power of perception

bagaimana proses pemikiran manusia untuk sampai pada suatu penilaian? misalnya, saya menilai bahwa Brad Pitt seksi. aspek-aspek apa dari Brad Pitt yang membuat saya menilai pria itu seksi? saya berpikir, mungkin tubuhnya yang atletis. tapi Matthew McConaughey juga punya tubuh seksi. bahkan abs-nya lebih terbentuk. mungkin tatapan matanya menawan hati. tapi Jude Law punya tatapan yang lebih dashyat. lantas mengapa saya bisa menilai Brad Pitt paling seksi? ternyata sulit sekali bagi saya untuk membedah metakognisi saya. dan saya rasa demikian pula dengan sebagian besar orang. padahal manusia selalu menilai dan sebagai akibatnya, setiap manusia pun jadi objek penilaian. mengapa? tampaknya manusia perlu frame berpikir atau skema dalam mempersepsi apapun yang terjadi, termasuk mempersepsi orang lain. yah ini sudah dibahas pada bab social cognition pada mata kuliah Psikologi Sosial I. saya hanya meringkasnya sedikit materi tersebut.

hari senin kemarin, saya baru melewati pengujian comprehension untuk eksperimen yang telah kelompok saya jalankan. konon dosen penguji adalah dosen yang terkenal kritis dengan pertanyaan-pertanyaan 'menggigit'. apalagi dalam menjawab pertanyaan, sesama anggota kelompok tidak boleh berdiskusi. pada saat pengujian kelompok lain, pertanyaan saya dipilih dosen untuk dilemparkan kepada anggota kelompok tersebut. pertanyaan saya didasarkan pada teori-teori yang mereka gunakan. mengenai kejelasannya. saya melewatkan bagian statistik pada paper mereka karena saya malas membaca angka-angka. kepala saya sudah terlalu berat dan saya terlalu mual untuk berpikir. dosen penguji menanyakan statistik kepada mereka dan pada saat itu, barulah saya sadar bahwa mungkin ada kesalahan dalam statistik tersebut. dan bertanyalah saya dan sayapun memberikan jawaban yang menurut saya benar. tujuan saya untuk membantu mereka menemukan jawaban walaupun usaha saya kurang berhasil (mereka semakin bingung). akan tetapi, mungkin ada orang yang menganggap saya mencecar mereka. hal ini saya simpulkan dari permintaan seorang teman kelompok lain yang belum mendapat giliran, untuk tidak mencecar kelompoknya. saya menyetujui.

pagi ini, teman saya bercerita bahwa dirinya masuk angin dan keracunan makanan. ia sampai muntah-muntah sepanjang malam. ia juga bercerita sakit maag-nya sering kambuh pada saat ia mengerjakan tugas eksperimen. ia mengeluh bahwa tugas mata kuliah tersebut membebaninya sedemikian berat sehingga ia mengalami penurunan kondisi kesehatan. saya menyimpulkan ia stress. ia mempersepsikan adanya beban dari mata kuliah tersebut dan menganggap tugas tersebut sulit diselesaikan.

aspek penilaian terhadap mata kuliah tersebut menjadi benang merah dari kedua cerita di atas. pertama, kegugupan dan kecemasan akibat penilaian bahwa pengujian adalah pembantaian. perasaan tersebut dialami oleh baik kelompok yang mendapat giliran maupun yang menunggu giliran. kelompok yang sedang maju beberapa kali salah menangkap inti pertanyaan yang diajukan, menjawab dengan cara berputar-putar atau berbelit-belit, tampak gugup (sindrom ng.... ng...), dan sebagainya. kelompok yang sedang menunggu giliran berharap-harap cemas agar nasib mereka lebih baik dari kelompok lain. salah satu caranya adalah dengan meminta kelompok lain untuk tidak 'mencecar'. dalam situasi menekan, pertanyaan yang diajukan dianggap sebagai ancaman. padahal yang saya tangkap dari proses comprehension ini adalah feedback untuk kelompok dari kelompok lain dan dosen beserta asistennya melalui pelemparan pertanyaan. selain itu, comprehension ini bertujuan untuk memberikan nilai individual. berdasarkan proses ini, dapat diketahui sejauh mana pemahaman masing-masing anggota kelompok. ketika sudah memasuki proses ini, anggota kelompok sudah berjuang dengan atributnya sendiri, memperjuangkan nilainya sendiri. jadi, tidak ada tujuan untuk membantai eksperimen yang telah dijalankan kelompok. pada peristiwa kedua, teman saya mempersepsikan bahwa mata kuliah ini sangat berat, sangat sulit, dan menakutkan sehingga ia mengalami kecemasan-kecemasan yang mengakibatkan dirinya stress. akibat lebih lanjut dari stress adalah penurunan kondisi kesehatan (yang paling tampak), mungkin disertai pula penurunan motivasi belajar.

berdasarkan hal-hal yang telah disebutkan di atas, saya berkesimpulan , menyetujui pendapat Mas Satriyo Wibowo (dosen metode kualitatif), bahwa kenyataan subjektiflah yang berpengaruh terhadap tingkah laku seseorang. orang berhubungan dengan realitas objektif melalui sensasi dan persepsi. melalui indera, manusia mensensasi stimulus dari lingkungan. kemudian, informasi sensasi tersebut diproses dan dihasilkanlah suatu pemaknaan subjektif atau kenyataan subjektif. inilah persepsi. persepsi A bahwa comprehension eksperimen menjatuhkan membuat A stress.

lantas bagaimana caranya untuk mengubah persepsi seseorang? jawabannya, persepsi bisa diubah apabila salah satu variabel pembentuk persepsi atau lebih diubah. misalnya, persepsi bahwa itik merah bisa diubah dengan menghadirkan itik putih. persepsi yang bersifat kognitif masih jelas. namun bagaimana dengan persepsi yang bersifat emosional? misalnya persepsi bahwa comprehension eksperimen membantai kelompok. tidak ada bukti nyata yang benar-benar mendukung pendapat ini, namun mereka mempercayainya. ada komponen afektif atau emosional di sini, misalnya kecemasan, ketakutan, dan sebagainya. perasaan seringkali timbul tanpa kita tahu apa sebabnya. oleh karena itu, diperlukan emotion-focused coping. Emotion-focused coping adalah usaha mengatasi stress yang diarahkan pada emosi, misalnya mengatasi kecemasan. Misalnya, dengan mencoba positive thinking. dengan perasaan tenang, kita pun akan berpikir dengan lebih jernih.

"pesan moral", kelompok yang nanti maju hari Jumat, usahakan jangan terlalu tegang-tegang, jangan berpikir macam-macam. relax and good luck!

0 comments: