chicklit picisan

ia punya mata setajam elang

ia menaruh jagad raya dalam kepalanya



dan aku menyayanginya. setiap jengkal hatiku terisi olehnya dan hari-hariku tak pernah tanpa dirinya.


ia kekasihku dan impianku.



hampir setiap akhir minggu, aku ke rumahnya. menanggalkan topengku, menyingkap diriku seutuhnya, berbaring di sebelahnya, dan sekian detik memandang wajahnya. kadang saling menatap, dan setelahnya menebak ia akan melengos. kadang benar kadang salah. kadang ia hanya akan diam, memelukku, kemudian memejamkan matanya lagi. namun sering ia membuka lagi matanya. membuka pembicaraan. saling bertukar cerita. saling memberi pendapat. biasanya bernada omelan, ejekan, sindiran, atau hanya menggoda. tapi aku menikmatinya.


"Aku baru baca chicklit lho."

"Chicklit? OMG. Cewek yang se-intelek elu baca chicklit?"

"Tapi gaya penulisannya bagus. Ceritanya gak narasi. Pake gaya email. Seluruh cerita dipaparin pake e-mail."

"Yah tetep aja kan.."

Kemudian aku menceritakan isinya. Seorang perempuan muda lajang berumur 30 tahunan berkenalan dengan seorang laki-laki, keponakan tetangganya. Laki-laki itu menempati rumah bibinya yang sedang koma. Tapi ternyata laki-laki itu bukan keponakan tetangganya. Ia orang yang diminta keponakan sebenarnya untuk berpura-pura jadi dirinya.

"Pasti happy ending kan? Chicklit emang begitu. Cewek ketemu prince charming, pangeran berkuda putih. Makanya disebut chick. Kayak anak-anak kan?"


Biasanya aku berpura-pura menutup telinga. Membalikkan badan. Dan ia tertawa. Aku senang karena aku bisa membuatnya tertawa walaupun aku tampak seperti anak kecil. Selain itu, aku memang tidak bisa membantahnya lagi karena ia begitu keras kepala. Padahal yang kutekankan gaya penulisannya. Aku tahu ia pura-pura. Bagi kami, ini adalah permainan. Permainan yang mengantar pada ketenangan, berlanjut ekstasi.

Saat ini ia tertawa. Kemudian ia diam. Aku tak mengerti. Ia bersembunyi. Ia menjerit. Ia menangis. Ternyata ia terluka.


ia menanam jarum-jarum di punggungnya

ia membawa pecahan kaca di mulutnya

ia menyimpan pisau di hatinya



saat ia terluka, makin ia menahan perih, makin cakarnya merobek kulitku, aku semakin tidak bisa lepas darinya. dan aku sungguh menyayanginya. ia sahabatku, kekasihku, belahan jiwaku.

0 comments: