Sarah Jessica Parker


Sarah Jessica Parker in Calvin Klein. SJP is my true favourite fashion icon. Simple yet elegant. Perfect hair, and I like that bracelet. A little touch of bright blue, just right.

omong kosong

sampai kapan batas waktu menunggu? terkadang dalam suatu hal, seorang harus menunggu. bukan karena menyerah, melainkan memang ia harus menunggu. dalam proses tersebut, ada banyak hal yang kita pikirkan. berapa lama lagi? bagaimana akhirnya? apakah penantian akan berakhir dengan senyum? atau mati kebosanan karena terlalu menunggu? saya orang yang super tidak sabar. terlalu lama menunggu bikin saya lama-lama memaksa diri lupa kalau saya harus menunggu. bukannya saya alihkan kebosanan, melainkan benar-benar menghentikan prosesnya.

dan saya melakukannya akhir-akhir ini. ketika proses menunjukkan gejala-gejala 'akan kembali', saya tidak menghiraukannya. prosesnya sudah benar-benar berhenti.


Johnny Depp. Love the bad boy, that strong jawline, perfect nose, eyes that kill. Posted by Picasa

kepekaan.

tadi saya pergi ke Puri Mall, nonton King Kong sama teman-teman. sambil menunggu jam bioskop, kami duduk di food court dan sedikit terlibat dalam pembicaraan tentang makanan. kami membicarakan makanan. enak mana, ichiban crepes atau d'crepes? teman saya bilang katanya ichiban kurang enak. saya yang pernah coba ichiban dan pastinya d'crepes, bilang sama saja. saya benar-benar tidak tahu bedanya. tapi saya pikir-pikir lagi, jawaban saya tidak bisa dikatakan valid karena saya kurang peka terhadap rasa makanan dan cenderung tidak terlalu peduli. saya tidak tahu beda rasa kopi gloria jeans dan coffee port, tidak tahu beda nescafe dan indocafe, tidak tahu beda tekstur es krim new zealand dan pisa kafe, mie aciap atau asui, makanan basi atau tidak. kecuali yang benar-benar beda, seperti enak (bisa diterima lidah) dan yang tidak aneh (rasanya aneh). namun kalau tidak benar-benar aneh, saya masih cuek makan. makanya saya bisa diet dengan kopi yang sedikit gula (tahan pahit), minum teh hijau seduhan ibu saya yang rasanya agak tidak karuan, salad tawar, dan sebagainya.

tapi herannya saya bisa tahu sepatu mana yang lebih worth it dibeli. ditimbang dari estetikanya juga kenyamanannya. saya bisa super rewel kalau ada sedikit noda di sepatu. saya juga tahu sepatu mana yang lebih kaku (keras). kelancipan pointy shoes mana yang paling bagus (tidak terlalu lancip, juga tidak terlalu bulat). warna mana yang paling bagus untuk model sepatu tertentu. soal baju, saya bisa sedikit kompromi. soal sepatu, sulit, sangat pilih-pilih. makanya saya jarang-jarang beli sepatu. tidak hanya sepatu, saya bisa tahu 'derajat' keseksian Brad Pitt, Johnny Depp, Owen Wilson, dan Jude Law. saya bisa membedakan sumber keseksian mereka. setelah dipikir-pikir, kepekaan itu tergantung selera, tergantung apa kesukaan saya.

kira-kira tiga jam 'mengeram' di bioskop, saya tahu saya suka sekali film King Kong. teman saya berkomentar alur yang terlalu lambat. dan saya juga menyadari, bedanya saya tahu apa tujuannya (mengapa begitu). saya tahu gaya penyutradaraan Peter Jackson (ambil kesimpulan dari nonton trilogi LOTR yang termasuk film favorit saya, dan King Kong) seperti apa. menurut saya, keistimewaan Peter Jackson ada pada penonjolan karakter dan penggalian makna. hampir seluruh karakter dalam film-filmnya diberi kesempatan menunjukkan penonton kekhasan masing-masing sehingga karakternya kuat. Peter Jackson tidak ingin King Kong sekedar film ecek-ecek yang menawarkan special effect. oleh karena itu, ia menggunakan pelambatan alur, yang hebatnya (bagi saya) tidak membosankan, menggali 'habis' setiap adegan. setiap adegan harus ada maknanya, tidak hanya penyambung adegan berikutnya. kapan-kapan saya posting analisis saya tentang King Kong, dan jika sempat, sekalian dibandingkan dengan LOTR.

family affair.

