakan dipikirin, sisi kreatif kita makin mampet. Yang ada semuanya makin ruwet dan butek. Kalau sudah begini, mungkin akhirnya kita balik lagi berharap ada Doraemon dengan kantong ajaibnya. Tapi tidak semua dari kita namanya Nobita, bukan? Pengalaman pribadi, saya orangnya cukup perfeksionis, segala sesuatunya dipikirkan, harus sempurna. Saya bisa butek sendiri karena terlalu berpikir. Pada saat detik-detik terakhir, ketika saya akhirnya kehabisan waktu untuk kebanyakan berpikir, saya sudah terlalu lelah dan akhirnya cuek saja, justru ide-ide yang nyelusup di kepala baru keluar. Ting tong. Done and done. Habis itu saya biasanya langsung merayakan dengan diri sendiri, makan yang enak-enak atau belanja baju. Makanya tidak heran kan kalau saya sering ngeluh bokek?
Kerja tiap hari walaupun di kepala diciptakan suasana bermain, juga tidak baik. Kurang seimbang. Kita ini manusia yang katanya citra Tuhan. Tuhan di hari ketujuh saja libur, masa kita tidak libur-libur? Di kerja kantoran, ada hari libur namanya Sabtu-Minggu. Ada juga cuti, maksudnya buat benar-benar liburan. Liburan itu penting buat kesehatan mental. Bahkan ada beberapa kantor yang kebijakannya mewajibkan karyawannnya buat liburan. Liburan itu hukumnya wajib supaya kita bisa sehat jiwa dan raga, supaya kita tidak stres sampai-sampai kita bikin-bikin aliran sekte, yang sepertinya jadi tren masa kini.
Pada saat liburan, kita bisa bebas sepuas-puasnya bersenang-senang atau bermain. Kebanyakan dari kita bermain di arena yang sudah disiapkan untuk orang-orang seumur kita: bioskop, mall, cafe, dan sebagainya. Tidak ada salahnya. Menonton film menyenangkan, melihat barang-barang diskonan menghibur nan menggelitik buat menjebol rekening tabungan. Tapi ada kalanya, saya pikir, kita perlu lebih spontan lagi, seperti anak kecil yang bisa 'mengubah' mini compo jadi stasiun NASA. Coba pikirkan, waktu kecil, paling senang atau paling ingin main apa. Tanpa perlu malu. Malu itu tanda yang sering disalahkaprahkan buat kedewasaan, karena malu itu menghambat. Ayo main! The world is our playground.
Kalau saya, saya kepingin main tak umpet dan main gundu soalnya seru. Tanpa penjelasan rumit-rumit.
Jemaine and Bret (from Flight of The Conchords), playmates of the year.
Posted in: contemplation on Monday, August 24, 2009 at at 2:41 AM