kere - trauma
Dua hari ini, saya menyatakan bahwa saya OFFICIALLY BROKE. Saya berjalan-jalan di luar (rumah) dengan uang pas-pasan dan berakhir dengan kocek kosong sama sekali. Literally nol. Berawal dari insiden pencopetan di bus Metro Mini jurusan Grogol - Ciledug. Bus yang saya tumpangi tiba-tiba mogok dan penumpang dipindahkan ke bus kloter berikutnya, tentunya dengan jurusan yang sama. Di pintu bus, saya didesak-desak, didorong-dorong dengan cara terkasar yang pernah saya alami. Setelah beberapa menit, saya berhasil masuk ke bus itu. Berdiri di dekat pintu.
Seorang bapak-bapak di belakang saya, "Eh tuh... Kejar tuh yang baju kuning. Dia mabok kayaknya. Tapi kalo mau dikejar masih bisa."
Dan bapak-bapak yang ada di depan saya, "Iya tuh HP saya juga hilang."
Saya, "Yah dompet saya juga ilang."
Pencopetan berdarah dingin ini terjadi sekitar dua minggu yang lalu. Saya belum melapor ke polisi. Ternyata saya diharuskan bank untuk membawa surat keterangan dari polisi untuk memindahkan uang di rekening yang telah saya bekukan. Untuk KTP juga berlaku demikian. Akibatnya KTP dan ATM saya yang lenyap, terancam 'lenyap' selamanya. Masalahnya, saya sibuk. Tapi ditilik lebih jauh lagi, pertama, saya malas, dan kedua, saya tidak punya uang untuk dijadikan dana terima kasih.
Saya masuk lagi lebih dalam ke fase-fase, berpikir keras sebelum melangkah. Taktis. Penuh perhitungan. Terus terang saya malas. Tapi apa dinyana, seseorang harus beradaptasi supaya tetap survive toh.
Ada yang mau memaksa dan menemani saya ke kantor polisi? Open recruitment lho. Hehehe.
Tapi yang tersisa selain kere, trauma walaupun tidak sampai membuat saya keringat dingin. Tapi efeknya masih terasa.
Pertama, setiap kali saya naik bus, saya memaksa diri saya untuk superalert dan supercuriga dengan orang-orang di sekitar saya. Homo homini lupus bellum omnium contra omnes.
Kedua, saya membawa tas besar dengan banyak kantong di dalam sehingga pencopetpun akan bingung mau ambil apa. Barang-barang saya yang penting saya taruh di kantong-kantong tas saya.
Ketiga, memilih untuk tidak menggunakan teknologi komunikasi kecuali komunikasi purba (baca: ngomong biasa). Tapi itupun seminimal mungkin. Benar-benar seperlunya. Mungkin efek dari "homo homini lupus". Dampak lebih lanjut lagi, ada yang marah-marah karena saya tidak mengangkat teleponnya. Saat itu kita memang janjian bertemu. Saya naik bus yang jalurnya sedikit berputar. Dia sampai duluan. Dan dia benci menunggu. Makin marah karena saya mereject teleponnya.
Keempat, menghindari bus yang ramai dan yang memaksa saya berdiri. Setelah berkonsultasi dengan pakar copet, ternyata saya adalah target favorit pencopet. Tampang korban. Dan pencopet lebih mudah beraksi terhadap oknum yang berdiri. Saya harus ekstra hati-hati supaya prejudice tidak jadi kenyataan.
Dan yang tak termaafkan, saya harus mengurus KTP, ATM, dan harus KERE.
Seorang bapak-bapak di belakang saya, "Eh tuh... Kejar tuh yang baju kuning. Dia mabok kayaknya. Tapi kalo mau dikejar masih bisa."
Dan bapak-bapak yang ada di depan saya, "Iya tuh HP saya juga hilang."
Saya, "Yah dompet saya juga ilang."
Pencopetan berdarah dingin ini terjadi sekitar dua minggu yang lalu. Saya belum melapor ke polisi. Ternyata saya diharuskan bank untuk membawa surat keterangan dari polisi untuk memindahkan uang di rekening yang telah saya bekukan. Untuk KTP juga berlaku demikian. Akibatnya KTP dan ATM saya yang lenyap, terancam 'lenyap' selamanya. Masalahnya, saya sibuk. Tapi ditilik lebih jauh lagi, pertama, saya malas, dan kedua, saya tidak punya uang untuk dijadikan dana terima kasih.
Saya masuk lagi lebih dalam ke fase-fase, berpikir keras sebelum melangkah. Taktis. Penuh perhitungan. Terus terang saya malas. Tapi apa dinyana, seseorang harus beradaptasi supaya tetap survive toh.
Ada yang mau memaksa dan menemani saya ke kantor polisi? Open recruitment lho. Hehehe.
Tapi yang tersisa selain kere, trauma walaupun tidak sampai membuat saya keringat dingin. Tapi efeknya masih terasa.
Pertama, setiap kali saya naik bus, saya memaksa diri saya untuk superalert dan supercuriga dengan orang-orang di sekitar saya. Homo homini lupus bellum omnium contra omnes.
Kedua, saya membawa tas besar dengan banyak kantong di dalam sehingga pencopetpun akan bingung mau ambil apa. Barang-barang saya yang penting saya taruh di kantong-kantong tas saya.
Ketiga, memilih untuk tidak menggunakan teknologi komunikasi kecuali komunikasi purba (baca: ngomong biasa). Tapi itupun seminimal mungkin. Benar-benar seperlunya. Mungkin efek dari "homo homini lupus". Dampak lebih lanjut lagi, ada yang marah-marah karena saya tidak mengangkat teleponnya. Saat itu kita memang janjian bertemu. Saya naik bus yang jalurnya sedikit berputar. Dia sampai duluan. Dan dia benci menunggu. Makin marah karena saya mereject teleponnya.
Keempat, menghindari bus yang ramai dan yang memaksa saya berdiri. Setelah berkonsultasi dengan pakar copet, ternyata saya adalah target favorit pencopet. Tampang korban. Dan pencopet lebih mudah beraksi terhadap oknum yang berdiri. Saya harus ekstra hati-hati supaya prejudice tidak jadi kenyataan.
Dan yang tak termaafkan, saya harus mengurus KTP, ATM, dan harus KERE.
Posted in: on Friday, July 28, 2006 at at 9:18 AM