Didorong oleh rasa jenuh masa liburan (padahal baru 3 hari), saya mengirim sms basa-basi, seperti apa kabar? apa rencana untuk natal, kepada tiga orang. Dibalas dua orang. Salah satunya mantan pacar saya, yang sekarang sudah berstatus teman (rasanya hubungan kami baik-baik saja). Sesuai dugaan, dia paling pasti dan paling cepat membalas. Pada kalimat pertama, ia mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Natal rencananya akan pergi ke gereja, makan bersama keluarga, dan sedik(h) karena keluarga. Saya bingung. Pertama karena saya tidak mengenal kosakata sedik, namun akhirnya saya terjemahkan menjadi sedih (tombol h dan k bersebelahan di hp). Kedua, awalnya dia bilang dia baik-baik saja. Ketiga, jarang orang berencana untuk sedih di hari yang bahagia (apalagi dia orang yang sangat rajin ke Gereja, berdoa, membaca Alkitab, Renungan Harian, dan kegiatan religius lainnya yang notabene sangat bertolak belakang dengan saya yang klenik). Daripada berhipotesis ria, lebih baik saya bertanya langsung pada sumbernya. Rupanya ada masalah keluarga, pertengkaran rumah tangga. Sejak saya kenal dia, memang masalah keluarga cukup membuatnya labil. Dan saya tidak berani bertanya lebih lanjut, cuma menghibur dengan kata-kata religius yang saya copy dari tante saya.

Teman saya, punya orangtua yang sangat menuntut. Diskriminatif terhadapnya, katanya, suka mencari-cari kesalahan. Menurutnya, masalah keluarga, hubungan dengan orangtua, terlalu kompleks dan tak mungkin terselesaikan. Akhirnya ia menghindarinya dengan sering beraktivitas di luar rumah dan apabila di rumah, jarang berkomunikasi, dalam arti, berbicara dari hati ke hati. Saya juga melakukannya. Awal-awal saya kuliah, saya sering pulang sore atau malam. Alasan saya, saya ikut banyak kegiatan dan organisasi (memang benar). Kalau ditanya-tanya hal yang sensitif, saya pilih bohong daripada bermasalah.

Masalah keluarga dari dulu dari jaman dahulu memang pelik. Banyak kasus yang disebabkan oleh keluarga. Misalnya seseorang melacurkan diri karena mengalami pelecehan seksual oleh salah seorang anggota keluarganya, minum-minum atau menggunakan narkoba karena ayah dan ibu bertengkar terus sampai bercerai (dan masalah keluarga lainnya), kepribadian ganda (dan kasus psikopatologis lainnya), bunuh diri, dan sebagainya. Intinya keluarga sangat penting dalam kehidupan seseorang.

Ketika janin terbentuk, ia sudah berurusan dengan keluarga, dengan ibunya. Ketika lahir ('normal'nya), ia harus berhadapan lagi dengan anggota keluarga baru, ayah. Kalau ada, kakak. Untuk bisa hidup, anak tersebut harus berhubungan dengan anggota keluarganya. Anggota keluarga yang beragam kepribadiannya dan punya ekspektasi yang berbeda-beda pula untuk masung-masing anggota keluarga. Dalam mengkomunikasikan harapannya, mereka punya cara yang berbeda-beda. Beruntung kalau mereka demokratis. Kalau otoriter? Bagus kalau pembicaraan dilakukan secara dewasa. Kalau pertengkaran jadi bahasa lumrah? Paling baik diselesaikan secara intern. Namun bagaimana apabila penyelesaian tak kunjung ditemu? Mau minta bantuan orang lain, meskipun masih terhitung keluarga (kakek nenek, paman bibi, dan sebagainya), susah. Bisa tambah panjang. Ada urusan gengsi nama baik keluarga di sini. Makanya saya juga tidak berani ikut campur urusan keluarga orang lain.

