maaf
buat banyak orang, saya rasa, kata 'maaf' sering sekali dikeluarkan lewat mulut langsung ataupun lewat tulisan. dengan budaya indonesia yang cukup 'maaf-maafan', kata 'maaf' bahkan kadang-kadang terlihat sudah menjadi respon otomatis. implikasinya, orang jadi sulit membedakan 'maaf' mana yang benar-benar dari hati terdalam dan mana yang sekedar bagian dari ritual, atau 'maaf' mana yang bagian dari taktik melarikan diri. tampaknya pernyataan saya yang terakhir ini terdengar sarkastis, apatis, pesimis, atau 'is'-'is' lainnya.
saya sendiri paling benci mendengar kata 'maaf'. sesuai dengan social exchange theory, ketika seseorang meminta maaf pada saya, saya merasa punya obligasi untuk memaafkan. memaafkan idealnya tulus. namun pada kenyataannya sulit, apalagi saya orang yang mengingat detail segala sesuatu, termasuk kesalahan-kesalahan orang. saat orang lain meminta maaf dan saya tidak bisa memaafkannya, saya merasa terbebani bahwa diri saya bersalah karena tidak membalas kebaikan orang lain. dengan kata lain, terjadi transfer beban 'dosa'.
akhir-akhir ini, di tengah kesibukan yang menyiksa hati pikiran jiwa dan setiap sel-sel tubuh saya, saya menerima aliran permintaan maaf yang sangat banyak. pada awalnya, saya memaklumi karena saya berusaha untuk berempati dengan orang-orang yang sudah 'dicekoki' dengan akar budaya 'maaf-maafan'. akan tetapi, saya, seperti alam yang dirusak terus-menerus, punya ambang batas. saya sudah tidak tahan dengan kata-kata 'maaf' dan saya sudah mengalami habituasi. kata maaf tidak lagi menjadi kata ampuh untuk memperoleh maaf saya walaupun disertai dengan berbagai penjelasan-penjelasan yang tampaknya masuk akal dan menghimpit. saya tidak berhasil menghentikan luapan berbagai emosi negatif disertai dengan pikiran negativistis bahwa 'maaf' itu hanyalah sarana yang digunakan orang untuk lari dari tanggung jawab. dan akhirnya saya sudah sampai pada tahap dimana saya tidak mau tahu lagi dengan proses apapun yang dialami oleh orang yang sedang meminta maaf pada saya. saya memprogram diri saya untuk hanya tahu bahwa orang itu tidak melakukan kewajiban atau tidak memenuhi janjinya.
saya sampai pada kesimpulan bahwa saya hanya bisa percaya dan mengandalkan diri saya sepenuhnya. dengan tidak berharap pada orang lain, saya lebih damai, lebih sejahtera. saya meminimalisir kemungkinan saya kecewa karena toh tidak ada apapun yang saya harapkan. secara psikologis, saya sudah lebih terbiasa, lebih siap, lebih kuat untuk menghadapi orang-orang yang ingkar janji. misalnya dalam proyek, saya sudah mempersiapkan rencana apa saja yang harus saya jalankan untuk mengerjakan tugas bagian kolega saya. bahkan kalau saya sedang mempunyai energi lebih, saya bisa saja sudah menyelesaikan seluruh proyek.
mungkin ada yang bertanya-tanya, mengapa saya menulis hal-hal semacam ini. selain untuk alasan curhat, selain untuk peringatan orang yang 'obral' permintaan maaf, tidak ada lagi alasan lain.
saya sendiri paling benci mendengar kata 'maaf'. sesuai dengan social exchange theory, ketika seseorang meminta maaf pada saya, saya merasa punya obligasi untuk memaafkan. memaafkan idealnya tulus. namun pada kenyataannya sulit, apalagi saya orang yang mengingat detail segala sesuatu, termasuk kesalahan-kesalahan orang. saat orang lain meminta maaf dan saya tidak bisa memaafkannya, saya merasa terbebani bahwa diri saya bersalah karena tidak membalas kebaikan orang lain. dengan kata lain, terjadi transfer beban 'dosa'.
akhir-akhir ini, di tengah kesibukan yang menyiksa hati pikiran jiwa dan setiap sel-sel tubuh saya, saya menerima aliran permintaan maaf yang sangat banyak. pada awalnya, saya memaklumi karena saya berusaha untuk berempati dengan orang-orang yang sudah 'dicekoki' dengan akar budaya 'maaf-maafan'. akan tetapi, saya, seperti alam yang dirusak terus-menerus, punya ambang batas. saya sudah tidak tahan dengan kata-kata 'maaf' dan saya sudah mengalami habituasi. kata maaf tidak lagi menjadi kata ampuh untuk memperoleh maaf saya walaupun disertai dengan berbagai penjelasan-penjelasan yang tampaknya masuk akal dan menghimpit. saya tidak berhasil menghentikan luapan berbagai emosi negatif disertai dengan pikiran negativistis bahwa 'maaf' itu hanyalah sarana yang digunakan orang untuk lari dari tanggung jawab. dan akhirnya saya sudah sampai pada tahap dimana saya tidak mau tahu lagi dengan proses apapun yang dialami oleh orang yang sedang meminta maaf pada saya. saya memprogram diri saya untuk hanya tahu bahwa orang itu tidak melakukan kewajiban atau tidak memenuhi janjinya.
saya sampai pada kesimpulan bahwa saya hanya bisa percaya dan mengandalkan diri saya sepenuhnya. dengan tidak berharap pada orang lain, saya lebih damai, lebih sejahtera. saya meminimalisir kemungkinan saya kecewa karena toh tidak ada apapun yang saya harapkan. secara psikologis, saya sudah lebih terbiasa, lebih siap, lebih kuat untuk menghadapi orang-orang yang ingkar janji. misalnya dalam proyek, saya sudah mempersiapkan rencana apa saja yang harus saya jalankan untuk mengerjakan tugas bagian kolega saya. bahkan kalau saya sedang mempunyai energi lebih, saya bisa saja sudah menyelesaikan seluruh proyek.
mungkin ada yang bertanya-tanya, mengapa saya menulis hal-hal semacam ini. selain untuk alasan curhat, selain untuk peringatan orang yang 'obral' permintaan maaf, tidak ada lagi alasan lain.
Posted in: on Saturday, April 29, 2006 at at 5:09 PM