Penyelesaian yang baik, ada macam-macam, relatif. Bisa komunikasi terbuka, berhadapan langsung dengan masalah (kalau mungkin). Bisa juga lari, pura-pura tidak tahu, menghindari kontak dengan potensi masalah (misalnya, biasanya ketemu ibu langsung berantem, kurangi frekuensi ketemu). Tergantung apa masalahnya, dan situasi-situasi yang melingkupi, baik yang kondusif maupun yang menghambat masalah selesai. Jawaban saya memang jatuh-jatuhnya ke relativisme. Sudah saya bilang sebelumnya, masalah keluarga itu rumit dan saya sendiri punya masalah keluarga yang tak terselesaikan sebelumnya. Namun menurut saya, ada satu hal penting yang harus dimiliki sebelum melangkah ke penyelesaian selanjutnya, seperti yang saya juga bilang ke mantan pacar saya, sabar dan tabah.

the 'gembel' law

Saya punya teman, namanya Yaya, lengkapnya Wirya Satya Adenatya. Tapi saya lebih sering panggil dia 'gembel', 'gembrot' (padahal ia tidak gendut, bahkan saya sedikit kagum karena dia terbilang atletis dan memang dia atlet), 'ucup', dan sederetan sebutan yang kurang rasa perikemanusiaannya. Asosiasi tercepat kalau mengingat Yaya: jazz, Twilite Youth Orchestra, kafe, gembel-look, omongan serba tidak penting, DATAR. Ekspresi yang paling dapat dikenali dari Yaya, hanya tertawanya yang membahana tanpa tedeng aling-aling. Sisanya (marah, sedih, takut, dan sebagainya), singkat saja, tidak ada.

Dia pernah pusing sendiri mengerjakan tugas analisis kepribadian padahal itu tugas kelompok. Dalam kelompok itu, yang benar-benar bekerja hanya dua orang (dia dan seorang temannya). Yang lainnya, cuma numpang nama. Saya tanya padanya, mengapa ia tidak marah dan protes pada mereka? Dia bilang, dia tidak bisa marah. Saya marah pada teman-temannya tapi saya lebih marah padanya. Kalau tidak protes, secara tidak langsung, dia menyediakan dirinya sebagai budak tertindas. Buat saya yang gengsinya tinggi, hal seperti itu benar-benar 'aib'. Saya tanya lagi, kenapa? Ternyata dalam proses remajanya yang berat (masalah keluarga), ia mempelajari sesuatu yang ia pegang sampai sekarang, bahwa segala sesuatu pasti ada penyebabnya atau ada sebab, ada akibat. Katanya, misalnya, kalau pacarnya berselingkuh, dia tidak serta merta langsung marah, dendam, atau bicara buruk tentang pacarnya. Dia berpikir, pasti ada sebab mengapa pacarnya berselingkuh. Dan sebab itu pasti, walaupun sedikit, berkaitan dengannya. Karena ada alasan, ia bisa menerima. Namun saya tanya padanya, bagaimana kalau dia tidak diberikan alasan yang jelas oleh seseorang. Dia bilang, selama ini, dia selalu menemukannya. Seperti pada tugas kepribadian ini, dia tidak mendapat alasan yang jelas dari orang numpang itu. Dia menciptakan suatu 'analogi' sebab akibat lainnya. Karena Yaya terlatih mengerjakan (sebab), Yaya akan lebih unggul dalam tugas akhir (individual) daripada mereka (akibat). Oleh karena itu, ia tidak marah.

Menurut Daniel Goleman, salah satu aspek kecerdasan emosional (emotional intelligence) adalah self-control. Dalam self-control, terdapat kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan, atau ketersinggungan, dan akibat-akibat yang timbul karena gagalnya keterampilan emosi ini. Yaya, seorang makhluk yang memiliki self-control terbaik yang saya kenal. Dia jarang depresi dan cepat bangkit dari keterpurukan, dengan 'think big'. Untuk saya yang tingkat kecemasannya cukup tinggi, prinsip gembel ini bisa jadi salah satu referensi terapi.

beauty over comfy.

kaki, bagian tubuh yang kerap terlupakan. untuk alasan tertentu, saya sangat peduli pada kaki saya. seperti halnya akhir-akhir ini, saya super hati-hati dan khawatir terhadap kaki saya, terutama telapaknya. namun untuk alasan tertentu pula, saya bisa tidak peduli dengan kaki saya. saya berusaha tidak manja dan saya terapkan pula pada kaki saya. sepatu bikin lecet? ayo kaki, terbiasalah. hidup tidak selalu yang senang-senang saja, banyak pahitnya juga. sebetulnya ada pertimbangan juga untuk berlecet-lecet ria. kalau sepatu itu bagus dan saya benar-benar suka, saya bisa tidak peduli pada kaki saya. kalau sepatu itu agak bagus menurut saya, saya akan mempertimbangkan kenyamanan juga. apalagi kalau jelek, tidak usah dipikir dua kali. jadi, sebenarnya saya lebih peduli pada sepatunya, fashion-nya.

begitu pula saya pikir ketika menonton cuplikan Dr. 90210, reality show tentang plastic surgery. yang penting mirip barbie, urusan sakit-sakitan (efek samping) bisa dipikir nanti-nanti (toh ilmu kedokteran sudah sangat maju). saya tak pernah nonton acaranya karena ngeri pada mutilasi-mutilasi. iklannya saja sudah membuat saya ingin mengganti saluran TV. di iklan, bagian yang hendak dipermak, digambar-gambari, selanjutnya ada proses dengan pisau-pisau, mutilasi. sekarang iklan itu sedang mengusung tema breast plastic surgery . tiga orang remaja perempuan berjejer, buka baju, mempertontonkan dada-dada mereka ke depan dokternya (laki-laki), tentunya di TV diburam-buramkan. selanjutnya, saya tidak tahu karena, seperti yang sudah saya katakan, saya ngeri. kemudian saya nonton acara The Soup (acara yang menayangkan scene-scene dari acara apapun yang dianggap 'konyol'), dokternya senang jadi ahli bedah plastik karena bisa nonton dan pegang-pegang perempuan juga.

mengerti?

hari ini saya ditelepon teman sekelompok saya untuk tugas akhir mata kuliah Kode Etik. dia sudah melakukan wawancara dengan dokter kandungan, salah satu profesi yang dituntut untuk digali kode etiknya dalam tugas ini. sementara bagian saya adalah bankir. dia panik karena menurutnya, wawancara tidak berjalan dengan lancar. dokter kandungan itu menanyakan kepada teman saya tentang apa itu kode etik. teman saya berusaha untuk menjelaskannya tetapi dokter kandungan tersebut tetap merasa tidak puas dengan penjelasan teman saya. sebenarnya teman saya bingung tentang apa kode etik itu, begitu pula saya, dan keyakinan saya juga untuk kebanyakan peserta mata kuliah itu. sampai saat ini, kami belum mendapat kepastian yang jelas tentang kode etik. dan tampaknya demikian juga dosen saya. saya mengambil kesimpulan demikian karena ia sendiri tampak sangat bingung dan kerepotan, tanda-tandanya "pokoknya..." sering digunakan sewaktu menjelaskan. atau saya salah? jangan-jangan dia benar-benar mengerti tetapi sulit menyampaikannya? kalau memang begitu, saya juga sering mengalaminya, bukan dengan kode etik, tapi dengan hal-hal lain. misalnya, saya bilang, saya sakit. teman ada yang bertanya, sakit apa? sakitnya seperti apa? kalau sakitnya jelas sekali, seperti sakit kepala, saya tahu. tapi kalau tidak enak badan? saya cuma bisa mendeskripsikan "pokoknya seluruh badan pegal". namun saya tahu penjelasan saya belum mencakup semua symptom yang saya rasakan. teman saya tampak mengerti dan ketika saya berada di posisi teman saya saat itu, saya merasa mengerti juga. mungkin karena saya pernah mengalaminya dan teman saya juga. lalu mengapa dosen saya kesulitan menjelaskan kode etik? kemungkinan besar karena (minimal) saya dan teman saya belum lama belajar psikologi dan bahkan belum terlalu akrab dengan prakteknya, sehingga kode etik menjadi hal yang mengawang-ngawang tanpa kejelasan bagi kami.